Awicaks
Ada saat ketika rasa muak sudah melampaui ambang yang dapat diterima akal sehat. Saat itulah kemarahan telah melampaui batas kewarasan. Ia tidak perlu menjadi sebuah kemurkaan, namun setidaknya ia mampu mengunci dorongan-dorongan tertentu, fisik maupun kejiwaan. Itulah yang saya alami sejak menjelang batas akhir tahun hingga, kira-kira, beberapa hari lalu. Sebuah perjalanan reflektif yang membuat saya harus mengambil keputusan terbaik meskipun harus berpisah dari lingkungan yang selama ini saya anggap sangat menyenangkan.
Saya tidak punya masalah dengan wadah berikut semua tata-nilai dan tata-laksana serta legenda-legendanya. Saya pun tidak punya masalah dengan kawan-kawan yang bertebaran di berbagai pelosok jagad. Saya hanya tidak bisa berada satu atap dengan orang-orang pengecut, berkarakter pengadu dan khianat, yang menghuni wadah perwakilan di negeri amburadul ini. Saya pun tak pernah sudi bekerjasama dengan segerombolan egomaniak yang begitu gemar bermain-main dengan kekuasaan. Saya tidak punya waktu untuk melayani segala sampah seperti itu. Ada banyak hal yang menurut hemat saya jauh lebih penting untuk diurus dibandingkan terlibat di dalam lingkungan berbau busuk. Sesederhana itu.
Beragam reaksi saya terima ketika pertama kali mengumumkan pengunduran diri saya. Harus saya akui, saya sangat sedih menerima reaksi-reaksi tersebut. Namun saya harus berjalan dengan kepala tegak, membalas reaksi-reaksi itu dengan senyum dan jabat erat, sambil berkata yakin, “We’ll work together some time in the future, I’m sure….” Sambil membalikkan badan, saya melangkah meninggalkan wadah ingar-bingar itu. Saya kembali menyapa sobat-sobat lama yang untuk beberapa waktu saya tinggalkan karena tuntutan pekerjaan yang begitu menyita waktu. Mereka menyambut saya dengan hangat dan senyum penuh rindu.
1 comment:
MANTAP........
Post a Comment