Monday, February 22, 2010

Tiger Wood, sosok ksatria di Tahun Macan

Awicaks

Menurut pemberitaan media, Tiger Wood, pesohor dunia di bidang olahraga golf, dengan tegas meminta maaf kepada publik atas perilaku ketagihan seks dan pembohongan yang selama beberapa tahun ia lakukan. Suatu sikap ksatria seorang yang layak dicatat sebagai sejarah pembuka Tahun Macan kali ini. Suatu pertunjukkan citra yang patut pula dicontoh oleh para pesohor negeri amburadul Indonesia.

Menjadi pesohor di millenium yang sangat liberal ini, dimana seluruh tatanan kehidupan menjadi bagian terintegrasi dari tatanan industri serta diatur dan dikendalikan oleh pasar, ketauladan terjerembab sekedar sebagai citra diri. Tiger Wood memporakporandakan pilar-pilar kokoh tentang industri pencitraan sebagai bagian terintegrasi tatanan kehidupan planet bumi di bawah asuhan paradigma neliberalisme yang hegemonik. Wood tampil ksatria dengan sederhana.

Tentu tindakan berani Wood bukan tanpa gesekan. Tim manajemen di belakang sosok muda berbakat dan pekerja keras ini tentunya dibuat pontang-panting dengan segala kalkulasi untung-rugi dari pilihan sikap yang diambil Wood. Dan hal itu bisa dimaklumi karena keberaadaan tim manajemen tersebut merupakan tuntutan industri pencitraan global.

Jika kita bercermin ke sosok pesohor negeri amburadul Indonesia sulit berharap ada diantara mereka yang berani bersikap seperti Wood. Jika pun ada, mereka biasanya tampil penuh pembelaan diri dan pengingkaran serta kerap memposisikan diri sebagai pihak yang kalah atau teraniaya oleh pihak lawan mereka. Gambaran sikap tersebut gamblang sepanjang enam tahun terakhir di Indonesia.

Dalam hal citra diri para pesohor Indonesia melaju cepat mengamerikaserikat (berusaha keras menjadi seperti Amerika Serikat). Pencitraan menjadi bidang usaha paling diminati. Bidang usaha tersebut pun memicu lahirnya bidang usaha lain yang terkait, seperti usaha jasa konsultan pemasaran, yang rumusnya tidak berbeda dengan biro-biro iklan yang secara tradisional bekerja mengemas barang dan jasa agar mampu menerobos dan merebut prioritas belanja rumah tangga masyarakat, yang ber(di)posisi(kan) sebagai pelanggan atau konsumen. Dan citra diri adalah salah satu mata usaha industrial pilihan saat ini.

Kokohnya posisi citra diri bahkan di arena politik berhasil mereduksi ukuran keberhasilan kerja pengurus negara semata-mata sebagai citra yang bisa direkayasa dan diukur lewat pendapat umum menggunakan poll atau survai-survai cepat. Eep Syaifulah Fatah dan PolMark-nya adalah salah satu contoh yang turut meramaikan persaingan di bidang usaha ini bersama para pendahulunya, seperti LSI, Fox Indonesia, dan sebagainya. Prinsip yang digunakan persis sama dengan pendekatan propaganda intimidatif: Terlepas dari benar tidaknya pesan, jika disampaikan terus menerus secara konsisten akan diterima oleh publik sebagai sebuah kebenaran

Industri citra dan pencitraan membuat dunia dan tatanan kehidupan di atasnya banyak melahirkan orang-orang pengecut. Industri ini pun saya duga telah berhasil menguburkan nilai-nilai ksatria yang dan ketauladanan berintegritas yang umumnya bertumbuh lewat proses yang lama dan memakan biaya dan pengorbanan luarbiasa. Lewat industri citra dan pencitraan ketokohan dan ketauldanan dapat direkayasa dengan cepat. Publik sebagai konsumen memang sudah terkerangkeng pada pola pikir pentingnya proses yang lebih cepat, praktis serta instan.

Ada pengalaman di masa lalu tentang sikap ksatria seperti yang ditunjukkan Tiger Wood, yang didemonstrasikan para politikus di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, atau di beberapa negara di Eropa. Beberapa waktu lalu ada beberapa pemberitaan tentang mundurnya politikus dari jabatan tinggi dalam pengurusan negara serta mengakui kegagalan mereka di hadapan publik dalam merawat dan melaksanakan amanat yang mereka emban. Ini adalah contoh yang langka kita lihat di Indonesia.

Tentu masih segar ingatan kita pada beberapa skandal politik kekuasaan yang terbongkar, dimana mereka yang mengemban jabatan pemimpin (atau mungkin lebih tepat disebut sebagai pimpinan?) mengorbankan jajaran di bawahnya untuk mengambil alih tanggung jawab kegagalan mereka. Demikian pula halnya dengan keberhasilan yang seharusnya menjadi klaim kolektif direduksi hanya sebagai milik perseorangan mereka yang berkuasa. Saya tidak akan pernah lupa dengan nasib beberapa orang prajurit lapis bawah yang harus menutup mulut mereka untuk berperan menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Mei 1998, demi menjaga citra pimpinan dan lembaga mereka.

Tiger Wood sudah membuka tahun Macan 2010, yang diramalkan sebagai tahun yang penuh intrik dan kekerasan, dengan sebuah sikap ksatria dan berani membuka aib diri serta meminta maaf atas pembohongan publik (lewat citra dan pencitraan) yang menutupi-nutupi kelakuannya.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Anonymous said...

To be a adroit lenient being is to procure a philanthropic of openness to the far-out, an cleverness to trust unsure things beyond your own manage, that can lead you to be shattered in very extreme circumstances for which you were not to blame. That says something very important with the get of the ethical life: that it is based on a conviction in the up in the air and on a willingness to be exposed; it's based on being more like a shop than like a treasure, something somewhat dainty, but whose mere particular attractiveness is inseparable from that fragility.