Awicaks
Rasa ingin tahu saya tergelitik melihat pengumuman di sebuah koran nasional sebulan yang lalu: Expo Pendidikan 2008! Memang ini bukan hal baru. Bolehjadi kegiatan sudah jadi tradisi. Tetapi selama ini kegiatan itu tak pernah menarik perhatian saya. Apa yang ditawarkan dan diperdagangkan di sana, lewat sebuah expo atau sebuah pameran perdagangan? Seperti apa pendidikan diperdagangkan? Itu kira-kira yang menggelitik saya.
Maka terkejutlah saya luarbiasa ketika menjejakkan kaki di arena dagang itu. Dulu saya beranggapan expo semacam ini hanya diikuti oleh sekolah-sekolah di negara lain yang mencoba menggalang peminat dari warga Indonesia yang mampu. Namun anggapan saya keliru. Bahkan sekolah-sekolah dalam negeri (baca: Jabodetabek) juga menjajakan diri di sana dengan anjungan yang tak kalah menarik.
Sekolah-sekolah yang menjajakan diri di sana (jangan terkejut, karena saya menemukan satu atau dua sekolah negeri di pameran tersebut!) berebut menonjolkan kelebihan-kelebihan produk layanan pendidikan mereka: Laboratorium bahasa, guru bahasa asing yang berbahasa ibu (native foreign language teacher), sarana olahraga yang lengkap, mata-mata ajaran tertentu yang terakreditasi pada kurikulum internasional, dan sebagainya. Itu pun dilengkapi dengan peragaan multimedia di anjungan masing-masing. Luarbiasa. Rasa kagum yang bercampur getir.
Kegetiran bertambah ketika mengikuti berita-berita tentang keras kepalanya pengurus Negara meloloskan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP). Penyelenggara Negara, baik eksekutif maupun legislatif, menggunakan argumen bahwa UU-BHP bertujuan membebaskan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan dari kooptasi Negara dengan mendorong otonomi. Namun warga belajar terutama dari kalangan perguruan tinggi justru meneriakkan kegeraman mereka karena mengendus kentalnya nuansa komersial di balik peraturan perundangan ini.
Yang jadi persoalan, argumen-argumen pada teks UU-BHP bertentangan dengan kenyataan. Di satu sisi disebutkan bahwa Negara menjamin pembiayaan sepenuhnya bagi Badan Hukum Pendidikan Daerah (BHPD), serta menyelenggarakan beasiswa bagi warga tak mampu, tetapi di sisi lain tergambar gamblang motif penyelenggara Negara membebaskan diri dari tanggungjawab menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi warga. Penyelenggaraan pendidikan dipandang semata-mata sebagai satuan-satuan manejerial belaka, bukan sebuah pertaruhan peradaban.
Meskipun UU-BHP secara eksplisit menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan oleh badan hukum tidak boleh berorientasi menangguk laba (nirlaba) dan harus bertanggung-gugat (accountable) ke publik, orang waras akan bertanya, 'lalu darimana BHP memperoleh dana menyelenggarakan pendidikan jika tidak boleh komersial?' Tak perlu khawatir, karena ternyata sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) no 76 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing, yang jelas dinyatakan bahwa penanaman modal asing diperbolehkan hingga sebesar 40% bagi sektor pendidikan. Penyelenggara Negara ini memang sungguh-sungguh menganggap warga tolol.
Agaknya motif menjadi penyelenggara Negara memang hanya untuk memperkaya diri, karena nuansa mengabdi dan melayani publik pelan-pelan digerus hingga lenyap sama sekali. Arahnya sudah jelas. Penyelenggaraan Negara memang ditujukan untuk mengabdi dan melayani kuasa-kuasa modal, atas nama percepatan laju pertumbuhan ekonomik at any cost. Sehingga konteks tanggung-gugat dari sebuah tata-kelola penyelenggaraan Negara yang bersih mesti dibaca sebagai prasyarat dan syarat yang harus dipenuhi demi memuaskan pelanggan, dalam hal ini para kuasa modal. Bukan atas nama keselamatan publik.
Expo ini sesungguhnya adalah bukti tak-terbantahkan dari kecurigaan dan kekhawatiran berbagai kalangan luas terhadap komodifikasi pendidikan. Bahkan sah jika dikatakan bahwa expo ini dan UU-BHP merupakan upaya swastanisasi atau privatisasi bentuk-bentuk layanan publik. Apa pun argumen indah yang digunakan para penyelenggara Negara (bahkan jika perlu dengan mata melotot sambil berteriak, 'tunjukkan mana pasal yang berorientasi komersial? mana?!') Indonesia memang siswa yang patuh dari sekolah neoliberalisme global....
1 comment:
kalo ngutip dari kata2 bang benyamin, " anak mude sekarang kudu sekoleh", mo di puun bambu kek nyang penting sekoleh. karena kampung kite kalo bukan kite siape lagi.
tapi memang yang terjadu sekarang memang sangat menyedihkan sekolah jadi barang dagangan, sampe2 dulu pak gubernur mau nyamain kurikulum indonesia dengan singapur. hahaha bagus sih niatnya, tapi yang pernah gw alamin waktu kita touring di daerah cianjur, tepatnya daerah " pasir kuntul" ..awas salah sebut bos. ini kejadian nyata dimana mereka boro2 ngomongin uang jajan sekolah, wong papan nama aja gak ada, trus atapnya bocor, dan hampir semua muridnya tidak pakai alas kaki. akhirnya kita coba untuk patungan sedikit untuk menyediakan keperluan sekolah dan pastinya papan nama SDN Pasir Kuntul bisa di pajang. bukan promosi nih bos tapi sesuai tema " barang dagangan itu bernama sekolah " gw bener miris kalo liat pameran di JCC, kok timpang banget ya....gimana kalo kita buat aja sekolah virtual, trus bukunya dari ebook depdiknas. alias gretooong....nah lau bos kepala sekolahnye....hhihihih
Post a Comment