Awicaks
Logika politik demokrasi yang sekarang marak di Indonesia benar-benar kehilangan seninya sebagai suatu pergulatan kuasa, ketika logika linear - semakin besar sumberdaya semakin besar peluang menang - menjadi arus-utama. Sehingga publik tidak lagi diajak untuk menghargai kenegarawanan (statemanship), karena pola-pola keniagaan (salesmanship) ternyata lebih menonjol. Yang repot, unsur-unsur di belakang kepenjualan itu senantiasa melibatkan semangat 'asal menang' (to win at any costs). Para kandidat, baik legislatif maupun eksekutif, benar-benar bertransformasi menjual komoditi eceran (ritel).
Ia tak ubahnya pasar malam yang begitu mudah ditebak. Pada akhirnya orang-orang kritis, terdirik dan terinformasikan yang selama ini gigih memperjuangkan penegakkan demokrasi, tutup mata dan tutup telinga ketika bola salju bergulir ke arah demokrasi pasar. Para akademisi ramai-ramai mendirikan lembaga-lembaga konsultansi politik, menyediakan saran dan nasehat hingga jasa survai "pangsa pasar." Saya yang awam politik kuasa pun bertanya, "Apakah memang demokrasi seperti ini yang layak untuk negeri amburadul macam Indonesia?"
Saya sering merasa geli ketika melalui jalan yang penuh poster atau spanduk warna-warni dengan potret wajah politikus-politikus yang mencalonkan diri entah untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) tingkat kabupaten maupun propinsi. Slogan atau tagline yang dulu lebih dikenal di kalangan perikalanan kini menjadi gimmick politik. Setelah mengamburkan uang begitu banyak untuk memoles diri, pada akhirnya toh uang dikerahkan untuk membeli suara para calon pemilih. Istilah-istilah masa lalu, seperti "serangan fajar" atau "pemberi terakhir yang diingat" tak lekang dimakan arus demokrasi pasar. Mungkin ini yang disebut demokrasi blasteran atau hybrid democracy?
No comments:
Post a Comment