Sunday, December 12, 2010

Bocor, Bocoran, Pecah, Tambal

Awicaks

Apa yang menakjubkan dari WikiLeaks? Satu kesadaran yang sebenarnya sudah ada di kepala banyak orang, tetapi sering tersumbat dibocorkan keluar: Semua tatanan dan segala hal bersifat resmi yang tampil di hadapan publik adalah kepalsuan yang sangat khronik. Toh di warung-warung kopi orang lebih suka bergunjing, berspekulasi tentang dugaan dan teori terkait kisah di balik tampilan publik yang serba gerlap, wangi dan rapih.

Bolehjadi itu adalah kharakter alami manusia. Ingin dihargai, dipandang, dihormati, dan tampil lebih tinggi dari orang di sekelilingnya. Namun semua cerita tidak lagi berasal dari bagaimana khalayak luas menilai dan menyimpulkan. Senantiasa ada agen yang membantu mengarahkan khalayak memberi penilaian dan menarik kesimpulan. Agen-agen itu punya tugas jelas, membuat yang berkuasa dipersepsikan oleh khalayak sebagai sosok yang tampil kinclong, gagah, wangi dan rapih.

Tidak perlu jauh-jauh soal tebar pesona dan segala-hal-adalah-tentang-citra-baik a la SBY. Kisah-kisah tauladan para tokoh masa lalu, termasuk mereka dengan sifat kenabian dan kepemimpinan, rasa-rasanya adalah kisah yang dipermak habis oleh agen-agen pengemas yang bertugas sebagai penutur sejarah. Semua harus berkisah tentang hal yang baik-baik dan hebat-hebat saja. Semua kelemahan, kebusukan, cacat, aib, nista, mesti disimpan rapih-rapih, diusahakan agar tidak bocor.

Ketika Suharto berkuasa, otak anak-anak dan remaja Indonesia disuntikkan kisah-kisah heroik sang jenderal yang konon tidak pernah lulus sekolah dasar. Mereka wajib menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” garapan sutradara film kawakan Arifin C. Noer. Padahal kisah heroik itu sudah ada di buku-buku pelajaran sejarah yang penyetujuan akhirnya selalu melibatkan pihak intelijen, kejaksanaan dan aparatus keamanan. Kehebatan kerja para pengemas kisah sejarah itu dirasakan oleh mereka yang bekerja keras membuka dan membongkar kisah masa lalu Suharto sebagai wilayah debat publik yang terbuka.

Khalayak tidak mudah menerima kisah baru, yang bolehjadi kandungan kebenerannya lebih besar dibandingkan tuturan para abdi-dalem Suharto. Padahal hal itu dilakukan setelah presiden kedua Indonesia itu sudah tidak lagi berkuasa (secara resmi). Kerja para pengemas dan penutur sejarah pelayan Suharto sudah dimulai sejak operasi penggulingan Sukarno dan pemberantasan Partai Komunis Indonesia dilancarkan dalam skala kolosal. Sebuah rangkaian operasi memutus dan menghapus ingatan kolektif rakyat Indonesia yang sangat sistematik, konsisten dan terus-menerus.

Sebuah telaah tanding terhadap versi resmi peristiwa itu, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, atau populer dengan sebutan Cornell Paper, yang disusun oleh Benedict R.O'G. Anderson dan Ruth T. McVey, mampu membuat Suharto kebakaran jenggot. Telaah itu sendiri sebenarnya bersifat rahasia (confidential). Namun keberadaanya dibocorkan oleh sebuah artikel di the Washington Post tanggal 5 Maret 1966 yang ditulis oleh Joseph Kraft.

Telanjur bocor, Ben Anderson, panggilan akrab Professor Emeritus di bidang Kajian Internasional dan Kajian Asia pada Universitas Cornell itu, mengajukan permintaan resmi kepada pemerintah Indonesia untuk mendapatkan bahan-bahan tambahan guna melengkapi telaah tersebut, yang tentu saja ditolak mentah-mentah. Naskah itu akhirnya diterbitkan secara resmi pada tahun 1971 tanpa penambahan bahan apa pun dari naskah awalnya. Ben Anderson sendiri di-persona non grata-kan pemerintah Indonesia di bawah Suharto saat itu.

Seperti halnya WikiLeaks yang mampu bikin geger demikian halnya dengan Cornell Paper. Tetapi dengan keadaan teknologi pada masa itu Cornell Paper hanya mampu dijangkau dan dibaca oleh segelintir orang yang punya akses dan relatif lebih terpelajar. Berbeda dengan Cornell Paper, WikiLeaks yang dimotori Julian Assange, tampil lebih telanjang, apa adanya, tanpa telaah, dan membuka ruang debat dan penyimpulan kepada sidang pembacanya.

Berbeda dengan Amerika Serikat, dimana suatu tampilan publik digarap sangat serius dan pencitraan dilakukan lewat kerja yang profesional, serta tingkat usaha luarbiasa untuk mencegah kebocoran yang paling kecil sekali pun, di Indonesia kerja yang disebut rekayasa dikerjakan secara sembrono. Asumsi dasarnya sangat jernih: Rakyat bodoh dan pemahaman dapat ditumbuhkan lewat pendekatan dan instrumen pemaksa. Maka kisah-kisah yang tampil di publik senantiasa punya versi tandingannya, meski hanya digunjingkan secara diam-diam, terutama pada masa Orde Baru.

Pembunuhan Dietje pada tahun 1986 adalah salah satu contoh gamblang. Pemberitaan dari satu koran ke korang lain nyaris seragam. Tetapi pergunjingan di warung kopi tidak begitu saja mempercayai versi resmi pemerintah. Gunjingan yang paling santer saat itu adalah kaitan antara pembunuhan Dietje Budiarsih, seorang peragawati asal Bandung, dengan salah seorang anggota keluarga Cendana. Muhammad Siradjudin alias Pak De, dihukum seumur hidup oleh pengadilan setelah dinyatakan terbukti sebagai pelaku pembunuhan, yang terus ia sangkal hingga akhir hayatnya pada 29 November 2003. Tanpa WikiLeaks sekali pun khalayak merasakan ada kebohongan di balik versi resmi kasus tersebut.

Demikian halnya dengan pembunuhan wartawan Bernas di Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1996), kemudian pembunuhan aktivis buruh di Sidoarjo, Marsinah (1993), lalu tokoh adat Papua, Theys Eluay (2001) dan yang paling mutakhir adalah pembunuhan aktivis Hak-hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib (2003). Tentu saja tidak boleh dilupakan kekejian kolosal yang terjadi sebelum lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998, yang populer dengan sebutan Kerusuhan Mei 1998. Rekayasa yang jorok dan menganggap enteng kecerdasan rakyat sudah menjadi ciri pemerintahan di Indonesia dari rejim ke rejim.

Gempuran bocoran dokumen-dokumen yang berasal dari komunikasi diplomatik pemerintah Amerika Serikat, baik internal maupun dengan pemerintah negara lain, terkait peristiwa-peristiwa yang sudah telanjur tampil di publik dengan kemasan yang diinginkan, mampu menimbulkan kepanikan, khususnya pemerintah Amerika Serikat. Sebagian dari dokumen tersebut sesungguhnya tidak tergolong rahasia atau classified. Tetapi menjadi hal yang besar dan mampu menimbulkan huru-hara hebat karena ia terkait dengan penggalan-penggalan informasi di balik atau terkait dengan peristiwa besar sudah memiliki tampilan publik tertentu.

Pihak-pihak yang selama ini digunakan oleh WikiLeaks, seperti Amazon, EveryDNS, PayPal, dan Mastercard, memutus hubungan mereka dengan situs pembocor tersebut. Meski menyangkal bahwa tindakan mereka dilakukan karena tekanan pemerintah Amerika Serikat, khalayak luas dapat merasakan kebohongan di balik penyangkalan itu.

Julian Assange menyebut ecosystem of corruption sebagai gambaran tentang beta semua tatanan dan segala hal bersifat resmi yang tampil di hadapan publik adalah kepalsuan yang sangat khronik. Usaha menambal kebocoran, meski yang paling canggih sekali pun seperti yang diduga kuat dilakukan pemerintah Amerika Serikat, justru menjadi senjata makan tuan.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: