Saturday, February 05, 2011

Gerombolan para pecundang di Senayan

Awicaks
Mereka yang menyebut dirinya anggota dewan yang terhormat, pemakan gaji buta yang berasal dari uang rakyat, tidak lebih dari segerombolan pecundang yang bernaung di bawah bendera partai-partai politik. Kemampuan mereka tidak lebih dari sekedar memamerkan politik tawuran. Sistem politik dan demokrasi di Indonesia telah menyuburkan kawah candradimuka bagi lahirnya politikus yang kian hari kian jernih menampakkan perilaku rakus, pengecut dan tidak tahu diri.
Saya yakin mereka sangat sadar bahwa duaratus juta warga Indonesia adalah sekedar sumber suara untuk ritual pemilihan umum lima tahunan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itu sebabnya mereka tidak (pernah) merasa malu untuk mempermasalahkan soal upah di hadapan publik. Juga tidak (pernah) malu mempertontonkan kedangkalan mereka yang (senantiasa) mengusung panji-panji partai masing-masing. Karena hakekatnya mereka tidak (pernah) merasa perlu mendengarkan aspirasi sekitar duaratus juga warga selain gerombolan orang yang mereka sebut sebagai konstituen.
Penahanan belasan anggota dan bekas anggota DPR oleh KPK terkait cek pelawat sebagai bagian dari pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Gultom, adalah pemandangan gamblang. Penolakan para anggota dewan yang terhormat, terutama dari Komisi III, terhadap kehadiran dua orang wakil Ketua KPK dengan beragam alasan, adalah pertunjukkan politik tawuran, seperti yang pernah mereka pertontonkan pada pembahasan kasus Centurygate, ketika dengan bangga mereka memanggang Sri Mulyani dan Boediono pada salah satu sidang dengar pendapat antara eksekutif dengan legislatif. Lucu sekali menonton orang-orang berotak kosong berbicara tanpa struktur, asal memaki, asal memarahi, dan menampilkan gaya jagoan di kandang sendiri. Tampil vokal, meski asal mangap (asngap), agaknya sudah dijadikan indikator untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka sudah berpikir.
Ketidaksenonohan pun dipertontonkan dengan telanjang dan apa adanya ketika mereka masih juga berkeras untuk membangun gedung baru yang harganya lebih dari satu triliun rupiah. Para pengamat politik, baik dari kalangan kampus maupun pesohor media elektronik, pun terjebak untuk memberikan komentar-komentar kosong, terhadap perilaku para anggota dewan yang terhormat. Perilaku dangkal itu semestinya tidak perlu dikomentari secara serius oleh mereka yang telah susah payah bersekolah hingga jenjang doktor. Komentar yang perlu didengar adalah dari para ahli kejiwaan sosial. Karena perilaku anggota dewan yang terhormat itu adalah penyakit sosial yang jauh lebih rendah dibandingkan gerombolan pengangguran yang bermabuk-mabukkan di pinggir jalan, yang gemar meminta paksa siapa pun yang lewat di dekat mereka. Ya, mereka cuma segerombolan pecundang yang telah membeli dengan harga sangat mahal kursi di Senayan.
Mereka tidak takut dengan ancaman kehilangan suara. “Ah, itu kan masih tiga tahun lagi….” Juga tidak takut pada kemarahan rakyat. “Rakyat masih sibuk mengurus perut masing-masing, apalagi dengan tingginya harga-harga bahan pokok….” Apalagi terhadap media dan pers. “Kalau kebangetan, kita somasi saja medianya. Kalau perlu kita seret ke pengadilan dengan pasal pencemaran nama baik….” Bagaimana dengan LSM? “Tenang saja, dengan cara kerja gaya proyek, nafas mereka tidak sepanjang kita untuk berpolemik secara marathon. Diamkan saja….” Bagaimana dengan kritikan para tokoh lintas-agama? Hmmm…. Agaknya para tokoh lintas-agama perlu memikirkan satu kata yang mujarab untuk mencerca para anggota dewan yang terhormat agar mereka tersetrum, seperti halnya SBY yang tersetrum kata ‘bohong’.
Gerombolan pecundang di Senayan memang kebal dari segala macam tekanan. Mereka justru sibuk bertarung menghadapi partai lawan. Aspirasi rakyat memang tidak ada di dalam benak mereka sebagai suatu tugas, dan hanya diperlakukan sebagai mata anggaran belaka (dana aspirasi). Karena memang begitulah karakter dan perilaku pecundang….

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

madjongke said...

wah benar2 menyakitkan