Happiness Is A Warm Gun – Refleksi Singkat Kualitas Hidup

Awicaks

Ada sebuah lelucon dari seorang kawan yang sangat saya gemari. "Pengutang terbesar dapat kelas platinum, lalu turun sedikit kelas gold, dan seterusnya. Bagaimana kalau kita tidak mengutang? Masyarakat moderen sekarang akan menyebut kita, orang miskin dan terbelakang, karena tak mampu mengambil kredit alias berutang!" Apakah semua itu hanya sekedar atas nama kepraktisan? Atau sebuah kemasan canggih yang mengatasnamakan kepraktisan dan gaya hidup dari suatu sistem pengurasan kemampuan moneter orang per orang untuk mengejar definisi baru kebahagiaan yang senantiasa berubah?

Di bawah asuhan tatanan ekonomik yang serba cepat saji, serta barang dan jasa yang dihasilkan dari suatu mesin produksi skala massif, segala sesuatu yang baru atau yang dicitrakan sebagai sesuatu yang baru menjadi dambaan orang per orang yang mengabdikan hidup mereka untuk tatanan tersebut. Loretta Napoleoni, dalam bukunya Rogue Economics, begitu jernih menggambarkan bagaimana gaya hidup moderen yang tak pernah berhenti diproduksi oleh berbagai kartel pemasaran mampu menghadirkan tatanan sosial yang serba permukaan (nutshell) dan buatan (artificial), yang selalu mampu mennyajikan letupan-letupan baru potret kebahagiaan manusia moderen. Mereka yang disebut kelas menengah di Amerika Serikat, lengkap dengan segala atribut the American Dreams, hidup mereka ternyata seperti orang tenggelam dengan lubang hidung satu-satunya bagian tubuh yang masih terbebas dari air.

John Lennon dengan lirih menyanyikan lagu yang sangat sinikal tentang ukuran kebahagiaan hidup manusia moderen, "…happiness is the warm gun, (momma), bang-bang-shoot-shoot...." Menurut Lennon, kebahagiaan seperti senjata pemicu maut yang masih panas karena baru diledakkan. Ledakan, sesuatu yang sangat singkat tetapi menggelegar, itulah cara baca Lennon tentang kebahagiaan manusia moderen. Ia begitu cepat tetapi terasa hebat. Sehingga Napoleoni menggambarkan kisah sepasang warga Amerika Serikat yang berpendidikan tinggi, memiliki pekerjaan dengan gaji besar, tetapi tetap tak mampu menabung untuk menjamin pemenuhan kebutuhan masa depan kedua anak mereka. Pasangan itu menabung dengan cara yang juga moderen, asuransi, sebuah kemasan lain yang tak kalah canggih dibandingkan kartu kredit. Michael Moore membongkar dengan kualitas humor pahit yang luar biasa tentang bisnis asuransi kesehatan di Amerika Serikat dalam film dokumenternya, Sicko.

Catatan seorang kawan yang meneliti kehidupan masyarakat di kawasan hutan rawa gambut di Kabupaten Siak, Riau, dengan gamblang menunjukkan, tingginya pendapatan moneter sebuah keluarga dari hasil membuka hutan sama sekali tidak menyumbang kepada kesadaran untuk menyisihkan sebagian uang tersebut untuk memenuhi kualitas hidup keluarga mereka. Alih-alih menabung untuk berjaga-jaga bagi biaya pendidikan anak-anak mereka serta belanja pelayanan kesehatan, barang-barang konsumsilah yang justru dipenuhi, dari mulai televisi layar datar, telepon genggam, sepeda motor bebek dan tak lupa mendaftar pada layanan televisi berlangganan. "Untuk menonton Liga Italia!" Kata mereka bangga.

Frasa-frasa gambaran kebahagiaan yang kerap diucapkan para politikus, birokrat seperti "kesejahteraan", "kemakmuran", sudah lama kehilangan makna, apalagi ketika digerus habis oleh siasat-siasat perayu massal lewat layar kaca. Tak hanya itu, kerangka kebutuhan dasar Maslow luluh-lantak. Kebahagiaan tereduksi sekedar sebagai capian penguasaan material. Sejalan dengan cepatnya perkembangan teknologi, material pun menjadi cepat usang. Tak pernah saya melihat seorang sahabat mengganti telepon genggam lamanya dengan jenis terbaru karena alasan rusak. Setiap terbit jenis baru, ia senantiasa berada di baris terdepan untuk memilikinya. Dan itu cuma satu contoh kecil dari potret tak pernah terpuaskannya manusia untuk terus meledakkan senjata api dan memegang larasnya yang masih panas.

"…happiness is the warm gun, (momma), bang-bang-shoot-shoot...."

Warga Indonesia akan tetap menjadi segerombolan manusia plastik sampai kapan pun jika negeri ini terus mengabdikan dirinya sebagai tempat sampah gaya hidup yang terus-menerus diproduksi ratusan ribu kilometer jaraknya, di pabriknya nun di Amerika Serikat sana. Benturan dan kejutan budaya perlahan menjadi pemandangan biasa dari masyarakat yang sudah tercerabut dari jati diri asal tetapi tak pernah mampu meraih jati diri baru mereka sebagai bagian dari manusia moderen menurut ukuran masyarakat di negeri lain, meski upaya mengejarnya terus dilakukan bahkan hingga menjadi pelajar di lembaga-lembaga pendidikan di negeri-negeri yang jadi panutan. Kebahagiaan sungguh menjadi suatu keadaan yang sangat singkat, yang dirasakan sejak senjata api meledak hingga panas larasnya lamat-lamat menyusut dan lenyap. Kebahagiaan menjadi sebuah ironi, karena keselamatan orang tak lagi menjadi unsur penting dari rumus matematika hidup.

"…happiness is the warm gun, (momma), bang-bang-shoot-shoot...."

Selanjutnya.. Sphere: Related Content