Awicaks
Mesti jelas dulu, di bawah naungan tata-peradilan dan hukum yang amburadul dan korup, benarkah Amrozi, Imam Samudera dan yang lainnya memang benar-benar pelaku pemboman Bali? Atas nama tekanan publik, atas nama tekanan keterbatasan biaya (yang sebagian besar sudah dikantungi pejabat-pejabat korup), atas nama tekanan diplomatik dagang negara-negara industri kaya nan dominan, atas nama citra Negara (yang sesungguhnya cuma soal citra politikus-politikus di arena pusat kuasa), siapa pun bisa jadi tersangka sebuah kasus menggemparkan. Ketika mata dibayar mata, darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa, tujuan menghukum (to punish) untuk menimbulkan efek jera serta jadi contoh bagi mereka yang berpeluang melakukan tindakan serupa, harus dikritisi dengan seksama.
Keluarga pihak korban bom Bali saya kira punya hak untuk mengatakan, "Akhirnya keadilan yang kami nanti-nantikan datang juga...." Karena manusia secara naluriah memang senantiasa menuntut balas dan imbalan atas apa yang mereka lakukan atau alami. Tidak semua orang punya kesabaran lebih dan mampu tawakal menanti imbalan dari Yang Mahakuasa. Sehingga berhimpun dan menggalang orang-orang yang mengalami nasib serupa untuk menuntut imbalan dari yang memiliki kuasa duniawi menjadi hal yang logis.
Drama berdarah memang layak menjadi sajian media yang mampu menerobos batas-batas tabir politik, budaya, sosial dan ekonomi, sehingga ia merupakan perangkat terbaik untuk menghasilkan tekanan terhadap pihak berkuasa. Dan para pejabat peradilan pun bukan orang yang buta dan tuli, yang menutup hari-hari mereka dari sumber-sumber berita. Seperti kita semua mahfum, tata-peradilan negeri ini pun tidak merdeka dari pengaruh birokratik dan politik mereka yang lebih berkuasa, yang punya hitung-hitungan yang berbda.
Saya pernah membayangkan sebuah teori konspirasi. Tanpa merendahkan kemampuan intelektualitas orang-orang yang dituduh dan pernah dituduh terlibat rombongan peneror mengatasnamakan Agama Islam, atau yang dikait-kaitkan dengan jejaring Al Qaeda, saya kerap berandai-andai, bahwa ada sesuatu yang tolol dan sederhana di balik kisah-kisah bombastik tersebut. Sulit bagi saya menerima bahwa kisah-kisah terpublikasi tentang gerakan Al Qaeda adalah semata-mata ideologik. Bangkrutnya tata-konsumsi orang-orang di hampir seluruh pelosok jagad bolehjadi hanya menyisakan sedikit ruang untuk menabur dan menumbuhkan benih-benih ideologik nan heroik. Itu pun lebih sering karena tekanan rasa frustrasi mereka yang merasa berada di pinggiran atau merasa dipinggirkan. Sehingga kisah motif perdagangan di belakang tindakan-tindakaan torror massal menjadi sangat kabur ketika media (entah karena hasil analisis sendiri atau karena pengaruh propaganda politik pihak-pihak berkuasa) memilih alur kisah yang berkesan gagah: Perang antaretnik, perang antaragama, perang atas nama kebangkitan kejayaan Islam, perang atas nama kebangkitan Nazi, dan sebagainya.
Adalah seorang Loretta Napoleoni yang mengajak pikiran-pikiran saya mengembara melongok struktur dan prasana ekonomik yang, menurut beliau, bukan sekedar perangkat pendukung melainkan arena utama.
"Politicians are the great illusionists. ... the reason why they are illusionists is because politics has lost control of the economy. Politics should be a battle of ideas, it is not any more a battle of ideas. There is no left, there is no right. Politicians, what they do is, they create a basic economic condition for the individual and a corporation in order to grow economically, to become rich. But to hide this kind of transformation to hide the true nature of the state which has now become a market-state -- they project illusions. This is the key problem, that we, the people, are on the receiving-end of these illusions and often we don't know what is real and what is not."
Kembali ke berita eksekusi Amrozi dan kawan-kawan, penting mempertanyakan secara kritis masih diberlakukannya hukuman mati. Saya sama sekali tidak mendukung gerakan-gerakan penyebaran teror atas nama apa pun. Tetapi saya pun tidak mendukung pemberlakuan hukuman mati terhadap orang-orang yang dituduh melanggar hukum apa pun, selama tata-hukum tidak merdeka dari kerangkeng ekonomi-politik yang pro pasar, memuja berhala barang dan jasa industrial, yang merupakan warna utama tata-kuasa Negara-negara berkembang dan demokrasi baru.
Sulit membayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang menjadi anggota barisan penembak, serta para aparat kantor peradilan, yang terlibat dalam ujung skenario drama berdarah bom Bali, ketika menekan pelatuk, melihat sosok tak berdaya terhentak dan terjerembab diterjang peluru panas, kemudian meregang nyawa untuk kemudian dipastikan bahwa mereka benar-benar sudah lepas mati. Apakah mereka akan berpikir, "Saya bangga sudah menjadi bagian tegaknya keadilan...."?
No comments:
Post a Comment