Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Prof Dr Ir Sajogyo meninggal dunia di Rumah Sakit PMI Bogor, Sabtu (17/3), sekitar pukul 05.00. Sajogyo, yang merumuskan pengukuran garis kemiskinan yang terkenal dengan sebutan ”Garis Kemiskinan Sajogyo”, wafat pada usia 86 tahun
Kompas Minggu | 18 Maret 2012
Prof Dr Ir Sajogyo. KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Eko Cahyono, salah seorang murid dan pegiat Sajogyo Institute (Sains), menuturkan, Prof Sajogyo meninggal dunia dalam tidurnya. ”Pada pukul 03.00, beliau bangun dan sempat minum. Lalu tidur lagi. Pukul 05.00, kami lihat beliau sudah tidak ada. Kami segera membawa ke RS PMI Bogor untuk meyakinkan. Di sana pihak rumah sakit menyatakan beliau wafat,” tuturnya.
Dukacita mendalam menyelimuti kediaman Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1964 yang terlahir dengan nama Sri Kusumo Kampto Utomo di Jalan Malabar 22, Bogor, itu. Sejak pagi, ratusan pelayat silih berganti ke rumah duka.
Sejumlah sivitas akademika IPB dan Universitas Indonesia (UI), pelaku dan pengamat ekonomi, serta pejabat kementerian dan Pemerintah Kabupaten Bogor tampak melayat. Di antara pelayat tampak hadir pengamat ekonomi Didik J Rachbini, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, dan Utusan Khusus Presiden untuk Penanggulangan Kemiskinan HS Dilon.
Upacara militer
Jenazah Prof Sajogyo dimakamkan dengan upacara militer sekitar pukul 13.20 di Taman Makam Pahlawan Dreded, Bondongan, Bogor, Jawa Barat. Adik almarhum, Kumoro Purwo Atmojo, mewakili keluarga dalam acara pelepasan jenazah menuju pemakaman.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi yang memberi sambutan seusai pemakaman tampak tak kuasa menahan tangis. Di tengah sambutan, berkali-kali ia terdiam dan terisak. Bayu Krisnamurthi menyebut Prof Sajogyo sebagai guru, kakak, sahabat, dan panutan yang sudah memberikan banyak sumbangsih tidak hanya bagi keluarga dan IPB, tetapi juga pada bangsa.
”Konsep industri pedesaan, pengukuran garis kemiskinan, masalah gizi, hingga pemberdayaan perempuan adalah sedikit di antara hasil pemikiran beliau yang hingga kini masih digunakan. Beliau pula yang melakukan penelitian dan merintis Lembaga Riset Perencana Tingkat Kabupaten Terintegrasi yang kemudian direplikasi menjadi Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) di semua kabupaten di Indonesia. Banyak perubahan pada bangsa ini, tetapi esensi pemikiran beliau masih relevan,” kata Bayu.
Dukacita mendalam juga tampak saat Rektor IPB Herry Suhardiyanto memberi sambutan pelepasan.
”IPB kehilangan guru yang sangat peduli pada ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan. Beliau telah memberikan dasar pada perkembangan ilmu sosiologi pedesaan dan sosial ekonomi pertanian. Banyak yang telah dilakukan dan menjadi panutan bagi kami semua,” kata Herry.
Lala M Kolopaking, salah seorang murid Prof Sajogyo yang kini menjabat Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian Pedesaan, IPB, mengatakan, hingga akhir hayatnya, Prof Sajogyo masih tetap mencurahkan perhatian pada masalah sosial kemasyarakatan.
”Di usia renta, dengan fisiknya yang kian lemah, dia masih memberikan masukan kepada kami walau kadang dengan isyarat yang kami terjemahkan melalui tulisan dan kami bacakan kembali untuk dia dengar. Begitu cintanya pada masalah sosial, dia mewariskan rumah dan seluruh hartanya, termasuk ribuan buku miliknya, untuk dimanfaatkan oleh peneliti dan mahasiswa,” kata Lala.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian Pedesaan didirikan Sajogyo. Penghargaan yang pernah diterimanya, antara lain, Bintang Mahaputra Utama (2009) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama (1993) dari Presiden Soeharto, dan Penghargaan Achmad Bakrie 2009 untuk Pemikiran Sosial (2009).
Sajogyo menikah dengan Prof Pudjiwati, Guru Besar IPB yang lebih dahulu wafat (2002). Pasangan ini tidak dikaruniai anak. Namun, anak didik Sains, lembaga yang didirikan Sajogyo pada 2005, ada 30 orang.
Ia, antara lain, juga mendirikan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia pada 1969 yang hingga kini masih eksis dan Bayu Khrisnamurthi sebagai ketua umum.
Dalam biografi Prof Sajogyo yang dikeluarkan Sains, antara lain dipaparkan, ia mulai mengenal dan bekerja untuk pedesaan sejak tahun 1949 ketika belajar di Fakultas Pertanian UI di Bogor (kini dikenal sebagai IPB).
No comments:
Post a Comment