Dodi Mantra | Kompas Cetak | 4 Februari 2010
Pasar bebas dan peran minimal negara merupa-kan inti dari neoliberalisme yang menjadi roh bagi tata kelola perekonomian internasional tiga dekade terakhir. Individualisme kompetitif yang didasarkan pada prinsip individualisme metodologis diyakini oleh kaum neoliberal sebagai kunci sukses bagi pasar bebas dalam menciptakan kesejahteraan.
Realitas pasar pada kenyataannya tidaklah bebas seperti yang digambarkan oleh teori-teori neoliberal. Sebagaimana kritik Polanyi, terciptanya kebebasan pasar bukanlah merupakan proses alamiah. Akan tetapi, tidak dapat dilepaskan dari adanya campur tangan negara (Polanyi, 2001).
Maraknya kesepakatan bebas di berbagai kawasan merupakan implementasi nyata dari paradigma neoliberal. Seakan-akan tak pernah ada paradigma alternatif yang dapat menggantikan posisi dominan neoliberalisme. Bahkan, aspek-aspek menyakitkan dari neoliberalisme dalam wujud ketimpangan ekonomi, pengangguran, dan ketidakadilan telah menjadi fakta kehidupan yang memang seharusnya terjadi dan tak dapat dihindari.
Tangga pembangunan
Dunia seolah-olah menutup mata atas penderitaan buruh di Meksiko sebagai imbas dari kejamnya perdagangan bebas. Jeritan buruh tekstil dan pengusaha batik skala kecil di Indonesia seakan tidak terdengar, ditelan gegap gempita, sorak sorai ilusi peluang perdagangan bebas yang ”katanya” menguntungkan. Aspirasi atas proteksi dan subsidi terhadap perekonomian domestik dinilai sebagai wujud picik dan pandangan sempit nasionalisme ekonomi yang dipandang tidak relevan lagi.
Catatan sejarah menunjukkan, keberhasilan ekonomi negara-negara maju dapat dicapai tidak lain karena adanya tangga nasionalisme ekonomi yang mereka tapaki. Inggris dapat mengalami kemajuan berarti karena adanya peran besar pemerintah yang melindungi dan membesarkan industri domestiknya. Begitu juga halnya dengan Amerika Serikat, sejarah memperlihatkan bagaimana pemerintah berperan besar dalam transformasi ekonomi berbasis manufaktur. Negara-negara maju di Eropa juga melakukan hal yang sama.
Bahkan, jejak-jejak nasionalisme ekonomi dalam bentuk proteksi dan subsidi masih tersisa sampai detik ini. Adalah fakta bahwa seekor sapi di Eropa mendapatkan subsidi rata-rata 2 dollar AS per hari, sementara lebih dari separuh penduduk di negara-negara berkembang hidup hanya dengan penghasilan di bawah 2 dollar AS per hari (Stiglitz, 2006). Masih teringat juga bagaimana sulitnya pengusaha Indonesia menembus pasar AS dikarenakan hambatan non-tarif yang terkait dengan aspek sanitasi dan lingkungan.
Yang menjadi ironi adalah, ketika negara-negara tersebut berhasil sampai ke puncak kemajuan ekonomi, dengan segera mereka menendang tangga tersebut (kicking away the ladder) dengan tujuan untuk mencegah negara-negara lain menaiki tangga yang sama dan menjadi pesaing bagi mereka dalam perekonomian global (Bill Dunn, 2009). Skema-skema perdagangan bebas yang diciptakan oleh negara maju di berbagai belahan dunia menjadi refleksi tindakan kicking away the ladder ini.
Nasionalisme ekonomi
Hal yang serupa dilakukan oleh China. Negeri ini dapat mengalami kebangkitan yang luar biasa juga dikarenakan tangga nasionalisme ekonomi dalam bentuk peranan pemerintah yang sangat besar dalam mengembangkan dan melindungi perekonomian domestik. Transisi perekonomian dari sosialisme tetap dijalankan dalam koridor nasionalisme. Dengan kata lain, segala bentuk reformasi terhadap perekonomian domestik tujuan akhirnya adalah kemajuan ekonomi nasional.
Apa yang dilakukan China melalui kesepakatan perdagangan bebas, terutama dengan ASEAN (ASEAN-China Free Trade Area/ACFTA), merupakan wujud nyata upaya negara ini untuk menyingkirkan tangga kemajuan ekonomi. Tangga yang telah mengantarkannya sampai ke puncak harus ditendang sehingga peluang bagi munculnya para pesaing dapat disingkirkan.
Yang penting untuk dicatat di sini adalah momentum untuk menendang tangga. China telah memastikan bahwa dirinya telah berada di puncak, baru kemudian tangga disingkirkan. Telah dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan China telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri, baru kemudian mengundang tamu asing untuk datang. Misalnya, perusahaan negara yang menjadi pemain dominan di sektor energi China, yaitu CNOOC, Sinopec, dan PetroChina, bukan perusahaan minyak asing, sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Tangga pembangunan adalah suatu paradigma yang membuka jalan bagi kemajuan ekonomi. Adalah sebuah ilusi jika lahir optimisme Indonesia akan meraup keuntungan dari perdagangan bebas dengan menaiki tangga rapuh neoliberalisme.
Indonesia harus bangkit dengan menapaki suatu tangga (paradigma) pembangunan yang kokoh, yaitu paradigma yang merepresentasikan nilai-nilai dan kepentingan rakyat. Sikap Indonesia yang melebur ke dalam ACFTA menjadi suatu kisah yang menyedihkan, di mana justru kita sendiri yang menyingkirkan dan menendang tangga yang dapat mengantarkan kita kepada kemajuan ekonomi.
Perubahan paradigma bukanlah sebuah halusinasi. Konstruksi paradigma baru mutlak harus dibangun. Penyelesaian masalah teknis terkait dengan mekanisme perjanjian internasional tidak akan berarti jika neoliberalisme tetap menjadi landasan pembangunan. Berbagai konsekuensi akan dapat diatasi jika kita berpegang teguh pada paradigma kokoh untuk kemajuan perekonomian nasional.
Neoliberalisme dapat bertahan sampai detik ini tidak hanya dikarenakan kemampuannya dalam menciptakan ilusi, tetapi lebih dikarenakan belum adanya paradigma alternatif yang dapat menggantikannya. Akan tetapi, dominasi neoliberalisme bukanlah tanpa akhir. Suatu paradigma dan mimpi lain akan muncul seiring dengan semakin nyatanya penderitaan yang melekat dalam implementasi paradigma ini.
No comments:
Post a Comment