Awicaks
Dalam perjalanan dari arena konferensi ke Pasar Lama Poznan saya menyempatkan diri membeli jeruk dan pisang di pasar buah dekat perhentian trem jalur nomor delapan. Lelaki tua pemilik kedai terbuka yang menjual beragam buah –persis yang kita lihat di sepanjang jalan-jalan di wilayah pinggiran Jakarta- mengamati saya. Ia seperti ingin menyampaikan sesuatu tetapi terlihat ditahan. Mungkin masalah bahasa. Saya pun berpura-pura tidak memperhatikan dengan terus memilih buah yang ingin dibeli.
Setelah dapat yang saya butuhkan, kantung kertas berisi dua buah jeruk, sebuah apel dan sebuah pisang itu pun saya bawa kepada lelaki tua yang matanya masih juga lekat memandangi saya. Tiba-tiba ia tersenyum. Seperti orang yang baru memperoleh ilham.
“Indoneza?” Lelaki tua itu bertanya sambil menerima kantung kertas berisi buah-buahan yang ingin saya beli. Saya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Lelaki tua itu pun melebar senyumnya. “Aha…. Soekarno!” Saya terkejut tetapi tak lama kemudian tersenyum lebar.
“Yes, that’s right. Indonesia, Soekarno!” Kata saya.
Dengan nada suara yang berat lelaki tua itu berkata tanpa melepas senyum lebarnya. “Keretegh rogkogk?” Jari-jari telunjuk dan tengah tangan kanan laki-laki itu memeragakan orang merokok. Sempat terkejut saya dengan kata-kata itu. Saya segera merogoh kantung jaket. Sebungkus Ji-Sam-Soe saya tunjukkan kepada lelaki tua itu. Ia tertawa lebar. “Hahahaha! Indoneza! Keretegh rogkogk!” Ia mengambil cepat ketika saya ajukan rokok sebungkus itu.
Sayang kami tidak berkomunikasi, bagaimana ia tahu rokok keretek, dan bagaimana ia tahu Soekarno. Mungkin ia pernah bertugas di Indonesia? Atau mungkin bagi orang dari generasinya nama Indonesia identik dengan Soekarno. Bolehjadi ia tahu Soekarno karena tonggak monumental pada April 1955 di Bandung, Konferensi Asia Afrika, sebuah konferensi tingkat tinggi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan.
Ketika transaksi jual beli buah selesai, dan saya harus bergegas ke Hotel Brovaria untuk menghadiri seminar yang diselenggarakan World Resources Institute (WRI), lelaki tua itu mengucapkan terimakasih dengan menjabat tangan saya erat-erat. Ia memanggil kawannya pemilik kedai terbuka di sebelah, dan memintanya memotret kami berdua menggunakan kamera digital. Saya tersenyum. Dimensi masa lalu bertubrukkan dengan dimensi masa sekarang. Selesai berfoto bersama ia menjabat tangan saya erat-erat.
“Dziękuje,” Ucapnya tulus, menyampaikan terimakasihnya.
“Proszę,” Sambut saya. Ternyata pedoman yang diedarkan kantor selama berlangsungnya konferensi perubahan iklim sangat bermanfaat. Minimal saya bisa menyambut ucapan terimakasih dalam bahasa Polish. Sayang saya gagal memahami darimana dan bagaimana ia tahu tentang Indonesia, Soekarno dan rokok keretek.
No comments:
Post a Comment