Sunday, December 19, 2010

Tebar Pesona dan Survai Popularitas…

Awicaks

Semakin hari semakin saya berkeyakinan bahwa SBY itu bukan faktor kunci, meski ia seorang presiden dan kepala negara NKRI. Bukannya beliau tidak menghargai ratusan juta warga yang sudah (telanjur) memilihnya. Beliau pasti menghargainya. Tetapi persoalannya adalah, beliau itu bukan faktor penting bagi perubahan negara ini ke keadaan yang lebih baik. Itu intuisi dan keyakinan saya, mencermati pola sikap, pola pikir dan gerak-gerik beliau (meski hanya lewat media cetak dan media elektronik) ketika menghadapi riuh-rendahnya kehidupan negeri amburadul ini.

Saya akui, keyakinan itu belum sungguh-sungguh bulat. Apalagi ketika menyadari bahwa beliau adalah seorang mantan jenderal TNI. Saya masih berpikir (mungkin lebih tepat berharap), bahwa beliau punya DNA ketegasan dan keberanian melindungi warga sipil dari segala ancaman mara bahaya. Cuma, prinsip dan nilai serta riuh rendah demokrasi pasar bebas nan padat modal, yang kini berlaku di negeri ini, justru menjadi faktor perusak konsentrasi beliau.

Tampil kinclong, megah, gagah, rapih dan wangi, baik secara harafiah maupun kiasan, sungguh sangat menggoda. Sayangnya kekinclongan, kemegahan, kegagahan, kerapihan dan kewangian yang saat ini berlaku sungguh merupakan hasil karya-poles cepat-saji untuk diri sendiri yang dilakukan dengan penuh kesadaran, terencana dan sistematik. Bukan suatu prestasi yang diraih lewat kerja keras, serta mendapatkan pengakuan khalayak luas yang merasakan manfaat dari keberhasilan tersebut. Saya memang meyakini makna peribahasa Melayu, yang dulu dengan tekun saya hafalkan saat masih duduk di bangku SD: “Berakit rakit ke hulu, berenang renang ke tepian. Bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian.”

Yang jelas, kejenderalan beliau diperoleh di bawah atmosfer kekuasaan yang otoriter serta memulyakan kelas tentara, dimana sebagian besar warga sipil hanya boleh berdiri di pinggiran, bahkan jika perlu berada di luar lingkaran pengambilan keputusan soal masa depan kehidupan bangsa. Jenderal-jenderal cerdas, berhati nurani serta memulyakan peran melindungi rakyat, memang jumlahnya tidak sedikit, tetapi mereka terpinggirkan pelan-pelan dari lingkaran tersebut. Bahkan ada yang meninggal secara misterius. Dan saya paham betul keadaan tersebut.

Reformasi memang mampu membongkar tembok privilege tersebut. Namun Reformasi dibajak oleh para elit sipil yang memendam nafsu dan hasrat berkuasa serta menikmati privilege yang semasa Orde Baru tidak mungkin mereka nikmati. Here comes the free market and capital intensive democracy….

Mereka yang padat karya mesti mengemis kepada kelompok yang padat modal, jika ingin masuk ke dalam lingkaran penentu arah dan gerak roda pengurusan negara. Sistem dan protokol untuk meraih kekuasaan bertumpu kepada popularitas orang sebagai sosok dan sebagai tokoh, tanpa peduli bagaimana kesosokan dan ketokohan itu dapat (sekedar) dilekatkan pada nama, wajah dan tubuh. Dan pengorbanan serta biayanya mahal sekali, baik menyangkut uang, waktu, tenaga maupun moralitas diri. Dan semua itu harus dioperasikan secara kolektif (tetapi lebih tepat dimaknai sebagai tawuran, bukan iuran) dan resmi dalam kelompok yang bernama partai politik.

Bahasa baru pun dioperasikan. Sepanjang tiga kali pemilihan umum frasa “visi” dan “misi” berserakan tanpa makna. Karena toh yang lebih berperan adalah soal pemahaman dan keakraban visual warga sebagai pemberi suara (voter) terhadap sosok yang maju ke arena adu populer menjelang dilaksanakannya proses pemungutan suara. Alasan pembenar yang kerap saya dengar adalah, “Yang penting menang dulu, baru nanti kita tegakkan cita-cita mulia memakmurkan rakyat, seperti yang sudah dirumuskan bersama-sama dalam partai politik kita….”

Seketika saya berpikir soal skala. Pada skala negara memang penyederhanaan cita-cita mulia demokrasi tidak terhindarkan, karena dibutuhkan sistem yang stabil dan dapat beroperasi serentak. Jarak emosi antara pemberi suara dan yang berlaga di arena begitu jauh, sehingga pertimbangan warga untuk memilih ter(di)batas(i) pada informasi yang dikemas secara satu arah, tanpa bekal pengetahuan dan pengalaman berinteraksi yang berkualitas diantara kedua belah pihak. Semua harus berlangsung secara cepat. Ini menyediakan titik rawan pengerahan uang untuk membeli niat pemberi suara. Jika gagal diyakinkan, banjiri dengan uang.

Metoda penghitungan cepat atau quick-count sangat ampuh beroperasi pada situasi tersebut. Perilaku kolektif pemberi suara begitu efektif diduga dan diramalkan oleh para konsultan kampanye pemilihan umum menggunakan logika iklan dan pemasaran: Bagaimana mempengaruhi orang agar membeli barang yang tidak mereka butuhkan. Informasi keberhasilan operasi membeli niat para calon pemberi suara dapat mempermudah quick-count. Sebuah operasi yang efektif pada skala negara, begitu juga pada satu tingkatan di bawahnya, skala provinsi. Sekali lagi, operasi tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar.

Saya meyakini ketidaklegowoan para pelaga untuk menerima kekalahan pada pemilihan umum akan selalu terjadi. Huru-hara yang dibiayai untuk memprotes hasil penghitugan bolehjadi adalah satu kesatuan dari pelayanan operasi tersebut, meskipun dengan vendor yang berbeda. Yang punya modal besar akan maju ke Mahkamah Konstitusi. Yang rada lumayan, bisa mengerahkan massa mengepung kantor Komisi Pemilihan Umum. Sementara yang cekak silakan depresi dan jadi gila.

Dengan sistem tersebut, siapa pun dia, tidak harus SBY, tidak akan pernah menjadi pemimpin (leader) terpilih, melainkan hanya pucuk pimpinan (baca: top manager) yang mendapatkan kekuasaannya karena sebagian besar rakyat memilih untuk membeli sosoknya. Mungkin yang berbeda adalah Gus Dur, yang kepresidenannya tidak melalui operasi demokrasi pasar bebas dan padat modal. Beliau dipilih lewat voting di Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR), mengalahkan Megawati, yang notebene berasal dari partai politik pemenang pemilihan umum, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. SBY adalah Presiden Republik Indonesia yang pertama terpilih melalui operasi yang digaungkan sebagai pemilihan umum paling demokratik yang pernah dilaksanakan di Indonesia.

Itu yang mendasari keyakinan saya bahwa SBY bukan faktor kunci bagi perubahan Indonesia menuju keadaan yang lebih baik. Saya sebenarnya sungguh kasihan kepada beliau, karena hingga kini masih juga mempercayai dan meyakini bahwa yang perlu dirawat dengan sungguh-sungguh adalah pesona beliau di hadapan rakyat. Sedikit-sedikit bikin survai, mengecek popularitas. Yang saya khawatirkan, jangan-jangan hasil survai dan analisisnya justru yang menjadi acuan pengambilan keputusan masa depan bangsa ini.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: