Awicaks
Situ Gintung lagi-lagi menjadi bukti tak-terbantahkan tentang ketidakpedulian para politikus dan pengurus negara terhadap status keselamatan warga. Ketika musibah dan bencana belum terjadi, perhatian utama lebih ke indikator-indikator ekonomi makro yang tidak ada urusan secara langsung dengan gambar visual keselamatan warga. Ketika bencana terjadi, semua dibaca dan dikerjakan menggunakan perspektif manfaat bagi posisi mereka. Semua harus tampak heboh, kolosal dan megah (meski megah dalam konteks musibah dan bencana), untuk bisa mendapatkan perhatian politik. Luar biasa.
Mari simak nasib warga korban semburan lumpur laknat Lapindo (L3), yang hingga hari ini tidak kunjung tuntas, meskipun sudah melewati momentum-momentum politik penting yang berpeluang memberi jalan keluar, seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Propinsi Jawa Timur, serta Pemilihan Umum (Pemilu) Nasional sekarang ini. Bahkan warga korban secara bengis diseret-seret petugas keamanan dan ditumpuk ke atas bak truk, disingkirkan dari depan Istana Negara, disertai teriakan petugas, "Atas nama undang-undang....!!" Entah undang-undang mana yang dimaksud. Mungkin undang-undang kebersihan kota, atau undang-undang keindahan istana.
Mestinya seluruh warga memboikot habis-habisan Pemilu. Pemilu harus dibuat tidak relevan. Saya hakul yakin tidak seorang pun bisa menjamin Pemilu akan menyediakan jalan keluar bagi tunggakan-tunggakan masalah dan krisis warga yang tiap detik terus menggunung. Pemilu ya Pemilu. Krisis warga ya krisis warga. Tidak tali temali hubungan diantara keduanya.
Meskipun sudah menduga akan terjadi, ternyata saya tidak dapat menahan rasa mual dan muak, dan harus lari ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi lambung, ketika mengetahui para calon legislatif tanpa punya malu dan etika beramai-ramai mendatangi Situ Gintung, mendirikan posko bantuan, serta tidak lupa memasang baliho-baliho kampanye mereka. Tindakan bodoh yang tidak bermoral. Mungkin saya akan terserang muntaber jika kebetulan berada di lokasi menyaksikan perilaku biadab mereka.
Anda boleh berkomentar, saya cuma memprovokasi dan tidak menyediakan solusi. Saya ingin beri tahu Anda. Solusi tidak ada di rumus-rumus kebijakan, atau kalkulasi anggaran. Dia ada di benak dan batin. Terutama di benak dan batin mereka yang begitu bernafsu menjadi penguasa (baca: bukan pemimpin). Benak dan batin yang menjunjung tinggi keselamatan warga sebagai bagian tanggung-gugat (accountability) utama mereka yang hidup dari uang Rakyat. Dan pemimpin yang memilliki benak dan batin seperti itu seringkali tidak lahir dari kampanye poster dan baliho yang memajang wajah-wajah bergincu dan berpupur, dengan pesan-pesan bodoh yang menunjukkan rendahnya mutu intelektualitas mereka. Ini memang provokasi!
Anda boleh menuduh saya apolitis, tidak punya ambisi mewujudkan perubahan dengan mengambil alih kekuasaan. Saya mau tanya Anda, apakah orang yang selama ini menganggap dirinya politis mampu terbebas dari arus-utama unggah-ungguh politik yang padat modal? Apakah orang-orang yang menepuk dada mereka dan berteriak, "Saya tidak apolitis!" mampu menyetir arus-utama itu dan mendorong bentuk tanggung-gugat yang lebih kongkret? Ya, benar, semua butuh proses. Semua butuh mekanisme. Tetapi di negeri yang amburadul ini proses dan mekanisme yang canggih-canggih (selalu) begitu mudah teronggok sekedar sebagai pakaian belaka.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Mereka yang tercerahkan, terdidik, terinformasikan dan terorganisir mestinya segera menggalang gerakan massif untuk menolak dilaksanakannya Pemilu, kecuali seluruh tunggakan-tunggakan masalah dan krisis warga yang terus menggantung secara serius akan dituntaskan. Kalau memang Pemilu mesti berlangsung, janji-janji para calon legislatif dan presiden harus kongkret, menyangkut penyelesaian daftar panjang utang-utang krisis yang diemban warga tanpa kejelasan jalan keluar.
"Ah, sudah terlambat.... Semua janji kadung bicara tentang kemakmuran dan kesejahteraan.. Sementara Pemilu tinggal beberapa hari lagi.... Bagaimana kalau Pemilu 2014 saja?"
Saya tercenung memandang foto-foto korban L3 dan Situ Gintung. Juga foto-foto masa lalu, warga korban pembangunan Waduk Kedungombo, yang juga berserakan di atas meja. Belum lagi kliping-kliping koran kegigihan para orangtua korban Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Ini masih belum memperhitungkan kasus-kasus yang tidak sexy di mata insan pers, dari mulai penggusuran warga untuk pembangunan perumahan-perumahan di Pulau Jawa. Dan masih lekat di pikiran tentang kematian seorang ibu dan anak balitanya karena kurang gizi di Makassar tahun lalu. Hmmm... Tahun 2014? Saya acungkan jempol, "Anda memang luar biasa!"
No comments:
Post a Comment