Friday, December 24, 2010

Demokrasi Minus Etika Diskursus

Triyono Lukmantoro | Opini Kompas | 20 Desember 2010

Demokrasi yang kita jalankan telah kehilangan etika diskursus. Hal ini dapat dilacak ketika ada satu pihak memaksakan kehendak, sementara itu pihak lain dituntut untuk sekadar mematuhinya. Padahal, salah satu nilai substansial demokrasi adalah berdiskusi.

Jika demokrasi semacam itu yang dijalankan, kelompok minoritas dibungkam suaranya. Demokrasi cuma jadi label yang terkesan penuh kegagahan karena yang terjadi di dalamnya represi yang berjalan sistematis. Fenomena itu bisa disimak ketika RUU Keistimewaan DI Yogyakarta digulirkan di tengah publik. Massa demonstran berjumlah puluhan ribu yang meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan dan bukan dipilih langsung justru diabaikan pemerintah pusat.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berpendapat demonstrasi itu tak mewakili rakyat Yogyakarta yang berjumlah 3,5 juta jiwa. Gamawan menambahkan keputusan mengenai hal istimewa atau khusus harus ditanyakan dulu kepada rakyat Indonesia yang diwakili DPR. ”Keistimewaan itu diatur dengan UU, bukan perda (peraturan daerah). Jika ingin membuat perda, tanya rakyat Yogyakarta. Tetapi dengan undang-undang, tanya rakyat Indonesia,” kata Gamawan (Kompas, 15/12/2010).

Model penalaran yang digunakan Gamawan ialah mayoritas versus minoritas. Rakyat Yogyakarta yang 3,5 juta jiwa, apalagi yang berunjuk rasa, tak seberapa jumlahnya dibandingkan seluruh rakyat negeri ini. Jadi, minoritas boleh disingkirkan karena mayoritas belum tentu menghendaki demikian. Jika modus sejenis itu yang dikembangkan dalam demokrasi, maka minoritas pasti terlindas.

Hal itu dapat dilihat ketika Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bandung menyegel dua rumah di Perumahan Rancaekek Bumi Kencana. Alasannya, rumah itu dipakai tempat ibadah jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Betania. Padahal, pihak HKBP telah mengajukan izin mendirikan gereja sejak 2004, tetapi sampai sekarang tak ditanggapi pemerintah (Kompas, 13/12/2010).

Ada bahaya yang terus mengancam jika etika diskursus dihilangkan dalam demokrasi. Korban paling nyata dirugikan adalah kaum minoritas. Atas nama kebaikan dan kehormatan mayoritas, kaum minoritas boleh disingkirkan dengan cara apa pun. Tatanan hukum yang diskriminatif hingga cara-cara kekerasan yang sedemikian masif sering kali digulirkan untuk menundukkan kaum minoritas. Etika diskursus yang sengaja tidak diterapkan pada demokrasi pasti berujung pada kematian demokrasi itu sendiri. Artinya, demokrasi yang ditanamkan dalam masyarakat yang pluralistis (majemuk) harus menerapkan etika diskursus secara baik.

Percakapan moral

Etika diskursus yang digagas Jurgen Habermas, sebagaimana diuraikan Robert J Cavalier (Introduction to Habermas’s Discourse Ethics, 2006), merupakan bentuk dialogis dari nalar praktis dalam kondisi pluralitas yang tak mungkin bisa direduksi. Dalam situasi demikian diperlukan horizon bagi percakapan moral. Diskursus sendiri punya makna leksikal ’perbincangan’. Hanya saja, dalam diskursus itu tak hanya memuat perbincangan biasa, tetapi juga percakapan yang mengedepankan rasa keadilan. Etika diskursus mempersyaratkan dua hal penting. Pertama, kebebasan bagi semua anggota komunitas. Kedua, kesederajatan bagi semua partisipan yang punya suara untuk berdiskusi dalam suasana penuh kesetaraan.

Memang, tak gampang merealisasikan kebebasan dan kesederajatan dalam masyarakat yang majemuk atau multikultural. Alasannya, masyarakat semacam itu dibentuk oleh berbagai komponen etnis, agama, kelas, dan berbagai identitas yang tidak mudah dipadukan.

Ada dua konsekuensi, sebagaimana dirumuskan Tim O’ Sullivan dan kawan-kawan (Key Concepts in Communication and Cultural Studies: Second Edition, 1994), yang menyertai multikulturalisme. Pertama, asumsi-asumsi dominan tentang kesatuan budaya harus dipikirkan ulang. Hal ini dikarenakan integrasi yang terjadi dalam masyarakat majemuk adalah hegemoni atau pencaplokan kekuatan dominan terhadap minoritas. Kedua, dalam masyarakat multikultural pasti berlangsung jalinan relasional antara kelompok budaya yang punya kekuatan dan kelompok kultural yang tak mempunyai kekuasaan.

Tanpa etika diskursus, aspirasi kaum minoritas kian terbatas dan bahkan sengaja dilenyapkan. Dengan berdalih pada keamanan dan ketertiban, mayoritas membungkam suara minoritas. Tempat-tempat ibadah kelompok beragama minoritas ditutup karena dinilai menyalahi fungsi atau dipakai sebagai penyebaran ajaran sesat. Suara-suara aspiratif yang muncul dari kekuatan lokal dilecehkan karena dianggap tak mencerminkan keinginan rakyat secara nasional. Etika diskursus jadi sebuah keharusan untuk diterapkan jika demokrasi tidak ingin hancur berantakan. Sebab, demokrasi tidak serupa dengan keadaan—merujuk pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679)—manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Demokrasi akhirnya hanya berubah sebagai rimba belantara yang memenangkan kelompok yang lebih berdaya.

Hidup baik

Benar pernyataan Antje Gimmler (The Discourse Ethics of Jurgen Habermas, 2006) yang menegaskan etika diskursus merupakan etika normatif bagi masyarakat pluralistis yang tidak punya lagi otoritas moral tunggal untuk mengatasi persoalan. Etika diskursus mampu menciptakan ”ruang-ruang bebas” yang dibutuhkan dalam pluralisme yang terdiri dari ”kehidupan-kehidupan baik” yang berbeda-beda. Hidup baik bagi sebuah kelompok belum tentu baik pula bagi kelompok lainnya. Pendakuan (klaim) kebaikan yang dikemukakan suatu kelompok harus dibicarakan dengan pihak lainnya. Tanpa itu, realitas yang muncul adalah kebaikan sepihak yang menindas kebaikan yang dikemukakan pihak lainnya.

Bagaimana mendiskusikan dan meraih konsensus tentang kebaikan dalam perspektif etika diskursus? Habermas menyajikan formulasi berikut ini: (1) setiap pihak yang punya kompetensi berbicara dan bertindak diperbolehkan mengambil bagian dalam percakapan; (2a) setiap orang diperbolehkan menanyakan pernyataan apa pun; (2b) setiap orang diperbolehkan memperkenalkan pernyataan apa pun dalam percakapan; (2c) setiap orang diperbolehkan mengekspresikan sikap-sikap, keinginan-keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya; dan (3) tak ada satu pembicara pun yang boleh dicegah, melalui tekanan internal atau eksternal, untuk mengemukakan hak-hak sebagaimana tercantum dalam poin 1 dan 2.

Kemungkinan saja formulasi etika diskursus yang dikemukakan Habermas dipandang terlalu idealistis. Tapi, semua itu dapat diwujudkan jika semua pihak bisa berlapang dada menyepakati prosedur-prosedur yang telah ditetapkan bersama. Demokrasi yang telah ditanami etika diskursus memastikan semua pihak bisa terlibat dalam pembicaraan rasional. Sebaliknya, demokrasi minus etika diskursus hanya melahirkan suara besar gerombolan yang terus memangsa kaum minoritas yang kian tidak berdaya.

Suara minoritas ditelan dalam kerkahan mayoritas yang selalu berlindung dalam topeng ketertiban dan kebenaran sepihak. Demokrasi minus etika diskursus hanya meniscayakan pihak yang paling kuat sajalah yang boleh bertahan hidup. Sementara itu, pihak lemah makin dibenamkan dalam ketidakberdayaannya.

Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: