Sunday, March 18, 2012

Perjalanan ke Asmat, Papua

Perjalanan napak tilas, setelah hampir sebelas tahun. Terakhir saya berkunjung ke Agats, ketika Asmat masih berstatus distrik (kecamatan) dan menjadi bagian dari Kabupaten Merauke, pada pertengahan 1999

Awicaks
Asmat MapPeta wilayah Kabupaten Asmat, Papua

Perjalanan ini sesungguhnya adalah anugerah bagi saya. Napak tilas ini dapat terwujud karena undangan Bupati Kabupaten Asmat, Yuven Biakai, dan Kepala Bappeda Kabupaten Asmat, Goris Tuantana, untuk menghadiri konsultasi draft Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Merauke pada tahun 2002.

Setelah menunggu hampir lima jam di gedung lama Bandar Udara Mozes Kilangen, Timika, akhirnya kami berangkat menggunakan pesawat Twin-Otter yang dioperasikan Trigana. Bukan perkara mudah untuk dapat menumpangi pesawat dengan kapasitas delapan belas penumpang ini. Kolega saya yang kebetulan bertugas di wilayah selatan Provinsi Papua harus memesan tiket sejak sebulan lalu.

DSC00435Pesawat Trigana yang menerbangkan saya dan tim dari Timika ke Ewer, Asmat

Penerbangan dari Timika ke Ewer ditempuh dalam waktu 45 menit. Dari jendela kita disuguhi pemandangan miris, pasir tailing tambang PT. Freeport membuat Sungai Aijkwa tidak lagi berfungsi sebagai sungai.

DSC00453Sungai Aijkwa yang tidak lagi berfungsi sebagai sungai akibat tailing PT. Freeport yang beroperasi sejak awal 1970

Lima menit kemudian pemandangan mengenaskan tersebut digantikan oleh bentang alam yang mengagumkan: Hutan dataran rendah Kabupaten Asmat dengan sungai-sunganinya yang berliku.

DSC00549Hutan dataran rendah dan hutan mangrove di Kabupaten Asmat, Papua

Pendaratan di Ewer cukup mendebarkan. Pesawat turun perlahan di atas muara, hingga sekitar 10 meter barulah tampak ujung landasan yang berkarpet pelat-pelat baja.

Begitu menjejakkan kaki di landasan berkarpet pelat baja saya dan kawan-kawan sekantor sudah disambut Yos Rumkorem, staf dari Dinas Sosial Kabupaten Asmat. Yos yang bertubuh tinggi besar dengan rambut yang sudah memutih menyambut kami dengan hangat.

DSC00460Mendarat di Bandar Udara Ewer

Bandara yang dulu dikelola oleh Keuskupan Agats tampak banyak berubah. Dulu, tahun 1999, hanya ada satu bangunan. Sekarang tampak beberapa bangunan tambahan, seperti terminal kedatangan di bandara-bandara besar pada umumnya.

DSC00463Bandara Ewer sekarang sudah dikuasai sepenuhnya oleh Pemda Kabupaten Asmat. Dulu, pada kunjungan saya tahun 1999, bandara Ewer dikuasai dan dikelola oleh Keuskupan Agats

Perjalanan dari Bandara Ewer ke Agats, ibukota Kabupaten Asmat, ditempuh selama 30 menit menggunaakn perahu bermotor. Menurut Yos perahu yang dibuat dari gelas-serat (fibre-glass) itu sekarang sudah dapat dibuat sendiri di Asmat. Harga pembuatan satu perahu fibre-glass tanpa motor sekitar sekitar Rpp 200 juta. Motor berbahan bakar bensin dibeli di Surabaya. Harga motor berdaya 40 tenaga kuda dengan bahan bakar bensin itu sekitar Rp 25 juta.

DSC00466Perjalanan dari Ewer ke Agats dilakukan menggunakan perahu bermotor yang ditempuh selama 30 menit menyusuri hutan mangrove

Kami merapat di pelabuhan ferry di bawah sinar matahari yang menyengat. Bau rawa mangrove yang khas menyapa kedatangan kami di Agats. Jalan yang dibuat dari beton adalah sesuatu yang baru bagi saya, karena dulu jalan di depan pelabuhan ferry dibuat dari bahan kayu besi atau ulin (Eusideroxylon zwageri).

DSC00799Pelabuhan ferry di kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua

Perjalanan dari pelabuhan ferry menuju hotel kami tempuh dengan jalan kaki. Yos Rumkorem membantu kami membawa barang-barang bawaan kami dengan menggunakan sepeda motor. Sepeda motor? Ternyata bukan. Dia bergerak tanpa suara. Keheranan saya terjawab ketika akhirnya saya naik sepeda motor Yos. Yos menyebutnya sepeda listrik.

“Ini buatan Wim Cycle di Surabaya, tetapi ditambahkan dengan penggerak bertenaga listrik yang bersumber dari battery kering,” jelas Yos sepanjang perjalanan dari pelabuhan ferry menuju Hotel Assedu. Kendaraan roda dua ini memang tidak bersuara, tetapi karena jalan-jalan di Agats dibuat dari bahan kayu, maka yang terdengar adalah suara berderak di tempat dimana sepeda listrik ini lewat.

DSC00482Sepeda listrik butan Wim Cycle. Baik Bupati, pejabat Pemda maupun warga biasa menggunakan sepeda listrik ini

Selesai mendaftarkan diri di resepsionis Hotel Assedu, hotal yang dimiliki Pemda Kabupaten Asmat, saya dan kawan-kawan serta Yos berbincang di lobby hotel. Tidak lama muncul Matias Ginune, Sekretaris Bappeda Kabupaten Asmat. Dialah yang mengatur perjalanan kam ini.

DSC00470Hotel Assedu, Agats

Kami berbincang tentang perekonomian Kabupaten Asmat. Bupati Asmat, yang dulunya adalah aktivis gerakan masyarakat adat, bahkan mengetuai Lembaga Masyarakat Adat Asmat (LMAA), memiliki visi pembangunan ekonomi yang tidak bersumber dari kegiatan ekstraktif skala besar, seperti penebangan hutan dan perkebunan besar. Beberapa usulan perijinan dia tolak. Visi Bupati adalah Asmat yang dibangun dari sektor pariwisata dan perikanan.

Sektor pariwisata Kabupaten Asmat mengandalkan keunikan wilayahnya yang didominasi hutan dataran rendah dan hutan serta rawa mangrove. Budaya masyarakat Asmat sangat dipengaruhi lingkungan dimana mereka hidup. Selain itu masyarakat Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua, masyarakat pesisir pantai dan masyarakat pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Masyarakat pesisir pantai terbagi ke dalam dua suku, yakni Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.

Seorang dari suku Asmat tengah membuat ukiran kayu (sumber: Wikipedia)

Masyarakat Asmat meyakini bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam. Dalam keyakinan masyarakat Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan, yang kemudian turun ke hilir hingga tiba di tempat yang kini didiami oleh masyarakat Asmat hilir.

Lingkungan alam telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi budaya masyarakat Asmat, sebagai cara hidup yang sangat bergantung pada kekayaan alam yang terdapat di hutan, sungai, dan laut. Bahan makanan pokok masyarakat Asmat adalah pati dari sagu (Metroxylon sagu), ikan, hewan buruan dari hutan, dan bahan lainnya yang dikumpulkan dari hutan dan perairan. Bahan untuk membuat perahu, tempat tinggal, dan ukiran kayu juga semua dikumpulkan dari lingkungan sekitar. Budaya masyarakat Asmat sangat erat terkait dengan keanekaragaman hayati di lingkungan alam tempat mereka hidup.

Tempat tinggal masyarakat Asmat dibangun minimal dua meter di atas tanah, menggunakan tiang-tiang kayu. Di beberapa daerah pedalaman, masyarakat Asmat bahkan tinggal di rumah pohon, kadang-kadang setinggi 25 meter dari tanah.

Bahasa Asmat termasuk dalam keluarga bahasa Papua yang disebut Asmat-Kamoro. Bahasa lisan Asmat didokumentasikan dalam bentuk bahasa tulisan oleh para misionaris.

Pola kekerabatan masyarakat Asmat bersifat patrilineal. Namun dalam pola tempat seorang lelaki tinggal bisa saja ikut dalam kelompok batih istrinya. Keluarga-keluarga batih itu tergabung lagi dalam kelompok keluarga luas patrilineal hingga kepada cikal bakal yang pertama beberapa tingkat ke atas Kelompok keluarga luas ini yang disebut yeu. Beberapa yeu dapat membentuk federasi desa dan mendiami rumah komunal federasi yang juga disebut yeu.

DSC00529Sebuah yeu yang dibangun di dekat Bandara Ewer

Keunikan alam dan budaya itulah yang membuat Bupati berkeyakinan bahwa kabupaten yang dipimpinnya dapat hidup dengan ekonomi yang tidak mengeruk dan mengekstraksi kekayaan pada skala industrial. Dia menegaskan bahwa budaya Asmat terbangun dari beragam pengalaman dan keahlian sekelompok orang untuk dapat menyelaraskan diri dengan situasi dan kekayaan alam yang tersedia. Dengan kata lain, secara sosial dan ekonomik masyarakat Asmat sesungguhnya berdaulat atas wilayah hidup mereka karena kelimpahan kekayaan alam dari hutan dataran rendah, hutan mangrove, pesisir dan perairan laut.

DSC00534Ekosistem muara dan rawa mangrove

Namun budaya bukanlah sesuatu yang statik, ia terus bergerak, berinteraksi dengan perubahan di sekitar maupun dengan pengetahuan dan informasi dari luar yang membanjir melalui saluran-saluran dan media komunikasi canggih yang telah mengaburkan jarak fisik berbagai wilayah. Demikian halnya dengan masyarakat Asmat. Dinamika itu dapat dilihat pada perkembangan dan pertumbuhan kota Agats.

Sementara ekonomi subsisten tetap kuat dan menyebar luas, tergantung pada lokasi kampung dan akses ke pasar, sejumlah warga mendapatkan uang melalui penjualan barang-barang seperti ikan, babi hutan, kelapa, dan karya seni patung. Pendapatan yang dihasilkan dari penjualan barang-barang tersebut seringkali tidak dapat diandalkan. Penerimaan dari penjualan seringkali dihabiskan untuk membeli beras, rokok, atau barang konsumsi lainnya, termasuk telepon genggam, pemutar cakram VCD/DVD, televisi dan antena satelit, serta sepeda listrik, seperti yang saya ceritakan di bagian awal. Harga barang-barang konsumsi dan perangkat itu di Agats sangat mencengangkan.

Masyarakat Asmat sekarang ini banyak bekerja untuk instansi pemerintah, termasuk sekolah, kepolisian, dan rumah sakit, serta lembaga keagamaan. Pekerjaan ini dapat memberikan pendapatan uang kontan yang stabil. Namun, peluang pekerjaan untuk mendapatkan uang kontan yang stabil bagi masyarakat asli Asmat cenderung tetap terbatas akibat derasnya aliran masyarakat luar datang ke wilayah ini, yang memiliki ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi pasar.

Peta Citra A3Citra satelit kota Ewer, Kabupaten Asmat (sumber: Dinas PU Kabupaten Asmat, 2011)

Kota Agats dibangun di atas rawa mangrove. Struktur ruang kota Agats berupa jejaring jalan yang dibuat menggunakan bahan kayu besi. Pola tempat tinggal tradisional masyarakat Asmat sangat berpengaruh pada rancang tata kota Agats, dimana semua dibangun minimal dua meter di atas tanah menggunakan tiang-tiang kayu.

Agats sekarang adalah perwakilan lingkungan kosmopolitan di mana barang pergaulan dengan masyarakat pendatang serta konsumsi atas barang konsumsi industrial yang dibawa dari luar mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Asmat. 

Asmat museum 10Karya ukiran patung kayu Asmat

Perubahan ini mempengaruhi karya seni patung Asmat, yang dapat dilihat pada tingkat yang paling dasar, dalam bahan yang digunakan seniman Asmat. Sebagai contoh, beberapa seniman menggunakan isi baterai alkaline untuk membuat bahan pewarna, menggantikan arang yang sebelumnya secara tradisional digunakan untuk memberi warna gelap karya mereka. Demikian pula dengan penggunaan bahan plastik untuk menambah warna-warni pada karya tenunan dan anyaman, menggantikan serat-serat tumbuhan.

Akses ke produk yang dihasilkan di seluruh dunia terus meningkat. Anda bisa saja berhenti di sebuah toko kecil atau toko di sepanjang jalan kayu dari Agats ke Syuru dan membeli sekaleng Coke Zero. Bahkan gerobak-gerobak mie bakso yang umum ditemukan di kota-kota yang dibangun di atas tanah mineral, mudah ditemui di Agats.

DSC00514Sebuah gerobak mie bakso

Perjalanan ini menggembirakan saya tetapi sekaligus menimbulkan kesedihan. Memang disadari sulit untuk membendung arus perubahan akibat teknologi informasi dan telekomunikasi yang telah menembus daerah-daerah terpencil di Indonesia. Tayangan televisi yang kerap menawarkan gaya hidup moderen menjadi perayu ulung yang mampu menembus pengambilan keputusan masyarakat hingga ke ruang tamu. Tentu saja adalah hak masyarakat Asmat untuk berubah. Namun sayangnya perubahan yang kita jalani dalam kehidupan di negeri ini sungguh merupakan kreasi yang destruktif. Ketergantungan pada barang dan jasa industrial telah merombak pola produksi menjadi konsumsi. Bukan lagi sebuah tali temali serasi antara produksi dan konsumsi.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

8 comments:

Anonymous said...

Salam kenal pak, kalau ke asmat lagi mampir pak ke tempat saya.. trims.

Salam
edy prasetya
edy23@yahoo.com

Anonymous said...

LuV it, agast asmat,,,
Krn pacar saya jg dsana.
Baca artikel ini, sy jd bnyk liat situasi dsana dan jd merasa dekat dgn situasi pacar sy dsana.

Anonymous said...

Liat artikel ini, saya jd merasa dkt dgn pacar sy yg lg merantau di agast asmat.
Luv it,,,,

Freddy Pieloor said...

Pemerintah perlu bekerja lebih adil dan keras, agar KEMERDEKAAN dan pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh RAKYAT INDONESIA. Karena Indonesia bukan saja Jawa, dan Sumatera, tetapi Maluku, NTB/NTT dan Papua juga INDONESIA. Semoga suara hati dan mata jiwa pemimpin Indonesia dibukakan oleh TUHAN.

Anonymous said...

trimakasih atas informasi yang diberikan,saya akan melakukan perjalalan ke asmad,semoga dapat diterima oleh masyarakat setempat menyatu dan berdaptasi diantara mereka.

Sesiani Kawalangi said...

Saya terkesan dengan tulisan anda. Saat ini anak saya berada di asmat dia bersama temannya sebagai perencana dan pengawas pembangunan bandara ewer.r

Konsultan manajemen sistem said...

Luar bisa. Ingin rasanya berkunjung ke sana untuk mengenal lebih dekat kekayaan dan potensi ekonomi di asmat

Anonymous said...

Menarik...perlu didatangi nih