Saya tidak tertarik dengan berita yang spesifik, baik itu soal markus, gayus, sus(no), sus(ilo bambang yudhoyono), (pan)sus, dan segala kata berakhiran “-us”, seperti muketikus, tulibudegus atau paleangus. Saya lebih tertarik mengamati dagelan akbar dan kolosal di panggung Nusantara yang mampu membuat saya tertawa hingga maag saya kumat. Dagelan dengan babak berlapis-lapis itu dimulai dengan satu adegan yang sarat pesan moral sekaligus pesan amoral: Saling blejed dan saling memeloroti celana diantara pelakon dagelan itu di atas panggung….
Ruwetnya jejaring dan tata hubungan diantara para pelakon, baik yang kasat di atas panggung maupun yang hanya muncul di naskah skenario yang hanya menjadi konsumsi sutradara, wadyabala pertunjukkan dan pelakon, menjadi tontontan tersendiri yang cukup mengasyikkan. Penuh kejut-kejutan (kejutan bohong-bohongan). Ada pelakon yang dulu jadi buaya kemudian bertukar lakon menjadi cicak. Atau cicak yang dibela segenap penonton karena teraniaya justru kemudian menikmati dengan pasrah ketidakberdayaannya. Bersikap penuh kehati-hatian (seperti hati-hati, tidak sungguh-sungguh hati-hati). Atau, pelakon antagonis yang bergaya punya nyawa rangkap sehingga berani tampil beda di atas panggung meski celananya bukan lagi kedodoran tetapi hilang sehingga modal dasarnya terumbar gamblang, tiba-tiba menghilang dari pandangan penonton. Mungkin karena panggungnya terlalu sempit, atau lampu sorotnya sangat pilih kasih (diskriminatif). Wallahualam…
Pembabakkan pertunjukkan dagelan memang dibesut begitu ingar-bingar oleh sang sutradara (dan mungkin juga oleh penyunting adegan), sehingga lompatan dari satu alur cerita ke alur berikutnya mengalir luarbiasa cepat tetapi mulus. Penonton yang ternganga pun tak sadar bahwa air liur sudah hampir memenuhi baskom di hadapan mereka. Dibuka dengan babak pemilihan umum yang heboh dan dibalut atraksi sulap menyulap hasil perolehan suara yang mampu menghadirkan decak kagum penonton, lalu dilanjutkan dengan babak pameran baris-berbaris yang tidak kunjung rapih, karena lebih terlihat seperti anak-anak bermain dolanan jaman dahulu, “Koalisi panjangnya, bukan kepalang…” Itu adalah dua babak pembuka yang dahsyat dan luarbiasa lucu (lah wong namanya juga dagelan….). Dari kedua babak pembuka itulah mengalir lancar babak-babak selanjutnya yang menampilkan kematangan para pelakon berimprovisasi dengan peran masing-masing.
Yang luarbiasa keren besutan sutradara dagelan Nusantara ini adalah perpindahan dari babak kisah pembunuhan seorang pelakon yang tidak sempat naik panggung, ke babak penonton melawan rombongan pelakon yang berkostum buaya. Mengalir begitu mulus selihai markus. Tidak hanya mulus, alurnya pun halus dan mampu melibatkan emosi penonton, sehingga penonton pun ikut campur mengganyang kelompok pelakon berkostum buaya tadi. Luarbiasa! Gilanya, salah satu adegan kecil yang tidak penting ternyata menjadi pintu pembuka babak besar yang hingga saat ini masih terus berlangsung. Yakni babak pembelotan seorang pelakon berkostum buaya mencoba menjadi cicak.
Babak kisah pembunuhan itu pun berhasil menggugah emosi penonton dengan adegan pemlorotan celana seorang pelakon antagonis lewat pemutaran rekaman pembicaraan telepon secara terbuka. Seperti saya sebut sebelumnya di atas, pelakon antagonis itu luarbiasa berani dan merasa punya nyawa rangkap, macam seekor kucing. Dia berani tampil beda. Tetapi lampu sorot panggung tidak lama menyinari kepalanya yang berambut tipis itu. Dia pun kemudian tidak lagi dianggap penting, baik oleh sang sutradara, para juru sorot lampu, dan mungkin pula oleh para penonton. “Old soldiers never dies, they fade away….”
Dari babak-babak yang seru di atas, ternyata ada babak kisah yang masih ada urusannya dengan dagelan lama yang bagian penutupnya menggantung. Salah satunya babak tentang suap menyuap berjamaah terkait dengan pemilhan orang nomor dua di bank sentral di Nusantara, yang sudah dipertunjukkan sebelum babak pemilihan umum penuh sulapan dimulai. Babak dagelan ini cukup bikin bingung para juru lampu sorot nun di atas gedung pertunjukkan. Apalagi para pelakon kunci yang disorot secara serempak hilang ingatan (maaf, saya kurang suka menggunakan kata lupa, karena mudah dilupakan). Lucu-lucu pula cara mereka menyampaikan kehilangingatan mereka. Pelakon yang menggondol duwit paling banyak dari upacara suap menyuap bahkan berani bilang, tidak ingat rangkaian peristiwa yang diungkapkan pelakon lain yang bersaksi di sub-panggung pengadilan. Juga pelakon yang bertugas membagi-bagi duwit juga terserang hilang ingatan berat. Entah apa artinya. Mungkin ibu istri bekas petinggi pelakon kepolisian itu hilang ingatan tentang berat badannya. Demikian halnya dengan orang nomor dua di bank sentral, ia juga hilang ingatan; tidak ingat pernah hadir dan bertemu beberapa pelakon yang bertutur di sub-panggung pengadilan. Asli, Jojon atau pelakon Srimulat kalah lucu lho!
Pokoknya penonton sangat puas dengan pertunjukkan dagelan Nusantara itu. Meskipun pertunjukkan masih terus berlangsung hingga detik ini, dan meskipun penonton sudah tahu arah alur cerita, yang ujungnya pasti berakhir bahagia (happy ending) bagi mereka yang kebetulan melakoni sosok berkekuasaan politik dan berakhir memilukan (sad ending) bagi para figuran yang merasa sok penting serta terlalu sering ingin berada di bawah lampu sorot. Diantara penonton pun saling mendagel satu sama lain. Mereka kerap bermain teka-teki. “Apa bedanya markus dengan maknyus?” Atau ada yang berpepatah, “Sudah markus berlencana pula, sudah markus berkuasa pula…”
Tanpa punya niat mendahului sang sutradara dan penulis naskah, saya hentikan ulasan sementara pertunjukkan dagelan Nusantara sampai di sini. Mari kita tunggu babak-babak lanjut yang lebih improvisatif, dan lebih lucu karena tentunya lebih menghina akal sehat.
No comments:
Post a Comment