Monday, March 01, 2010

Bencana dan Gagalnya Politik Tata Ruang

Yayat Supriatna | Opini | Kompas Cetak | 1 Maret 2010

Bencana tanah longsor di perkebunan teh, Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, bagaikan puncak gunung es dari beberapa kejadian musibah pada musim hujan, tahun ini. Provinsi Jawa Barat adalah yang paling parah, dengan banyaknya peristiwa bencana di wilayah ini.

Sebelum kejadian longsor di Tenjolaya, lebih dari satu minggu bencana banjir melumpuhkan kehidupan masyarakat di wilayah Bandung Selatan. Ada pameo yang menarik di wilayah ini: Bandung Utara dibangun, Bandung Selatan tenggelam, semakin tinggi rumah dibangun di atas bukit, semakin tinggi air menenggelamkan rumah di bawahnya. Fenomena kejadian bencana seperti ini hampir merata terjadi di seluruh wilayah Tanah Air. Musim hujan seperti identik dengan datangnya musim bencana.

Bencana adalah pebuktian terjadinya kegagalan politik tata ruang dalam menjaga dan melindungi fungsi ekosistem lingkungan. Infrastruktur kekuasaan di level nasional, provinsi, dan daerah seperti tak mampu untuk sepenuhnya menjalankan amanat penyelenggaraan penataan ruang seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Fungsi negara untuk memberikan perlindungan kepada penduduk dari ancaman bencana banjir, rob, longsor, penyakit, dan kerusakan lingkungan sering terbentur pada belenggu koordinasi dan egoisme sektoral serta kepentingan otonomi daerah.

Negara telah gagal untuk menyejahterakan warganya, bahkan akibat kelalaian dari fungsi kekuasaan politik di bidang tata ruang, justru wargalah yang harus menjadi korban. Kekuasaan untuk menindak, menghentikan, melarang, dan mengingatkan tidak sepenuhnya dijalankan . Pembiaran alih fungsi hutan, alih fungsi lahan pertanian, serta mudahnya perizinan di kawasan lindung dan resapan air terjadi merata di setiap wilayah kota dan kabupaten.

Dalam menjalankan fungsi kekuasaan politik tata ruang, pemerintah daerah sering bertindak dalam kekaburan pemahaman. Tata ruang dilihat sebatas dari lengkap atau tidaknya dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan peraturan daerahnya. Sementara itu, untuk menetapkan siapa yang harus menjalankan aturan dan bagaimana peran kelembagaan yang paling bertanggung jawab tidak jelas.

Penyelenggaraan penataan ruang saat ini hanya bersifat koordinasi, dan peran serta fungsi dari badan koordinasi saat ini tidak optimal. Tumpang tindih aturan antara kepentingan, sektor, pusat dan daerah, berimplikasi pada mekanisme lempar tanggung jawab jika ditemukan adanya penyimpangan atau bencana akibat penyalahgunaan kewenangan.

Hambatan institusional

Politik tata ruang gagal dijalankan akibat hambatan institusional dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang penataan ruang. Hambatan masalah internal dan eksternal tercermin dalam wujud intensitas peningkatan bencana yang makin bertambah parah. Secara internal, banyak institusi lokal sejak awalnya tidak siap untuk menjalankan peran politiknya dalam mengatur tata ruang di daerah.

Pemahaman mengenai aturan-aturan yang sangat rasionalitas dan komprehensif dalam tata ruang masih sangat lemah sehingga motivasi dalam menjalankan aturan pemanfaatan dan pengendaliannya juga rendah. Itu ditambah dengan kapasitas sumber daya manusia yang juga tidak cocok untuk menjalankan kemampuan peran politiknya. Lemahnya kapasitas ini membuat posisi tawar dalam mengambil keputusan jadi tak berdaya ketika berhadapan dengan kepentingan pemilik modal atau pemilik kekuasaan yang lebih besar.

Secara eksternal, ruang partisipasi politik masyarakat sebagai subyek utama ”pemanfaat ruang” belum tertata. Akses politik warga sering tidak berjalan karena kemampuan interaktif sangat lemah dari masyarakat dan para pengelolanya. Komitmen politik untuk melakukan kerja sama menjaga lingkungan belum banyak tercipta. Jika pun ada, hanya sebatas ritual politik pada aksi-aksi seremoni. Sementara itu, jika berhadapan pada sisi kepentingan ekonomi yang lebih besar, terjadi pelunakan sikap oleh penguasa wilayah atau institusi lokal dengan memberikan fasilitas-fasilitas tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang. Sanksi tidak dapat dijalankan sebab mekanismenya hingga kini belum tersusun secara sempurna.

Secara pencitraan, politik tata ruang saat ini adalah negatif. Segala bentuk kejadian bencana alam diidentikkan dengan kegagalan menjalankan fungsi penyelenggaraan tata ruang. Citra penataan ruang harus dipulihkan. Salah satu cara adalah dengan penguatan fungsi dan peran kelembagaan yang jelas dan tegas kewenangannya agar masyarakat dapat percaya akan kemampuan institusi lokal dan nasional untuk mampu mengatasi dan mencegah bencana serta kerugian jiwa dan material yang telanjur semakin menyengsarakan warga.

Yayat Supriatna Pengajar Masalah Tata Ruang di Teknik Planologi– Universitas Trisakti
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Anonymous said...

To be a upright benign being is to have a philanthropic of openness to the far-out, an gift to guardianship undeterminable things beyond your own control, that can lead you to be shattered in unequivocally outermost circumstances for which you were not to blame. That says something remarkably outstanding relating to the get of the righteous autobiography: that it is based on a trust in the fitful and on a willingness to be exposed; it's based on being more like a plant than like a jewel, something somewhat feeble, but whose very special handsomeness is inseparable from that fragility.