Sunday, December 12, 2010

Mengindonesia, Keindonesiaan, Indonesia-wannabe versus Mengglobal

Awicaks

“Masalah krusial yang selama ini tidak kita sadari, yaitu kerapuhan dari dasar pembentukan Indonesia, bangsa kita.” Daoed Joesoef, “Dasar Pembentukan Bangsa,” Kompas, 11 Desember 2010.

“Dia bilang Inlanders bukan orang demokratis, melainkan orang otokratis yang mau kuasa sendiri tanpa batas. Dalam batin dia orang angkuh, namun biasanya tidak ada arti. Dia membunuh atau bercerai karena hal remeh-temeh. Dia minta berhenti bekerja karena soal sepele.” Rosihan Anwar, “Inlander Dinilai,” Kompas, 4 Desember 2010.

Di satu diskusi terkait pekerjaan, seorang perempuan warga Amerika Serikat, yang sudah 17 tahun bermukim di Indonesia, begitu ngotot dengan pendapatnya.

“Saya tidak percaya pemerintah pusat. Ini adalah proyeknya kabupaten. Merekalah yang harus tampil di depan memimpin perubahan, bukan menteri atau pejabat-pejabat di Jakarta yang tidak tahu apa-apa masalah di lapangan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lumayan fasih.

Semua argumen yang ia kemukakan adalah simpul-simpul pikiran dari pengalamannya bermukim, bergaul dan bertransaksi dengan orang-orang di sekelilingnya di negeri ini. Tentu saja pengalaman-pengalamannya itu ia nilai, telaah dan simpulkan dengan merujuk semua bahan bacaan yang tertanam di benaknya, dan ia yakini sejak ia dilahirkan hingga tumbuh dewasa di Burlington, sebuah kota kecil di negara bagian Vermont, Amerika Serikat.

Dari argumen-argumen yang ia kemukakan, beberapa berasal dari pengetahuan umum tentang watak umum pejabat-pejabat negara dari rejim ke rejim, yang malas tetapi korup, menganggap rakyat bodoh dan selalu bisa dibodohi, bergaya juragan dan eksploitatif terhadap bawahan, serta hanya mau berurusan dengan hal-hal yang praktis dan yang disederhanakan. Sebagian lainnya juga merupakan pengetahuan umum tentang watak pejabat terutama di bawah pengaruh gaya kepemimpinan SBY yang serba citra.

Baginya pengetahuan umum itu sudah membuat ia yakin bahwa ia sangat memahami Indonesia dan siapa itu orang Indonesia. Setidaknya untuk kelancaran pekerjaannya, sebagai pekerja proyek-proyek bantuan internasional untuk pembangunan di Indonesia. Tanpa harus mengorbankan segala biaya hidup dan juga gaya hidupnya yang tidak lepas dari seluruh proses belajarnya di negeri asal, perempuan itu senantiasa berusaha keras tampil mengindonesia.

Namun itu tidak terjadi pada kisah wartawan Willem Walraven (1887-1943), seperti ditutur Rosihan Anwar. Meski Walraven menikahi perempuan Indonesia, Nyi Itih, ia tidak menampilkan usahanya untuk mengondonesia, seperti pada contoh sebelumnya. Mungkin karena ia hidup pada masa transisi dari pendudukan Belanda ke pendudukan Jepang, dengan hantaman kesulitan hidup yang bertubi-tubi. Catatan-catatannya adalah ungkapan rasa frustrasi bergaul, berinteraksi dan hidup di tengah orang-orang yang ia sebut dengan Inlander atau pribumi

“Orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis ’mementingkan serba kebendaan,’ sama sekali bukan idealis ’hidup dengan cita-cita atau ideal’. Orang Indonesia bukan Marxis, bukan Sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang Borjuis, dan itulah alasan sederhana bagi saya mencurigainya secara mendalam sebagai keseluruhan, sebagai massa, demikian kata Walraven.” (Rosihan Anwar, “Inlander Dinilai,” Kompas, 4 Desember 2010).

Masih pada tulisan yang sama, Rosihan Anwar menuturkan pandangan pengarang Wischer Hulst dalam bukunya berjudul Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici (1980):

”Seorang rohaniwan Belanda yang telah 30 tahun berdiam di Indonesia mengatakan kepada saya ’Ini adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia dilahirkan dengan naluri atau instinct politik, dan mereka mati dengan itu pula’.”

Tulisan Rosihan Anwar mestinya tidak perlu bikin emosi. Tanpa harus terjebak pada sikap klise tentang introspeksi diri, mungkin penting disadari bahwa Indonesia memang sebuah proyek kolosal yang terus berlangsung dan tidak akan pernah selesai, tentang bagaimana beranekaragam etnis dan entitas bisa hidup bersama menjadi satu bangsa. Daoed Joesoef, pada eseinya di Kompas 11 Desember 2010, menulis tentang kerapuhan dasar dari pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa:

“Rapuh karena entitas nasional ini mencakup, bahkan membawahi, puluhan entitas etnik yang sudah lama dan lebih dahulu menempati wilayah nasional. Mereka bukanlah kelompok-kelompok liar, rata-rata punya bahasa sendiri, berseni budaya relatif mapan, serta mengenal pemerintahan yang ditopang oleh seperangkat aturan hidup bersama yang dipatuhi, yang oleh Profesor Van Vollenhoven disebut adatrecht atau hukum adat.” (Daoed Joesoef, “Dasar Pembentukan Bangsa,” Kompas, 11 Desember 2010).

Menurut Daoed Joesoef, fondasi Indonesia sebagai bangsa dan entitas nasional dibangun di atas beberapa kemungkinan sejarah pendahulu, yang setiap saat bisa reaktif oleh situasi dan kondisi tertentu. Soekarno bersama kawan-kawan seperjuangannya bekerja keras merumuskan satu pemikiran sebagai fondasi kebangsaan. Paparan filosof Ernest Renan dari tulisan ilmiahnya berjudul ”Qu’est qu’une nation?”, atau apakah yang dimaksudkan dengan bangsa? Ernest Renan menggagas jawaban: La nation c’est la volonte d’etre ensemble, atau bangsa adalah tekad untuk hidup bersama.

Daoed Joesoef melontarkan pikiran tentang sebab kedua dari kerapuhan Indonesia sebagai bangsa, yang bersumber pada pengabaian begitu saja dari apa yang ”tersirat” di balik apa yang ”tersurat” dari kalimat ”bangsa adalah tekad untuk hidup bersama”. Ia menyatakan bahwa ”Bangsa” bukan menyatakan keadaan, tetapi suatu gerakan, suatu kemauan, suatu usaha yang terus-menerus dikukuhkan dengan memenuhi aspirasi semua entitas etnik yang dipersatukan.

Sujiwo Tejo, seniman yang senantiasa tampil dengan kekhasannya sebagai dalang kontemporer, pada situs pribadinya menuliskan, “Bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia itu asyik lho,” sebagai tagline atau slogan situs pribadinya. Di halaman depan situs itu ia menyorot dengan ringan bagaimana tapak kultur kolonial begitu membekas di kepala orang-orang Indonesia:

"... Tapi kita semua lupa bahwa selain Bank Sentral, kolonialis itu juga meninggalkan cita rasa manusia di bekas-bekas jajahananya. Cita rasa dan estetika itu sedemikian sehingga orang-orang Indonesia merasa aneh terhadap nada-nada pentatonis khas Indonesia...."

Rasa asing dan rasa aneh dengan kultur sendiri, seperti diungkapkan Sujiwo Tejo, tidak lepas dari kerapuhan berbangsa, seperti dilontarkan Daoed Joesoef. Orang seperti kesulitan mencari padan kata dari commitment (dari bahasa Inggeris yang artinya kesungguhan dan keterpanggilan) sehingga ia diserap begitu saja sebagai “komitmen.” Bahkan kata sambung sederhana seperti '”yang” harus takluk pada ungkapn “which is.." dalam percakapan sehari-hari.

Yang mengenaskan, kerja keras mengindonesia justru kalah telak oleh keranjingan baru masyarakat perkotaan dan berkemampuan terhadap sekolah-sekolah berlabel unggulan, nasional plus atau internasional dan bahkan global. Menjadi warga global adalah slogan kuat belakangan ini. Bolehjadi, beberapa tahun ke depan, gejala sekolah berlabel unggulan, nasional plus, internasional dan global akan jadi produk massal, yang dapat diakses dan dikunyah-kunyah oleh warga Indonesia yang tergiur pada gaya hidup masyarakat kelas atas, seperti halnya telepon seluler sekarang ini.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: