Awicaks
Setiap ada pertanyaan tentang bagaimana menghentikan pikiran, sikap dan tindakan bodoh yang berlaku massal pada sekelompok mayoritas dungu, yang telah terbukti merugikan mereka yang tidak sepaham (baca: memilih tidak berpkiran, bersikap dan bertindak bodoh), saya pasti akan menjawab, “Jangan ikut-kut bodoh. Mereka akan berhenti sendiri ketika sudah tidak ada lagi yang membeli barang dagangan mereka. Yang perlu kau lakukan justru bagaimana menyoroti para pemesan, yang punya duwit, punya kuasa, tetapi tidak punya harga diri dan iba. Merekalah musuhmu yang sesungguhnya. Dan kita tidak boleh menyerah dibodohi dengan iklan-iklan murahan, dan dengan mudah mengambil keputusan membeli barang dagangan mereka!”
Di jalanan kita dihadang ribuan (dan saya yakin jumlah totalnya mencapai jutaan) lembar pamflet-pamflet bergambar profil orang yang tak seorang pun saya kenal tertempel di segala macam bidang tegak, dengan pesan jumawa, bahwa mereka satu-satunya yang paling rupawan dan paling berkerakyatan, lalu tanpa malu meminta publik mencontreng nama mereka di bilik pemilihan kelak. Mungkin di layar televisi bisa lebih parah dari itu. Saya bersyukur tidak (pernah) punya televisi di rumah, sehingga tidak dipusingkan oleh hiruk-pikuk ketoprakan demokrasi a la Ngindonesa ini. Kawan-kawan pegiat organisasi masyarakat sipil pun terpaksa tiarap, daripada terlihat bergerombol bersama badut-badut politik tak tahu malu itu, berslogan kerakyatan dan mengusung perubahan. Maksud hati ingin mengikuti jejak langkah Barrack Obama dengan the Audacity of Hope-nya.
“Hey, LSM, minggir dulu kalian. Sekarang giliran kami yang berteriak lantang macam kalian. Ini untuk perubahan yang lebih besar. Ini lebih mulia daripada sekedar demo-demo yang mengganggu ketertiban umum. Kalau mau berteriak, ayo daftar lewat partai kami dan ayo sama-sama meramaikan panggung ini!”
Saya tidak akan pernah menyangkal bahwa politik itu penting dalam kehidupan bermasyarakat. Namun saya ragu bahwa orang-orang yang berani malu memamerkan wajah sumringah penuh senyum pada pamflet-pamflet itu paham bahwa politik itu bukan peluang kerja. Pekerjaan bergaji yang didukung aneka-ragam tunjangan. Berpolitik adalah upaya mempengaruhi proses dan mekanisma pengambilan keputusan atas nama kepentingan khalayak luas. Dan itu artinya tidak harus melewati rute yang sekarang dikesankan sebagai the only game in town! Bahwa ia resmi, tak seorang pun akan menolak. Tetapi, apakah ia efektif, itu persoalan berbeda….
Perubahan memang butuh waktu, butuh pengorbanan, dan tidak sesederhana seorang tukang sulap membalik telapak tangan untuk memunculkan uang logam dalam waktu sepersekian detik hingga tak mampu ditangkap mata penonton. Tetapi perubahan macam apa yang ingin diwujudkan? Apakah perubahan memang harus berskala gigantik? Apakah perubahan harus memiliki daya-jangkau seluas-luasnya? Apakah perubahan bisa diciptakan tanpa kita memenuhi prasyarat-prasyarat mendasar, termasuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini tertunggak dan tidak (pernah diniatkan) terselesaikan? Ibarat orang sakit, apakah kita sungguh-sungguh paham penyakit apa yang kita idap, meski ia hanya persifat psiko-somatik?
Jadi ini bukan perkara golput itu haram atau halal. Ini juga bukan (sekedar) soal siapa yang memiliki legitimasi menduduki kursi-kursi pengendali roda pengurusan Negara dan mekanisma pengawasannya. Bagi saya ini adalah pembodohan sistematik. Semua krisis harus ditutup mulutnya, menanti hingga semua upacara pengumpulan suara diselesaikan. Apakah semua krisis tadi terpecahkan ketika seluruh rangkaian upacara diselesaikan dan Negara ini memiliki orang-orang yang legitimate di kuris-kursi eksekutif dan legislatif? Karena demokrasi yang dipertontonkan di negeri kita yang amburadul ini benar-benar telah menghina akal sehat warga.
Bagaimana perasaan orang-orang yang menjadi korban kekerasan militer pada masa Wiranto dan Prabowo sedang bergelimang kuasa tanpa batas, ketika menyaksikan potret kedua tokoh militer yang sekarang mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia? Publik tidak amnesia. Rasa sakit yang terbenam dalam akan muncul apabila peristiwa-peristiwa kekerasan di masa lalu dimunculkan secara kilas-balik, tetapi ia memilih tidak bersuara. Prabowo dan Wiranto hanya dua contoh kecil dari potret orang-orang yang punya akses kepada kekuasaan dan modal yang senantiasa kebal hukum di negeri ini. Bagaimana sebuah konsep adiluhung bernama demokrasi bisa dengan mudah ditunggangi orang-orang bermasalah yang tindakan masa lalu mereka tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik?
Jika tidak ingin bodoh atau dibodohi, mari lihat racikan dari apa yang disebut sebagai demokrasi di negeri amburadul ini:
Formula 1: Demokrasi = F (suara terbanyak)
Formula 2: Suara terbanyak = F (kehadiran di ruang publik secara terus-menerus); F (modal yang digelontorkan); F (pencitraan positif); F (basis-basis pengerahan massa)
Dimana F adalah fungsi dan pernyataan di dalam tanda kurung adalah peubah (variabel).
Maka ketika beberapa pegiat organisasi masyarakat sipil mempertanyakan visi dan missi para calon anggota legislatif, saya hanya bisa tertawa getir. Apalagi jika kita mempertanyakan keterkaitan pemilihan umum dengan jutaan tunggakan persoalan yang menjadi beban kehidupan sehari-hari warga biasa. Pemilihan umum tidak ada urusan dengan penuntasan krisis!
Terngiang kata-kata yang saya ucapkan kepada beberapa orang kawan yang bimbang bagaimana menyikapi huru-hara ini:
“Jangan ikut-kut bodoh. Mereka akan berhenti sendiri ketika sudah tidak ada lagi yang membeli barang dagangan mereka. Yang perlu kau lakukan justru bagaimana menyoroti para pemesan, yang punya duwit, punya kuasa, tetapi tidak punya harga diri dan iba. Merekalah musuhmu yang sesungguhnya. Dan kita tidak boleh menyerah dibodohi dengan iklan-iklan murahan, dan dengan mudah mengambil keputusan membeli barang dagangan mereka!”
No comments:
Post a Comment