Monday, October 17, 2011

Indonesia, republik kaya yang rawan bencana dan diurus berdasarkan poll survai citra

Pulau-pulau pembentuk Republik Indnesia berlimpah kekayaan alam, baik terbarukan maupun tidak terbarukan. Kelimpahan akibat karakter geomorfologi yang sangat dinamik dan terus bergolak tumbuh (kecuali Kalimantan). Sehingga model pengurusan wilayahnya harus memperhitungkan peluang bencana ekologik, tidak hanya mengeruk sumber-sumber kekayaan alam. Sayangnya rejim pengurus negeri ini tidak berpikir ke situ. Yang diurus hanya citra dan hasil-hasil survai dan pol belaka. What a shame!

Awicaks

Mestinya setiap pemimpin negeri ini berpikir bahwa kelimpahan kekayaan alam adalah mitos yang menyesatkan. Mitos yang telah mendorong eksploitasi tak terkendali, dengan segala dampak negatifnya. Seorang pejabat daerah dari Provinsi Papua mengakui bahwa kebijakan dan keputusan di negeri ini memang bukan pemanfaatan yang hati-hati serta memperhitungkan risiko. Tetapi kebijakan yang dibuat dan keputusan yang diambil tanpa berdasarkan data serta pemahaman tentang situasi wilayah. Semua kebijakan dan keputusan diambil berdasarkan peluang pasar ekspor bahan mentah, yang dikendalikan negara-negara pengimpor bahan-bahan tersebut.

Bisa dipastikan bahwa negeri ini diurus dan diatur tidak berdasarkan satuan-satuan terkecil daya lenting sosial-ekologi negeri ini, seperti populasi balita kurang gizi, laju perpindahan penduduk dari wilayah-wilayah produktif ke perkotaan dan bahkan ke negara lain akibat menyusutnya ketersediaan lahan garapan atau akibat bencana ekologik yang langsung maupun tidak langsung dipicu oleh pengerukan kekayaan alam secara sembrono, serta semakin sedikitnya sumber-sumber air dan lahan-lahan untuk produksi pangan. Negeri ini diatur dengan kegenitan-kegenitan demokrasi, ekonomi-makro, serta paradigma kehidupan yang banal.

Meminjam terminologi Oswaldo di Rivero, Indonesia sudah bisa digolongkan sebagai negara dengan ekonomi yang tak-berkelanjutan (non-viable economy). Oswaldo de Rivero memperingatkan bahwa akan ada banyak negara dunia yang mengelola ekonomi yang tak-berkelanjutan di abad 21 ini akibat bangkrutnya teori-teori pembangunan yang tidak ada kaitannya dengan satuan-satuan terkecil daya lenting sosial-ekologi. Menurutnya, pembangunan ekonomi adalah mitos terbesar abad 20.

Indonesia yang berdiri di atas ‘cincin api sabuk Pasifik’ atau Pacific ring of fire, hanya dilihat dari segi kemanfaatannya, yakni tanah yang subur dan gembur. Namun ketika menghadapi situasi ketika kerak-kerak bumi dan cairan-cairan magmatik inti bumi bergolak memudakan diri, kebijakan dan tindakan yang tersedia pada menu pengurusan wilayah Indonesia hanya berupa pengerahan bantuan logistik kepada para korban serta pemulihan lingkungan yang rusak. Situasi tersebut tidak tergambar pada tataran perencanaan wilayah dan kegiatan pembangunan di atasnya. Meskipun pada Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa data tentang kerawanan bencana diperhitungkan, tetapi ia tidak menjadi pertimbangan penting dalam penetapan kebijakan akhirnya. Penataan ruang dijebak pada kedangkalan pembangunan ekonomik, berupa alokasi ruang dengan prinsip bagi habis. Saya tidak yakin Presiden kita yang sangat peduli pada poll survai tentang citra dirinya akan sempat memberi perhatian pada kelentingan sosial ekologi negeri ini.

Mitos pembangunan versi SBY adalah citra gemilang kehidupan perkotaan berbasis konsumsi barang dan jasa industrial, yang bahkan bahan-bahan pembuatnya pun harus diimpor dari negeri lain. Jadi tidak usah kaget pada cara SBY memanifestasikan visinya yang dikesankan go-international karena mencampuradukkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris: Pembanguan yang pro-poor, pro-job dan pro-growth. Sebuah visi yang tidak jelas ujung pangkalnya, apalagi landasan paradigmanya. Sayangnya saya sama sekali tidak tertarik membongkar dan membedah visi tersebut. Itu sama saja dengan menjawab pertanyaan yang salah. Apa pun jawabannya pasti salah, karena pertanyaannya sudah salah. Yang jelas, siapa pun dia di belakang visi tersebut, sama sekali tidak paham atau tidak memiliki pengetahuan yang termutakhirkan tentang bangkrutnya teori-teori pembangunan.

Bagi warga Republik Indonesia, penggantian menteri, penambahan wakil menteri, serta keputusan-keputusan simbolik tentang pemberantasan korupsi, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM, komitmen mengurangi emisi karbon, dan sebagainya, sama sekali tidak ada urusannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Hal tersebut sudah sangat diperhitungkan untuk mendongkrak poll survai citra. Cuma itu…..

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: