Friday, March 05, 2010

Demokrasi ala Partai Demokrat

Syamsuddin Haris | Opini | Kompas Cetak | 5 Maret 2010

Hiruk-pikuk politik di balik pengungkapan skandal penalangan Bank Century melalui pembentukan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century usai sudah. Melalui pemungutan suara secara terbuka, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyatakan sikapnya. Mengapa kubu Partai Demokrat kalah dan apa implikasi politik yang signifikan ke depan?

Meski didahului akrobat politik memalukan, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyatakan sikapnya terhadap skandal Century. Fraksi Partai Demokrat yang menjadi basis politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menerima fakta bahwa mayoritas anggota DPR, yakni 325 orang dari 537 anggota yang hadir, menilai adanya penyimpangan dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century sehing

Enam fraksi, yakni tiga dari partai politik koalisi (Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera/PKS, dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP) serta tiga parpol non-koalisi (PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura), mendukung penilaian tersebut berhadapan dengan tiga parpol koalisi lainnya (Demokrat, Partai Amanat Nasional/PAN, dan Partai Kebangkitan Bangsa/PKB) yang menyatakan penalangan Century tidak bermasalah.

Pelajaran bagi Demokrat

Kendati kemenangan opsi C (penalangan Century bermasalah) sudah diduga sebelumnya, kejutan terjadi ketika PPP meninggalkan sikap Demokrat, PKB, dan PAN, serta tatkala Lily Chodijah Wahid (PKB), adik kandung almarhum Abdurrahman Wahid, ”mbalelo” dari sikap fraksinya. Kekalahan kubu Partai Demokrat dalam pemungutan suara DPR merupakan pengalaman pahit yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi Presiden Yudhoyono.

Betapa tidak, melalui koalisi politik yang dibentuknya, Yudhoyono tentu berharap bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk pemberian dana talangan bagi Century, didukung penuh oleh enam parpol koalisi. Untuk memperluas dukungan DPR terhadap pemerintahannya, Yudhoyono bahkan akhirnya mengajak pesaingnya, Partai Golkar, turut bergabung ke dalam koalisi.

Harapan Presiden Yudhoyono ini jelas sangat wajar, tetapi tidak bertolak dari watak koalisi dalam skema presidensial berbasis multipartai yang hampir selalu cair, longgar, dan tidak pernah disiplin.

Pengalaman Presiden pada periode 2004-2009 sebenarnya sudah memperlihatkan bahwa koalisi politik melalui Kabinet Indonesia Bersatu I tidak pernah menjadi jaminan bagi dukungan parpol terhadap kebijakan pemerintah di DPR.

Persoalannya menjadi sangat krusial jika Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat tidak pernah berusaha merawat, mengelola, dan membangun komunikasi politik yang intensif dengan parpol-parpol koalisi. Dalam kasus Bank Century, misalnya, tampak jelas bahwa berbagai upaya lobi yang dilakukan bukan hanya terlambat dilakukan, tetapi juga tidak terencana dan terkelola dengan benar.

Bahkan tidak jelas, mengapa untuk lobi politik dengan tokoh sekaliber Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, atau Akbar Tandjung; Yudhoyono hanya mengirim staf khusus Presiden bidang bencana, Andi Arief, atau Felix Wanggae, staf khusus yang mengurusi otonomi daerah.

Mabuk kemenangan

Fenomena Partai Demokrat, seperti direpresentasikan melalui pernyataan vulgar beberapa anggota DPR dan pimpinan parpol bergambar segitiga biru ini adalah fenomena ”mabuk kemenangan”. Politik dan demokrasi seolah-olah telah berakhir dengan kemenangan Demokrat dalam pemilu legislatif dan kemenangan Yudhoyono dalam pemilu presiden.

Padahal, politik justru baru dimulai seusai pemilu. Artinya, kesungguhan komitmen mereka seperti dijanjikan dalam pemilu baru diuji ketika pemerintahan hasil pemilu bekerja.

Oleh karena itu, pernyataan politik melalui media, baik oleh Presiden Yudhoyono maupun anggota dan pimpinan Partai Demokrat, bukanlah cara cerdas, apalagi efektif, dalam merawat dan mengelola koalisi politik.

Dalam skema presidensial berbasis multipartai seperti dianut bangsa kita, Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat jelas tidak cukup merebut simpati dan dukungan publik, kecuali jika sistem politik kita mengenal mekanisme referendum ataupun plebisit yang sewaktu-waktu dapat mematahkan perlawanan DPR terhadap presiden melalui jajak pendapat rakyat.

Dalam sistem politik yang dianut konstitusi kita, dukungan politik riil bagi efektivitas pemerintahan pertama-tama datang dari DPR, bukan dari media ataupun publik. Karena itu, keberadaan koalisi parpol pendukung Yudhoyono semestinya tidak dipandang secara taken for granted.

Para politisi parpol koalisi yang memilih opsi C sadar betul bahwa kedudukan mereka di DPR setara dengan Presiden dan memiliki legitimasi yang sama kuatnya di hadapan rakyat. Maka, tidak ada pilihan lain bagi Yudhoyono dan Demokrat kecuali harus pandai-pandai merawat dan mengelola koalisi politik yang telah dibentuk.

Implikasi ke depan?

Kekhawatiran berlebihan Presiden dan Partai Demokrat atas implikasi politik kasus Century sebenarnya tidak perlu. Secara substansi ataupun prosedur konstitusi, sangat sulit bagi Dewan mengarahkan dugaan kesalahan kebijakan Gubernur Bank Indonesia dalam kasus Century sebagai dasar pemakzulan Wakil Presiden Boediono.

Apalagi sejauh ini belum terdengar adanya agenda pemakzulan di balik sikap keras parpol koalisi, baik dari Golkar maupun PKS.

Karena itu, heboh skandal Century kemungkinan berakhir dengan usainya Rapat Paripurna DPR. Kalaupun proses hukum berlanjut atas sejumlah pejabat dan mantan pejabat publik yang dinilai bertanggung jawab, antusiasme media dan publik mungkin tidak akan sebesar ekspektasi mereka atas perseteruan parpol di DPR.

Itu artinya, soal Century pun bakal menguap bersamaan dengan bergulirnya isu-isu politik baru dalam relasi Presiden-DPR.

Lalu, apa yang diperoleh bangsa ini dari kisruh politik Century selama dua hingga tiga bulan terakhir? Bagi rakyat kita, hampir tidak ada yang substansial kecuali semakin terbukanya proses politik dalam relasi Presiden-DPR.

Namun, buat Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat, semua ini merupakan pelajaran bahwa demokrasi bukan sekadar memenangi pemilu, dan koalisi tidak identik dengan sikap ”yes man” terhadap pemerintah.

Karena itu, jika Presiden membuka mata dan hati serta mengakui ada kesalahan kebijakan dalam skandal Century, hampir tak ada alasan untuk mengocok ulang formasi koalisi.

Syamsuddin Haris Profesor Riest Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Anonymous said...

To be a adroit lenient being is to have a make of openness to the mankind, an gift to trust aleatory things beyond your own restrain, that can govern you to be shattered in very outermost circumstances on which you were not to blame. That says something very outstanding relating to the prerequisite of the honest compulsion: that it is based on a trustworthiness in the unpredictable and on a willingness to be exposed; it's based on being more like a weed than like a jewel, something rather fragile, but whose mere particular beauty is inseparable from that fragility.