Saturday, August 23, 2008

Rendah Diri, Ambisius dan Paranoid

Awicaks

Ketiga atribut yang saya gunakan sebagai judul di atas adalah karakter yang cenderung terdapat pada orang-orang yang tak memiliki kecakapan dan kemampuan unggulan, sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk dirundung rasa tak-aman (insecurity). Alih-alih menggali kecakapan dan kemampuan unggulan, orang-orang itu justru lebih suka untuk menyingkirkan siapa pun yang dianggap sebagai sumber ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan kedudukan mereka.

Kuatnya keinginan mendongkel kedudukan siapa pun yang mereka anggap sebagai ancaman membuat orang-orang itu tampak seperi ambisius. Ada yang mampu mengendalikan dengan baik, sehingga tampakan luar terlihat sebagai sikap yang kompetitif. Yang tak mampu mengendalikan tetapi cukup cerdas bersiasat, umumnya akan melancarkan jurus-jurus politik menelikung. Ada yang sangat halus memainkan siasat itu, ada pula yang kasar. Sementara mereka yang tak mampu mengendalikan rasa ketidakamanan yang merundung tetapi kurang mampu bersiasat lebih sering terlihat sebagai biang gossip, bahkan pada keadaan ekstrem tak jarang terlihat sebagai orang yang gemar menyebarkan fitnah.

Saya sering merenung dan bertanya-tanya, apakah hal tersebut sesuatu yang manusiawi, mengingat manusia adalah mahluk yang lekat dengan nafsu. Karena hampir seluruh pengalaman kerja saya di berbagai lembaga fenomena itu selalu ada, tentu dengan derajat yang berbeda-beda. Bahkan saya punya pengalaman yang tak terlupakan ketika bekerja di sebuah lembaga multilateral yang menempatkan diri saya di sebuah kantor Negara sebagai seorang konsultan. Politik kantor yang dimainkan oleh orang yang kesehariannya begitu saleh, dengan tutur-kata halus dan sopan serta senantiasa tampil memesona, begitu mencenangkan.

Yang lebih gila, ketika orang itu berhasil menyingkirkan kolega yang ia anggap ancaman, ia bisa tampil sebagai seorang pahlawan. Mendampingi sang korban dengan tutur-kata menghibur yang manis dan menguatkan. Padahal mestinya ia paham bahwa orang-orang di sekitarnya mengetahui sepak terjang politik yang ia jalankan beberapa minggu terakhir hingga kolega itu tersingkir. Lebih heran lagi karena saya tidak melihat ada reaksi atau tindakan orang-orang di sekitar, selain bergunjing membicarakan "sang pemenang." Saya sendiri berada pada situasi sulit, karena bukan bagian dari komunitas di kantor tersebut. Saya hanya "pekerja tamu" yang bertugas memberi saran kepada kantor itu.

Saya hanya terhenyak ketika seorang kawan menelepon dan menceritakan bahwa ia baru saja mengetahui keadaan sesungguhnya kenapa ia "disingkirkan" dari kedudukannya. Saya sungguh tak tahu harus mengatakan apa. Kawan yang ia begitu percaya ternyata cukup pandai bersandiwara. Saya pun tak menyangka. Saya berkali-kali bertanya, apakah ia yakin bahwa yang ia dengar merupakan kebenaran. Kawan itu memberikan beberapa argumen yang juga mampu meyakinkan saya bahwa kisa yang ia dengar itu memang merupakan kebenaran. Kawan itu begitu marah. Ia begitu bernafsu untuk membalas dendamnya.

Saya bukan seorang yang saleh, dalam artian rajin melakukan ritual agama yang tertera di kartu tanda penduduk saya. Tetapi saya juga bukan orang yang pengecut dan membiarkan ketidakadilan berlangsung di depan mata. Tetapi pada kasus kawan itu, saya sungguh tak tahu harus berbuat apa. Bukan saya tidak percaya kisahnya. Tetapi saya tidak berada dalam posisi yang bisa melakukan tindakan, selain saya tidak memiliki persoalan dengan kolega yang menyingkirkan kawan saya itu. Jika saya bertindak, tentu saya tak bisa berangkat dengan bukti berupa kisah sepihak.

Tanpa mengucapkan sepatah janji saya hanya bisa mengatakan, bahwa saya akan coba untuk membantunya mencari pekerjaan di tempat lain.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: