Monday, March 05, 2012

Menjadi Buruh Cuci Pun Dilakoni

Sebuah kantong plastik besar diangkat Remsina br Manalu (46) dari ruang perpustakaan sekolah, lalu diletakkan di jok depan sepeda motornya. Di kantong itu terdapat belasan potong kain, seperti baju, sarung, pasmina, dan jaket, yang terbungkus rapi dalam plastik

Kompas Cetak | 05 Maret 2012
Bayu Prihartanto (26), guru tidak tetap di SD Negeri Wonosari 4, menggunakan waktu seusai mengajar untuk mempersiapkan unggas yang akan dimasak dan dijual di warung kaki lima di Desa Kepek, Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta, Kamis (1/3). Honor mengajar yang hanya Rp 200.000 per bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama istri. Bayu mulai mengajar tahun 2006 dengan honor Rp 75.000 per bulan dan sejak Januari 2012 memperoleh honor Rp 200.000 per bulan. KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

”Beginilah saya, mengharap belas kasihan dari guru-guru PNS (pegawai negeri sipil) supaya beli dagangan saya,” tutur guru bantu pengganti di SD 101996 Baturata, Desa Sialang, Kecamatan Bangun Purba, Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (3/3).

Dengan honor Rp 150.000 per bulan, Remsina yang sudah menjadi guru honorer selama 21 tahun harus pandai-pandai mencari tambahan demi menghidupi empat anaknya. ”Honor Rp 150.000 per bulan itu tidak cukup. Untuk naik angkutan umum ke sekolah saja Rp 20.000 sehari,” kata Remsina yang menjadi guru honorer sejak 1990.

Maka, selain berjualan baju, sepulang mengajar ia menjadi tukang cuci pada dua keluarga di dekat rumahnya dengan upah Rp 400.000 per bulan. ”Sebenarnya malu juga saya ngomong bekerja sebagai buruh cuci, tetapi beginilah situasi kami,” tutur lulusan Pendidikan Guru Sekolah Menengah Tingkat Pertama di Padang Sidimpuan, 1988, itu.

Jika membawa dagangan, ia ke sekolah meminjam sepeda motor anaknya. Ongkos bensinnya Rp 10.000 per hari. ”Nanti kalau ada orang memanggil di tengah jalan, saya berhenti dan mengeluarkan dagangan,” tutur wali kelas IV itu.

Beruntung suaminya punya sedikit ladang sehingga untuk makan sehari-hari bisa terpenuhi. Penghasilan Remsina dipakai untuk membiayai sekolah anaknya. ”Anak yang paling besar sudah lulus sekolah bidan,” tutur guru tiga mata pelajaran kelas IV, yakni Seni Budaya, Bahasa Indonesia, dan IPS, itu.

Lain halnya dengan Masriani (40). Guru bantu pengganti yang menjadi guru kelas III sekaligus wali kelas III di SD 101996 Baturata itu setiap bulan mendapat honor Rp 350.000. Selepas mengajar dan menyelesaikan tugas rumah tangga, ibu tiga anak itu mengajar di madrasah diniah sore hari dan mendapat honor Rp 200.000 per bulan. Lulusan Pendidikan Guru Agama Sidikalang yang kemudian meneruskan studi strata satu di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Teladan, Medan, itu juga cukup beruntung mempunyai suami guru PNS sehingga kebutuhan keluarga didukung dari gaji suami.

Honor kedua guru itu diambil dari sisa dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang sudah digunakan untuk keperluan sekolah. Karena di SD 101996 ada empat guru honorer, tiga di antaranya guru bantu pengganti, sisa dana BOS dibagi empat. Remsina mendapat Rp 150.000 karena jam mengajarnya lebih sedikit daripada Masriani. Dia juga dibantu satu guru honorer untuk mengajar di kelas IV.

Baik Remsina maupun Masriani setiap hari datang ke sekolah. ”Bagaimana ya… sejak kecil kami bercita-cita jadi guru, sekolahnya juga sekolah guru,” tutur Remsina yang disetujui Masriani ketika ditanya mengapa tetap setia menjadi guru meski gajinya tak layak.

Mereka bertahan karena harapan bahwa suatu saat akan diangkat menjadi guru tetap meski sudah 21 tahun menunggu harapan itu tak kunjung datang.

Honor terlambat

Meski mendapat honor kecil, belum tentu honor tersebut diterima setiap bulan. Nurul Huda (46) yang mengajar di SD Negeri 1 Sidodadi, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, misalnya, sudah tiga bulan belum menerima honor yang besarnya Rp 1 juta sebagai guru bantu.

Sekolah tempat Nurul Huda mengajar terletak sekitar 100 kilometer dari rumahnya di Palembang. Cara tercepat ke tempat dia mengajar menggunakan perahu cepat (speedboat) yang hanya berangkat sehari sekali dari Palembang. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam sehingga tak mungkin Nurul pulang setiap hari. Apalagi tarif perahu cepat itu cukup mahal, Rp 140.000 pergi pulang. Karena itu, ia pulang menemui keluarganya sebulan sekali.

Ketua Umum Forum Komunikasi Guru Bantu Sumatera Selatan Syahrial (43) mengatakan, nasib guru bantu dan guru honorer hingga saat ini tidak jelas.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistiyo mengatakan, pemerintah harus segera menyelesaikan peraturan pemerintah tentang tenaga honorer dan peraturan pemerintah tentang pegawai tidak tetap yang di dalamnya memuat ketentuan penghasilan minimal.

Suparman, Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Seluruh Indonesia, mengatakan, tidak mungkin melakukan pemutusan hubungan kerja guru honorer secara massal. Kenyataannya, banyak sekolah yang membutuhkan guru honorer untuk mengatasi kekurangan guru. Selain itu, jumlahnya pun sangat banyak, sekitar 900.000 guru mulai dari guru bantu, guru honorer, hingga guru tidak tetap.

”Jadi, yang bisa dilakukan sambil menunggu pengangkatan secara bertahap, pemerintah mengatur gaji minimal. Setidaknya gaji guru honorer sama dengan upah minimum provinsi ditambah dengan jaminan sosial tenaga kerja,” ujarnya.

(WSI/IRE/RUL/CHE/RWN/ELN)
Copyright © 2012 Kompas Digital

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: