Wednesday, January 05, 2011

Kekejian politik demokrasi pasar bebas a la Indonesia

Awicaks

Sepasang warga Warga Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Jamhamid (45) dan Siti Sunayah (41) kehilangan enam anak mereka dalam waktu tiga hari karena keracunan tiwul. Tiwul adalah makanan yang dibuat dari ampas ketela, yang menurut pasangan itu, dibuat ketika keadaan ekonomi rumah tangga mereka sedang surut. | Kompas, 5 Januari 2010

Nun di Jakarta, anggota DPR tengah mempersiapkan rapat tentang renovasi gedung parlemen, yang biayanya masih di atas satu triliun rupiah. Kedua peristiwa itu tidak ada hubungannya? Pentingkah seorang Komandan dari Kodim setempat berkomentar agar khalayak tidak salah tafsir terhadap kematian keenam anak pasangan Jmhamid dan Siti Sunayah? Bagaimana dengan warga yang mengalami derita seperti pasangan itu tetapi tidak terekam oleh radar media?

Siapa bilang pilihan kebijakan pembangunan negara tidak ada urusannya dengan tingkat derita warga? Rencana pencabutan subsidi BBM, kenaikan harga cabe, harga bahan pokok, punya urusan langsung dengan derajat keselamatan serta daya pulih produktifitas warga. Karena pilihan kebijakan pembangunan negara secara terencana memposisikan warga sebagai buruh mesin industri nasional dan saat yang sama sebagai konsumen produk-produk konsumsi industrial sekaligus.

Kita tidak perlu menjadi ahli ekonomi, suatu disiplin akademik yang mendominasi tata-kerja pengurusan negara, untuk memahami bahwa apa yang dilakukan orang-orang yang mengurus negara tidak lebih dari sekedar menjaga angka-angka indikator ekonomi makro agar terus tampak kinclong di hadapan lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara industri kaya. Sama sekali tidak ada urusannya dengan derajat minimal keselamatan warga serta daya pulih produktifitas mereka. Ucapan seragam yang sama dan konsisten adalah janji-janji kemakmuran, yang tidak pernah jelas batas serta visualisasinya bagi warga kebanyakan. Warga menafsir sendiri apa itu kemakmuran. Punya telepon genggam? Punya televisi? Kartu kredit?

Semua partai politik di Indonesia bicara pada tataran yang sama, tataran yang tidak cerdas dan sama sekali tidak mencerdaskan, tentang janji-janji kemakmuran. Tidak satu pun mereka yang bicara tentang menaikan derajat keselamatan serta mengungkit daya pulih produktifitas warga, agar mampu menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Karena peran (dan kegunaan) warga di mata mereka tidak lebih dari sekedar pemberi suara (voters).

Tidak perlu heran, karena politikus-politikus partai lebih sibuk bermain mata dan berselingkuh dengan pelaku-pelaku industri yang mengancam (dan telah mendorong kemerosotan) derajat keselamatan dan daya pulih produktifitas warga. Model demokrasi yang dianut di Indonesia saat ini, demokrasi pasar bebas, tidak disangkal adalah model berbiaya tinggi. Tanpa pengusaha, tidak akan ada demokrasi. Contoh paling kongkret, Ketua Partai Golkar sendiri adalah seorang politikusu cum pengusaha yang sekujur tubuhnya tidak terbebas dari penderitaan-penderitaan warga yang tidak berkesudahan akibat kegiatan industri perusahaan yang menggunakan nama keluarganya (Lapindo di Sidoarjo dan KPC di Kalimantan Timur). Toh dia tetap yakin untuk maju sebagai calon presiden pada 2014.

Apakah kisah pasangan Jamhamid dan Siti Sunayah akan jadi agenda di atas meja, meski untuk keperluan membangun citra positif, sebagai persiapan pemilihan umum 2014? “Mohon maaf, kami tidak menjual penderitaan. Kami bukan LSM yang menjual penderitaan bangsa untuk dapat uang dari asing. Kami menjual masa depan yang gemerlap….” Tentu mereka tidak (akan pernah) menyebutkan, bahwa mereka menjual masa depan gemerlap yang tidak mudah didistribusikan secara merata, karena mereka harus menguranginya lebih dulu dengan biaya produksi, yang sebagian besar berasal dari saku-saku para penguasa modal. Sebuah mitos bernama trickle down effect.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: