Salah satu hal kunci yang terus mengganggu pikiran saya adalah soal pilihan. Memilih bukanlah perkara mudah karena setiap pilihan selalu punya risiko atau biaya yang tak terhindarkan. Yang banyak terjadi kemudian pilihan diambil bukan dari perhitungan tetapi lebih mengandalkan intuisi
Awicaks
Banyak orang menggunakan perhitungan biaya peluang (opportunity cost) dalam pengambilan keputusan untuk memilih satu dari beberapa pilihan. Konteks untung rugi umumnya begitu mendominasi proses pengambilan keputusan seperti itu. Mana yang lebih menguntungkan, dan mana yang lebih kecil kerugiannya.
Dari sekian banyak kriteria tanpa disadari biasanya orang akan memilih sebagian kecil kriteria utama sebagai faktor penentu keputusan. Di sinilah perhitungan jadi tidak relevan. Intuisi bekerja lebih banyak saat melakukan pemilihan kriteria kunci. Selain itu intuisi juga bekerja dominan ketika memasukkan situasi eksternal yang menekan untuk mengambil keputusan secara segera.
Yang jarang disadari, tetapi justru sering terjadi, orang sering berpikir bahwa keputusan yang dibuat, baik terkait dengan pilihan maupun hal lain, harus tanpa cacat. Padahal itu tidak mungkin. Tidak ada sistem maupun proses yang bekerja di dalamnya berlangsung tanpa cacat. Pertanyaannya, apakah cacat itu sudah dikenali sejak keputusan diambil, sehingga bisa disiapkan langkah penangangan, atau dia dibiarkan menjadi benih bagi terbentuknya bom waktu? Ini yang disebut sebagai faktor tunda atau delay factor.
Rejim SBY-Boediono bisa disebut sebagai master of delay. Semua keputusan yang diambil sering terlambat dan tidak jarang kehilangan momentum. Penundaan keputusan, dalam suasana hiruk-pikuk demokrasi Indonesia, dimana semua orang boleh bicara dan komentar apa saja, menciptakan pengali (multiplier) terhadap faktor tunda. Yang paling sering terjadi berupa insentif yang tidak diinginkan (perverse incentive).
Tetapi tulisan ini tidak ingin menjejerkan contoh-contoh tentang betapa rumitnya memilih, memutuskan dan penundaan yang menjadi ciri khas Rejim SBY-Boediono. Tujuan tulisan ini adalah untuk menunjukkan bahwa kerumitan pengambilan keputusan oleh Rejim SBY-Boediono yang selalu dikesankan berlangsung secara analitik dan sistematik sama sekali tidak relevan dengan situasi Indonesia. Mereka seharusnya memahami bahwa proses yang berlangsung analitik dan sistematik cenderung linear, tidak lateral. Kepekaan terhadap situasi dan dinamika sosial menjadi tidak penting dalam proses yang analitik dan sistematik tersebut.
Penggunaan intuisi dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan bukan sesuatu yang buruk. Intuisi mewakili jam terbang dan rujukan pengalaman si pengambil keputusan terhadap beragam situasi yang pernah mereka hadapi. Proses yang analitik dan sistematik bisa jadi penting, tetapi itu cukup dilakukan di tingkat pendukung, bukan di arena utama pengambilan keputusan, seperti di kelompok pemikir dan analis (think tank) rejim ini.
No comments:
Post a Comment