Saturday, March 21, 2009

Warga Korban Lapindo, Pemilu & Republik Skandal

Awicaks

Pemilu adalah soal tampil bergincu, menyembunyikan borok ke bawah karpet, dan menonjol-nonjolkan serta menggelembungkan keberhasilan-keberhasilan kecil menjadi berukuran raksasa. Apakah bencana yang dialami warga akibat ketelodoran industri oleh Lapindo di Porong bisa disembunyikan ke bawah karpet? Siapa bersalah dan siapa bertanggungjawab? Apakah Pemilu punya makna solutif terhadap derita warga korban?

Yang jelas, rejim SBY-JK tidak merasa bertanggungjawab. Jelas terlihat dari semua (baca: SEMUA) tindakan-tindakan mereka yang tak lebih dari sekedar pemulas tampilan publik daripada jalan keluar yang sesungguhnya sejak semburan lumpur terjadi pada pertangahan 2006 hingga saat ini. Ketika Pemilu tiba, dan ketika warga korban berteriak putus asa pasangan rejim itu bergeming.  Lapindo jelas sulit digunakan sebagai gincu politik.

Dugaan saya, kalkulasi politik masing-masing melihat warga korban semburan lumpur Lapindo tidak dapat dijadikan komoditas politik untuk Pemilu. Serba salah. Jika digunakan, mereka tidak mau disoroti sebagai politikus tidak beretika dan tidak manusiawi karena menggunakan bencana sebagai komoditas politik.

Bahkan apabila digunakan sekali pun, lawan-lawan politik masing-masing akan menuding mereka sebagai politikus keji karena bencana industri tersebut terjadi tepat di bawah hidung mereka, dimana orang yang bertanggungjawab secara langsung berada dalam gerbong kabinet mereka. Namun jika tidak digunakan, mereka akan menghadapi kesulitan karena akan menghadapi tudingan sebagai pemimpin yang tidak bertanggungjawab.

Saya duga para kandidat lain merasa kagok untuk berinteraksi dengan warga korban Lapindo. Mengapa? Karena janji yang dituntut warga korban Lapindo sangat sangat kongkret. Keselamatan mereka dan nasib mereka ke depan. Dan janji kongkret memang bukan menu janji politik Pemilu.

Menu janji politik Pemilu senantiasa bersifat abstrak, rethorika dan normatif. Kesejahteraan! Kemakmuran! Keadilan! Lebih buruk lagi, alamat tujuan janji itu pun tidak jelas: Rakyat! Rakyat yang mana? Apakah warga korban lumpur Lapindo bukan Rakyat?

Mari belajar dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Jawa Timur. Kedua kandidat di putaran akhir secara keji tidak memperhitungkan warga korban Lapindo karena jumlah suara mereka sangat kecil dan tidak berarti dibandingkan total suara yang harus mereka raih untuk memenangkan pemilihan. Saya kira perhitungan serupa juga ada di benak para kandidat kali ini….

Lalu, bagaimana nasib warga korban semburan lumpur akibat ketelodoran operasi pengeboran PT Lapindo Brantas? Apakah Pemilu punya makna solutif bagi penderitaan berkepanjangan yang mereka hadapi? Jika jawabannya ‘tidak’, kita mesti menyebut negeri ini sebagai Republik Skandal.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: