Thursday, July 07, 2011

Membaca Indonesia Mutakhir

Awicaks
Tidak ada yang baru tentang Indonesia, masih seputar politik ketoprakan di lingkar kekuasaan, yang dengan jitu ditunggangi oleh kuasa kapital finansial untuk membagi habis ruang-ruang produktif di sekujur kepulauan. Kasus Nazaruddin, Nunun Nurbaeti, Miranda Gultom, partai-partai politik yang gemar bancakan proyek dan komisi, dan gejolak lain yang menghiasai halaman muka koran-koran terkemuka, hanya kembangan yang boleh diabaikan. Bacaan mutakhir tentang Indonesia tidak butuh cara yang canggih. Dia masih sama dengan masa awal Suharto naik tahta.

Yang berbeda, jika dulu karut marut yang kelihatan begitu massif, meski muncul sepengal demi sepenggal ke permukaan, begitu rapih disembunyikan di bawah kesed, sekarang bisa diangkat kapan saja. Perdebatan pun bergeser soal kesahihan informasi dan kredibilitas sumber. Sebagai pengimpor utama segala macam perangkat pelayan gaya hidup konsumtif, Indonesia cukup terdepan melahap kecanggihan teknologi informasi. Dan jangan dilupakan peran industri media massa yang batasnya semakin tipis dengan lingkar kekuasaan politik negeri.

Peliputan hiruk pikuk di Jakarta dibuat sedemikian rupa menjadi keperwakilan persoalan bangsa. Kejadian memilukan menyangkut nyawa rakyat harus sedemikian kolosal untuk bisa bersaing dengan hiruk pikuk halaman utama. Media televisi begitu agresif melakukan kampanye yang mudah diduga mewakili kepentingan pihak di belakang mereka, tetapi terus secara konsisten membangun kesan bahwa yang diusung adalah kepentingan publik. Hal tersebut adalah konsekuensi tak-terhindarkan karena kelompok-kelompok elit kuasa politik dan kuasa kapital finansial melihat media massa sebagai garda depan mereka.

Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988), dengan jitu menjelaskan tentang distorsi pemberitaan oleh media massa, atau mereka kerap menyebutnya sebagai bias redaksi dari peliputan berita, yang mencakup jenis berita, pesan kunci, dan bagaimana berita akan disajikan. Baik Herman maupun Chomsky sepakat bahwa hal tersebut sebagai fenomena tak-terhindarkan dari industri media yang senantiasa berlatarbelakang motif laba (profit). Seperti halnya industri lain, industri media massa membutuhkan bisnis yang stabil dan menjamin laba. Sehingga usaha atau bisnis pemberitaan sewajarnya mengutamakan laba di atas kepentingan publik, dengan mengusung kalkulasi ambang pasar mereka (tingkat penjualan dan peringkat). Ada banyak contoh media massa dengan peliputan berita yang mengutamakan ketepatan dan akurasi ketimbang penanggukan laba justru terseok-seok.

Saya kira bukan hanya SBY yang begitu mempedulikan citra di hadapan publik, yang diwakili oleh media massa. Meskipun, bolehjadi dosis peduli citra SBY sangat tinggi, hal itu menurut saya adalah pilihan sadar yang dia dan para pengusungnya pilih, yang dengan cermat memperhitungkan peran media massa. Mungkin perbedaan mendasar dengan masa Suharto terletak pada peran pasar yang lebih terbuka dan kompetitif. Jadi Anda tidak usah muak dengan akting amatiran Surya Paloh pada setiap peliputan “kegiatan publik” Nasionalis Demokrat oleh Metro TV, atau Aburizal Bakrie dengan Partai Golkar-nya, karena memang hanya setingkat itulah para elit kuasa politik dan kuasa kapital finansial mengapresiasi dan mempraktekkan seni peran untuk meyakinkan pubiik. Namun setidaknya, seperti halnya SBY, keduanya secara sadar memilih metoda pencitraan positif lewat media massa.

Membaca Indonesia secara mutakhir harus juga melibatkan pelaku-pelaku media massa yang terus secara konsisten berjuang untuk tidak larut dalam arus kuat industri media masa. Namun karena kuatnya hegemoni paradigma pasar bebas dalam kehidupan sehari-hari khalayak luas, pelaku media yang terus mencoba merdeka dari cengkeraman kepentingan industri, harus terseok-seok bersaing menarik perhatian publik. Daya jangkau dan daya pengaruh dipaksa untuk mengadopsi metoda yang senantiasa melibatkan logika perbandingan lurus antara daya jangkau dan daya pengaruh dengan kemampuan asupan logistik dan sumberdaya finansial.

Pergulatan ini persis sama dengan yang dihadapi oleh para pelaku perubahan sosial yang bekerja langsung bersama rakyat. Logika manejemen keuangan yang begitu ketat dan luas dianut menyebabkan para pelaku perubahan sosial harus bekerja beberapa kali lebih keras. Di satu sisi mereka harus mengajak rakyat keluar dari pandangan yang menganggap situasi yang menghimpit mereka sebagai keniscayaan. Dan di sisi lain mereka harus menggulirkan perubahan sosial yang mampu menumbuhkan kepercayaan diri kolektif rakyat serta melembaga. Tidak jarang para pelaku perubahan sosial harus berhadap-hadapan dengan elit rakyat yang telah sangat relijius mengadopsi perilaku elit kuasa politik dan elit kuasa kapital finansial pada skala yang lebih miniatur.

Membaca Indonesia mutakhir tidak dapat hanya mengandalkan amatan lewat media massa. Dia perlu kesaksian langsung pada tingkat krisis tampak begitu kasat dan bisa dirasakan, sehingga tidak perlu dianalisis menggunakan metoda yang canggih. Pertanyaan yang kerap mengganggu ketika tengah membaca Indonesia adalah, bagaimana krisis yang begitu massif tersebar di sekujur Nusantara ini bisa dipertautkan oleh para warga krisis sendiri, agar mampu, setidaknya, melahirkan tekanan luarbiasa yang dapat mengguncang dan membuat wibawa kepengurusan negara menjadi tidak relevan? Saya kira masih jauh untuk bermimpi tentang perombakan yang mampu membuat Indonesia menjadi lebih baik dalam menjamin keselamatan dan meninggikan daya-pulih produktifitas publik.
Jayapura, 7 Juli 2011

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: