Saturday, September 15, 2012

Stempel di Dahi

Pepatah lama, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, punya implikasi yang luas, dan boleh ditafsir dari beragam sudut pandang. Tetapi pepatah itu terlalu sering ditafsir secara dangkal dan dipaksa untuk menjadi aksioma. Itu yang sering jadi masalah.

Awicaksono

Benar bahwa pendidikan sejati bersumber dari keluarga. Anak belajar dari dinamika sosial di rumah. Semua kejadian di rumah, dari yang direncanakan hingga hal-hal kecil yang terjadi secara spontan akan menjadi kebijakan dan hikmah yang menjadi asupan pembelajaran anak, tak peduli kualitas intelejensia, bakat, kecakapan, serta kualitas pribadi lain yang dimiliki mereka. Beberapa peneliti ilmu kejiwaan bahkan berani mengatakan bahwa proses pembelajaran sudah dimulai sejak sang anak masih berada dalam kandungan sang ibu. Karena proses pembelajaran tidak terbatas pada hal-hal yang kasat (visual), tetapi juga yang melalui proses faal-kimiawi (hormonal sang ibu).

Saat saya masih sekolah tingkat lanjutan atas ada banyak kawan-kawan yang hidup bergelimang kemewahan material. Waktu itu kita sering menganggap wajar bahwa seorang pejabat sangat wajar memiliki harta berlimpah. Akan berbeda jika saat itu sudah ada PPATK, sudah ada Pakta Integritas pejabat publik, atau pelaporan kekayaan pejabat publik. Hal yang waktu itu dianggap wajar tentu akan menjadi skandal besar. Yang ingin saya katakan dengan mengaitkan argumen di alinea pembuka dengan proses akumulasi kekayaan secara koruptif bahwa hal tersebut akan berpengaruh pada perkembangan karakter dan proses pembelajaran anak-anak mereka.

Tidak perlu kita menelaah secara sistematik bagaimana pola hubungan sebab-akibat antara pembelajaran anak, pengembangan karakter anak dengan bagaimana sumber pembiayaan untuk mendukung proses tersebut diperoleh. Entah bagaimana, tetapi saya sangat meyakininya, keduanya berhubungan erat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian, lingkungan sosial anak yang lain, seperti sekolah atau kawan bermain di luar jam sekolah, juga akan memiliki sumbangan yang tidak kecil dalam proses pembelajaran dan perkembangan karakter anak, selain hikmah dan kebijakan yang ia petik di rumah.

Itulah yang menjadi argumen tentang implikasi yang luas dari pepatah lama, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kalau boleh kita bayangkan, ada momen dan jarah ketika buah terlepas dari tangkainya dan bergerak mengikuti gaya tarik bumi menuju tanah. Sehingga rute perjalanan si buah tidak selalu harus lurus. Bisajadi itu adalah pengaruh angin yang menyebabkan penyimpangan sekian derajat dari rute garis lurus yang seharusnya. Atau faktor lain, baik yang sudah dipostulatkan maupun yang belum. Itu pun jika diasumsikan buah terlepas dari tangkainya bukan karena sudah masak dan matang, tetapi karena dipetik oleh orang atau hewan. Karena hal itu akan menyebabkan buah tersebut tidak akan jatuh menurut garis lurus merujuk kepada daya tarik bumi, tetapi ia akan berkelana lebih jauh lagi. Rute perjalanan menurut daya tarik bumi bolehjadi setara dengan garis keturunan yang bersifat faali dan hayati, atau yang umum disebut sebagai faktor genetika.

Inilah yang tidak mau disentuh, dipikirkan, direnungkan dan dibahas oleh sebagian besar khalayak yang lebih suka memberi stempel di dahi seorang anak, bahwa karakternya pasti serupa dengan orangtuanya. Colin Mortlock, seorang pendidik alam terbuka dari Inggris, bahkan melontarkan pandangan yang sangat berbeda dengan pemikir tentang pendidikan pada umumnya, dengan mengatakan bahwa setiap individu manusia punya kurva pembelajaran yang khas. Setiap individu manusia punya puncak-puncak pengalaman sepanjang hidup mereka yang menjadi sumber hikmah dan kebijakan kurva pembelajaran mereka. Keberadaan puncak pengalaman (peak experience) tidak selalu ada urusannya dengan perkembangan usia. Itu pun sangat bergantung pada penerimaan individu manusia itu untuk menganggap dan memperlakukan puncak pengalaman itu sebagai sumber hikmah dan kebijakan atau justru sebagai sebuah trauma.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: