Oleh Usep Setiawan | Kompas Cetak | 16 Februari 2010
Publik mesti waspada. Dalam Program Legislasi Nasional 2010 tercantum rencana penyusunan RUU Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan. Legislasi ini potensial melegalisasi penggusuran.
Pemerintah juga sedang merumuskan RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Meski beda redaksi judul, tampaknya secara substansial, baik pemerintah maupun parlemen memiliki itikad sama untuk menyusun legislasi yang mengatur penyediaan tanah untuk kepentingan ”pembangunan” atau ”umum”. Kesulitan investor dalam pembebasan tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur jadi alasan utama perlunya RUU ini. Para investor berulang kali mengeluh ke pemerintah karena proyek mereka kerap terhambat gara-gara rumitnya pembebasan tanah.
Tahun 2005, pemerintah menggelar Infrastructure Summit, yang menghasilkan desakan kebijakan untuk mempermudah pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur. Tak lama setelah itu, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang menuai badai protes, termasuk dari DPR kala itu. Akhir 2009, digelar National Summit. Melalui forum ini, para investor di bidang infrastruktur kembali mendesak pemerintah membuat regulasi atas hal yang sama, dengan legislasi yang lebih kuat.
Setelah itu, sejumlah pejabat beramai-ramai mendorong RUU ini masuk ke Program Legislasi Nasional 2010-2014. Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perindustrian, Menko Perekonomian, bahkan Wakil Presiden Boediono bersahutan menyampaikan pernyataan urgensi RUU ini. ”Untuk kelancaran pembangunan infrastruktur”, eksplisit terlontar dari mulut pejabat negara.
Kontroversi baru
Penyusunan RUU ini dapat memicu kontroversi serupa dengan saat Perpres No 36/2005 terbit. Kontroversi ini dapat menyangkut konteks paradigmatik, konteks ekonomi-politik, dan konteks substansi hukum. Atau, karena proses, prosedur dan mekanisme penyusunan dinilai tak cukup demokratis.
Dalam konteks ekonomi-politik, rencana penerbitan RUU ini merupakan refleksi dari arah dan orientasi pembangunan yang sedang dan akan dilanjutkan pemerintah dalam kerangka ekonomi politik neoliberal yang kapitalistik. Kebijakan pertanahan dan keagrariaan diarahkan guna mempermudah masuknya investasi skala besar lewat pintu pembangunan sarana dan prasarana atau infrastruktur yang dibutuhkan kalangan pemodal besar, dari dalam dan luar negeri.
Sementara masyarakat Indonesia umumnya kini butuh pengakuan dan penguatan hak atas tanah. Bahkan, bagi sebagian besar yang lain, lebih mendasar dari itu, yakni membutuhkan ”tanah untuk kehidupan”. Kaum tani di pedesaan dan kaum miskin di perkotaan mayoritas berlahan sempit dan tak punya tanah sama sekali. Persis dalam konteks semacam inilah RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyeruak. Jika memang reforma agraria benar-benar akan dijalankan pemerintahan Yudhoyono pada periode kedua (2009-2014) ini, kenapa tak segera disusun RUU tentang Pelaksanaan Reforma Agraria?
Mengingat penataan ulang struktur agraria yang timpang belum dijalankan—karena belum ada dasar hukum yang operasional—penyusunan RUU Pelaksanaan Reforma Agraria hendaknya didulukan dan diutamakan sebelum agenda legislasi keagrariaan dan pertanahan lainnya.
RUU Pengadaan Tanah hendaknya menjawab: pembangunan untuk siapa dan dijalankan dengan cara bagaimana? Jika pembangunan lebih diprioritaskan untuk infrastruktur bagi pemodal besar dengan mengesampingkan golongan lemah dan ”membenarkan” praktik penggusuran, RUU ini layak ditolak tegas. Proses penyusunan RUU Pengadaan Tanah membutuhkan konsultasi publik luas dari tingkat kampung hingga kampus, yang mencakup kepentingan sebanyak mungkin kelompok yang kemungkinan besar menerima dampaknya kelak.
Sejumlah agenda dan langkah strategis patut dikedepankan. Pertama, perumusan ulang makna ”pembangunan” dan ”kepentingan umum” dengan prinsip kewenangan negara untuk mengatur tanah, tanpa mengorbankan hak warga. Kepentingan umum bukanlah untuk bisnis dan hak rakyat harus dilindungi maksimal. Kedua, prosedur dan mekanisme pengadaan tanah yang demokratis, emansipatif dan manusiawi dengan menempatkan rakyat sebagai subyek pelaku yang turut menentukan arah dan bentuk kegiatan pembangunan.
Ketiga, perlu pembangunan infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan golongan lemah sekaligus memicu pembangunan ekonomi rakyat yang berlandaskan pada kekuatan sendiri, demi kedaulatan dan kemandirian bangsa. Keempat, perlu pengembangan orientasi dan praktik pembangunan ekonomi bersemangat kolektif dalam menggalang kekuatan sosial ekonomi internal bangsa sebagai batu pijak sistem ekonomi kerakyatan yang kokoh, adil, dan berkelanjutan. Pelaksanaan reforma agraria sejati ialah dasar dari pembangunan untuk kepentingan umum dalam makna paling hakiki.
No comments:
Post a Comment