Khudori | Kompas Cetak | 1 Februari 2010
Petani di negeri ini harus siap-siap menghadapi sumber kesengsaraan baru. Ironi ini diusung Menteri Pertanian Suswono lewat salah satu program andalannya: food estate. Ia hendak melegalkan food estate melalui peraturan pemerintah yang terbit akhir Januari ini.
Selain swasembada, food estate untuk mendukung pengembangan industri biofuel. Potensi lahan yang tersedia 2,5-3 juta ha.
Dalam peraturan pemerintah diatur luas maksimum lahan (5.000-10.000 ha), jangka waktu usaha, subsidi, ketentuan fasilitas kredit, dan saham maksimum bagi asing (49 persen). Sesuai namanya, food estate merupakan pengembangan produksi pangan berskala luas. Definisi ini tegas menunjukkan kultur bertani ala food estate hanya diperuntukkan bagi pemodal atau korporasi. Prioritasnya investor domestik.
Sejauh ini sejumlah korporasi raksasa domestik, seperti Sinar Mas, Medco, dan Arta Graha, mengaku berminat. Investor lain, domestik dan asing, antre.
Mengapa? Krisis keuangan dan pangan belum berakhir. Bagi negara importir neto pangan, krisis pangan memberi pelajaran penting: menggantungkan pangan di pasar impor amat rentan dan berisiko. Bagi lembaga keuangan, krisis finansial mengajarkan satu hal: saat krisis berkepanjangan, tak ada tempat aman buat mengeramkan uang dengan keuntungan tinggi. Karena pasar finansial (uang, modal, dan obligasi) dan komoditas penuh risiko, harus dicari tempat mengeram baru yang aman. Kedua entitas itu, negara dan lembaga keuangan, menemukan instrumen baru bernama land grabbing.
Land grabbing dimaknai sebagai pengambilalihan lahan pertanian secara masif oleh negara importir neto pangan serta yang terbatas sumber daya lahan dan air, tetapi memiliki dana melimpah, seperti negara Teluk, Timur Tengah, Jepang, dan China, Uni Eropa dan Amerika Utara. Sasarannya tak hanya negara berlahan subur, seperti Brasil, Rusia, dan Indonesia, tetapi juga negara pertanian miskin, seperti Kamerun dan Etiopia.
China, misalnya, meng-outsourcing produksi pangan jauh sebelum krisis. Sekitar 30 kesepakatan kerja sama diteken dengan sejumlah negara. Semua memberi akses eksklusif kepada China untuk memproduksi aneka pangan. Di Indonesia, konsorsium 15 perusahaan Arab Saudi mendirikan Merauke Integrated Food and Energy Estate di lahan seluas 1,6 juta ha. Menurut International Food Policy Research Institute (2009), akuisisi lahan pertanian di negara berkembang oleh negara-negara kaya sejak 2006 mencapai 15-20 juta ha atau setengah daratan Eropa dengan transaksi 20-30 miliar dollar AS. Dari sisi konsep, tak ada perbedaan prinsip land grabbing dan food estate. Intinya, produksi pangan ditumpukan kepada korporasi besar (domestik dan asing), bukan kepada petani kecil.
Bagi lembaga keuangan dan korporasi (pangan), food estate seperti gadis molek rebutan. Perubahan iklim, penurunan kesuburan dan konversi lahan, krisis air, luasnya praktik monokultur, serta tarikan pangan buat biofuel membuat tekanan produksi pangan kian berat. Produksi suram, sementara perut yang mesti diisi terus bertambah. Krisis pangan mengubah cara pandang pada pangan: pangan sulit diproduksi sehingga harganya melambung karena pangan kebutuhan tak tergantikan.
Meninggalkan petani
Semua ini bermuara satu hal: pangan harus diproduksi karena harga selalu tinggi, lahan murah tersedia, (karena itu) semua investasi terbayar. Tanah yang tak lazim sebagai ajang investasi korporasi transnasional kini jadi mainan seksi. Bukan hanya Syngenta, Cargill, ADM, Bayer, atau Monsanto, lembaga asuransi Goldman Sach, Morgan Stanley, dan Black Rock Inc, hedge funds terbesar di dunia, juga mengakuisisi tanah. Masuknya Sinar Mas, Medco, dan Arta Graha dalam food estate adalah bagian dari arus besar ini.
Apa makna fenomena ini? Selama 400 tahun terakhir, evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani/warga sebagai subyek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini, usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Padahal, bukti empiris menunjukkan sebaliknya. Siapa yang memproduksi pangan 230 juta warga kalau bukanpetani? Itu dilakukan di 3,6 juta ha areal karet, 3,7 juta ha kelapa, 7,5 juta ha sawah, dan ratusan ribu ha kebun kopi, teh, tebu, lahan kedelai, jagung, dan yang lain.
Investor/korporasi, sudah tentu, orientasinya untung dan ekspor. Tanpa kewajiban mendahulukan pasar dalam negeri (DMO), akankah tujuan swasembada tercapai? Akankah wajib DMO jadi bagian integral desain food estate? Jika ya, investor mana yang mau? Lewat model budidaya monokultur berskema plasma-inti, seperti perkebunan inti rakyat, investor (korporasi atau inti) akan memperoleh legitimasi kuat melakukan eksploitasi petani: si lemah (plasma). Ibarat cultuurstelsel, dalam pola plasma-inti berlaku hubungan ekonomi tuan-hamba, majikan-kuli, atau patron-client. Hubungan subordinasi dipraktikan dalam bentuk penentuan harga dan mutu produk tanpa transparansi, bahkan—dalam bentuk integrasi vertikal—inti mengontrol semua tahapan produksi plasma. Petani dan rakyat yang lemah, yang mestinya dimandirikan, justru dibuat bergantung. Kebijakan semacam ini adalah kelanjutan dari mentalitas zaman kolonial alias cultuurstelsel baru.
No comments:
Post a Comment