Wednesday, January 05, 2011

Enam Masalah Pemberantasan Mafia Hukum

Mas Achmad Santosa | Opini | Tempo Interaktif | 03 Januari 2011

blind_justiceKITA perlu introspeksi total. Tuntutan utama reformasi 1998, yaitu mengikis korupsi, kolusi, dan nepotisme, gagal kita wujudkan. Survei demi survei oleh lembaga domestik ataupun internasional selalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup.

Salah satu penyebab kegagalan itu adalah Indonesia belum mampu membenahi lembaga penegak hukum dan pengadilan. Indonesia belum memiliki "sapu bersih" untuk membuat resik "lantai kotor". Survei Transparansi Internasional Indonesia pada 2008 menyatakan institusi yang harus lebih dulu dibersihkan adalah pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian.

Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum merupakan faktor pemicu dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2002. Komisi itu diberi kewenangan hukum yang luar biasa untuk mencegah dan menindak pelaku korupsi, terutama penyelenggara negara dan aparatur penegak hukum.

Pembentukan KPK sekaligus menegaskan bahwa sistem pengawasan internal di lembaga-lembaga penegak hukum-termasuk pengawasan melekat dan fungsional-tidak berjalan. Merasa kurang dengan keberadaan KPK, komisi-komisi pengawas eksternal untuk pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian pun dibentuk pada 2004 dan 2005. Lalu berdirilah Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional. Berbagai ikhtiar tersebut belum mampu menciptakan "sapu bersih" yang kita harapkan.

Alih-alih tercipta lembaga penegak hukum kuat dan berintegritas, pada 2010 muncul perkara Gayus Tambunan. Perkara ini mempertontonkan kepada kita, hampir semua elemen penegak hukum merekayasa perkara. Dari anggota polisi, jaksa, hakim, hingga advokat terlibat rekayasa perkara demi keuntungan terdakwa. Mereka menadah imbalan sejumlah uang.

Kasus mafia peradilan Gayus ini hanya fenomena puncak gunung es. Praktek mafia peradilan biasa dilakukan puluhan tahun tanpa tersentuh instrumen pengawasan, apalagi penegakan hukum. Kasus penyuapan yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan serta tertangkapnya hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan seorang advokat pada perkara pengusaha hutan D.L. Sitorus merupakan contoh lain betapa praktek mafia hukum masih terus berlangsung.

Rekayasa perkara Gayus Tambunan dapat terungkap karena nyaringnya "tiupan peluit" Komisaris Jenderal Susno Duadji. Selain itu, keterangan Gayus Tambunan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, yang kemudian berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, melahirkan pembentukan "Tim Penyidik Khusus" perkara mafia hukum.

Tanpa jenderal nekat seperti Susno Duadji-lepas dari motifnya meniup peluit-dan keterangan Gayus kepada Satgas, ceritanya bisa berbeda. Suka atau tidak, peranan keduanya dalam mengungkap konspirasi mafia peradilan dan mafia pajak sangat penting. Di negara-negara lain yang memiliki perlindungan bagi participant whistleblower (peniup peluit yang sekaligus pelaku tindak pidana), Susno dan Gayus Tambunan berpotensi mendapatkan keringanan hukuman (transactional leniency). Di negara kita, keringanan itu dimungkinkan melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

l l l

TANTANGAN terberat perkara Gayus adalah mengungkap keterlibatan sejumlah wajib pajak pemakai "jasa" mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu. Ia memiliki harta setidaknya Rp 28 miliar plus Rp 74 miliar, dan sejumlah emas batangan. Kekayaan itu tentunya diperoleh secara tidak sah (illicit enrichment). Pengungkapan asal-usul harta itu memerlukan kesungguhan dan keberanian penegak hukum. Mereka harus bekerja secepat-cepatnya, berlomba dengan laju penurunan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum, termasuk KPK.

Kondisi hukum kita semakin buruk dan terpuruk pada saat diketahui Gayus keluar dari Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua selama 68 kali pada Juli hingga November 2010. Ia bahkan sempat ke Bali menyaksikan pertandingan tenis internasional. Gayus Tambunan tidak sendiri, beberapa penghuni lainnya juga mendapat perlakuan istimewa. Mereka menyogok petugas dengan sejumlah uang.

Keluarnya Gayus dari tahanan melahirkan perkara baru, yaitu tindak pidana suap. Perkara ini melibatkan sejumlah polisi petugas tahanan dan Gayus sendiri. Keluarnya Gayus pun mengingatkan kita pada pengungkapan fasilitas mewah yang dinikmati Artalyta Suryani (Ayin) di penjara beberapa waktu lalu. Kita seolah tidak belajar dari kejadian masa lalu. Jual-beli fasilitas dan kebebasan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan masih berlangsung. Ini perlu ditangani secara sungguh-sungguh.

Pemberantasan mafia hukum, betapapun beratnya, harus dilakukan. Modus operandi mafia hukum tidak hanya terjadi di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pelaksanaan putusan (eksekusi), dan pemasyarakatan. Mafia bahkan bekerja sebelum adanya perkara. Pengusaha atau advokat yang membina hubungan baik dengan pejabat penegak hukum harus diwaspadai sebagai pintu masuk mafia hukum.

Dari minimal 30 modus operandi mafia hukum yang diidentifikasi Satgas, terdapat enam akar permasalahan. Pertama, kelemahan kepemimpinan-kurang tegas terhadap bawahan, integritas diragukan, atau kemampuan minimal dalam mendorong perubahan. Kedua, kelemahan manajemen sumber daya manusia, yaitu rekrutmen, mutasi, dan promosi, masih kental dengan praktek korupsi, kolusi, nepotisme, serta evaluasi kinerja tidak didayagunakan secara optimal. Dalam kaitan ini, perbaikan sistem promosi pejabat-pejabat penting di instansi penegak hukum perlu segera dilakukan agar lebih transparan, akuntabel, serta berbasiskan kinerja dan integritas.

Hal ini dapat dikonkretkan dengan mulai melibatkan instansi-instansi yang memiliki informasi tentang integritas dan kinerja calon-calon pejabat. Misalnya, KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ditjen Pajak, dan Ombudsman Republik Indonesia. Kami yakin proses ini akan mendorong semakin banyaknya agen perubahan di instansi penegak hukum.

Ketiga, gaji/tunjangan dan anggaran operasional sangat minim sehingga dapat memicu suap, gratifikasi, atau pemerasan terhadap pihak yang beperkara. Keempat, kelemahan sistem penanganan perkara, batas waktu yang sangat longgar, dan ketiadaan akses informasi. Kelima, kelemahan pengawasan internal ataupun eksternal yang diperankan oleh Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional. Keenam, kelemahan peraturan perundang-undangan. Sistem perundang-undangan kita memiliki kelemahan dalam melindungi participant whistleblower. Padahal peran mereka sangat penting dalam mengungkap praktek mafia hukum atau tindak pidana lainnya, seperti korupsi, terorisme, ataupun narkoba.

Calon peniup peluit yang berniat bekerja sama dengan Satgas mengurungkan niatnya setelah mereka mengetahui tidak ada perlindungan hukum bagi mereka. Sistem hukum kita juga tidak mampu menangkal fenomena corruption by greed, korupsi karena keserakahan, oleh pejabat publik yang secara populer diistilahkan sebagai "rekening gendut". Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang yang terkait dengan deklarasi aset dan pendapatan (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) tidak mengenal kriminalisasi/perampasan terhadap illicit enrichment (perolehan harta/kekayaan pejabat publik secara tidak wajar). Kelebihan dari konsep hukum illicit enrichment adalah pemberlakuan pembuktian terbalik.

Penuntut/penegak hukum yang diberi mandat hanya membuktikan bahwa terdapat perolehan harta atau aset yang fantastis dan tidak sesuai dengan pendapatan resmi pejabat publik tersebut. Pejabat publik dibebani untuk membuktikan asal-usul/sumber harta/aset tersebut. Apabila pejabat publik tidak dapat membuktikan hartanya diperoleh secara sah/legal, secara otomatis negara diberi kewenangan merampas harta/kekayaan yang diperoleh secara tidak sah tersebut. Kehadiran kedua peraturan perundang-undangan ini akan menjadi ujung tombak bagi pemberantasan mafia hukum di Indonesia.

Keenam, akar permasalahan di atas harus diatasi dengan program aksi yang komprehensif, seperti halnya peta jalan menuju Indonesia yang bersih dari mafia hukum. Peta jalan inilah yang dievaluasi efektivitasnya secara berkala oleh presiden dan wakil presiden.

Presiden dan wakil presiden? Mafia hukum berkaitan erat dengan kepastian hukum dan keadilan rakyat yang sangat mengganggu iklim investasi dan pembangunan ekonomi, pemiskinan masyarakat, pengurangan pemasukan pajak negara secara signifikan, serta resistensi partai politik yang dapat menyatu menjadi resistensi Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagai elemen perubahan, DPR, khususnya Komisi III, saatnya memiliki keberanian dan kemampuan memunculkan konsep pemberantasan mafia hukum secara komprehensif. Berbagai konsep atau solusi pembenahan peradilan, kejaksaan, dan kepolisian jangan hanya lahir dari pemikiran komunitas civil society, termasuk perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Para politikus juga diharapkan mampu melahirkan solusi-solusi pembenahan yang tajam dan kontekstual.

Sudah saatnya rapat dengar pendapat Komisi III dengan lembaga-lembaga penegakan hukum diorientasikan pada evaluasi capaian-capaian dalam memberantas mafia hukum, dan tidak didominasi tanya-jawab soal perkara. Setelah pemimpin lembaga-lembaga penegak hukum berfungsi menjadi champion of reform, pengawasan internal berfungsi baik, komisi-komisi pengawas eksternal semakin berdaya mencegah korupsi, KPK memberi prioritas pada pemberantasan mafia hukum, dan DPR berorientasi pada pencapaian pembenahan kelembagaan-juga mampu mencegah dirinya melawan konflik kepentingan dalam menjalankan tugasnya-Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tidak diperlukan lagi. Semoga pada 2011 tanda-tanda perbaikan ke arah sana dapat kita saksikan dengan jelas.

Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum
Copyright 2011 TEMPOinteraktif

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: