Wednesday, November 19, 2008

Manejemen Batu Lompatan

Awicaks

Gegap-gempita suasana diantara beberapa kawan ketika nama mereka menguasai daftar “calon jadi” untuk pemilihan umum legislatif. Mulut ini ternganga lebar ketika mengetahui jalur partai-partai yang mereka gunakan untuk masuk ke putaran pemilihan umum legislatif, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Partai-partai yang, kira-kira setahun lalu, tak pernah beredar di bawah pantauan radar pembicaraan kami. Bahkan mereka setahun lalu tengah bergiat mendorong dua partai baru dengan visi dan misi yang lumayan progresif. Cerita itu seperti lenyap tak bersisa.

clip_image002

“Kita ini mahluk belajar, Bung,” jawab mereka, ketika saya tanyakan, mengapa mereka tidak habis-habisan bertarung mendorong agar partai mereka itu bisa lolos verifikasi. “Bagaimana dengan modal cekak kita bisa tetap masuk ke bursa, itu yang terpenting.” Mereka menolak ketika saya tanyakan apakah partai mereka terdahulu akan ‘dimatikan’ begitu saja. “Tidak ada itu istilahnya ‘dimatikan’, tetapi untuk sementara gagasan itu kami ‘simpan’ dulu. Toh, kami tetap bisa mengusung nilai-nilai dan garis perjuangan tersebut ke partai baru kami.”

Terbayang di kepala serangkaian gambar hidup, menggambarkan perkawanan kami sejak rejim Orde Baru tengah gagah-gagahnya, kemudian memasuki masa Reformasi, hingga beberapa tahun terakhir ini. Satu hal yang saya sangat hormati dari kawan-kawan itu. Keyakinan mereka yang luar biasa kuat, bahwa Negara merupakan jalan-keluar yang paling tepat untuk mengatasi seluruh kisah penderitaan warga yang memilukan dan kunjung ada ujungnya. Sepak terjang mereka ketika aktif di gerakan mahasiswa, organisasi non-pemerintah (ornop), hingga ke gerakan politik partai, menunjukkan ketetapan sikap yang luarbiasa. Setiap tahap perkembangan mereka sikapi dan siasati dengan cerdik, tanpa kehilangan kualitas kegelisahan. Satu kecakapan yang kerap membuat saya terheran-heran adalah kecerdikan mereka menyiasati setiap tahap perkembangan sebagai satu batu lompatan.

Ada beberapa diantara mereka yang lebih cepat melesat. Di mata saya, sebagian besar mereka ternyata tak mampu mengendalikan diri untuk tidak bermetamorfosis menjadi mahluk yang sama sekali berbeda: Mahluk kekuasaan yang cermat dan cerdik menggunakan derita rakyat sebagai kerangka acuan, bukan sebagai kerangka alamat tujuan. Terlepas dari nilai baik buruknya, kelompok kawan tersebut memiliki kemampuan untuk bertebal muka ketika menjelma menjadi mahluk yang berbeda. Bahkan tidak malu-malu untuk berperilaku seperti halnya mahluk kekuasaan lain. Apakah hal ini diakibatkan karena pesatnya laju perkembangan mereka, sehingga tidak sempat mengalami proses kristalisasi dan pematangan sikap yang mencukupi? Entahlah.

Satu kerugian besar yang, menurut hemat saya, mereka alami: Lenyapnya kesempatan mempelajari ruwetnya tali temali sebab akibat yang menimbulkan dan melestarikan derita rakyat, karena hasrat luarbiasa untuk memecahkannya lewat jalur-jalur politik kuasa. Kerugian tersebut tak mungkin terbayar, mengingat pesatnya laju perkembangan pengetahuan keji yang mendambakan perluasan kekuasaan modal dan politik dengan memberhalakan efisiensi dan mengeksternalisasi semua peluang beban ke ruang-ruang publik. Dan mereka, dengan pengetahuan cekak, pun tak mampu menolak untuk tidak terhanyut ke dalam derasnya arus yang semakin hari semakin mengakar ke dalam tata-kehidupan masyarakat di Indonesia.

Saya pun tak melihat perbedaan yang kasat dengan kawan lain yang begitu bersemangat bergabung ke dalam rombongan perwakilan pengurus Negara untuk terlibat pada proses-proses diplomatik antarbangsa untuk beberapa tema tertentu, misal Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim, yang tengah bersiap dengan pertemuan parapihak ke-14, Desember mendatang. Kepentingan siapa yang mereka wakili, ketika agenda-agenda yang terhampar di atas meja lebih mengutamakan kerja-kerja menggalang sumber-sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang lebih sering tidak ada urusan sama sekali dengan potret derita warga. Sekali lagi, derita warga dapat dengan cantiknya ditempatkan sebagai bagian dari kerangka acuan dan sama sekali tidak menjadi kerangka alamat tujuan. Dan, sekali lagi pula, kawan-kawan yang berusia relatif muda, memiliki enerji tinggi serta kecakapan berartikulasi lumayan baik, dengan penuh semangat menjebakkan diri ke dalam dan menumpang agenda-agenda oportunistik.

Di tengah ramainya perbincangan kami, saya begitu gelisah dengan pertanyaan, ‘Apakah kelas menengah Indonesia yang saya kenal adalah sekumpulan mahluk oportunis par excellence?’

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: