Saturday, September 08, 2012

Apa yang Dipikirkan Koruptor?

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agaknya tidak menjadi persoalan bagi mereka yang beredar di seputar kekuasaan untuk tetap melakukan korupsi. Demikian halnya dengan kehadiran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga tidak mengurangi nafsu menjarah duit Negara. Bahkan korupsi dilakukan berjama’ah. Apa yang dipikirkan mereka yang tetap bernafsu melakukan korupsi?

Awicaksono

Seperti halnya anggapan umum bahwa segala sesuatu yang dilarang justru menimbulkan rangsangan bagi beberapa kalangan untuk mencobanya, minimal mencicipi sedikit. Setiap pelarangan bukannya menimbulkan keteraturan dan ketertiban, seperti yang diniatkan pada saat dilakukan penyusunan aturannya, tetapi malahan menantang beberapa kalangan untuk mencari-cari celah kelemahan untuk diterobos. Mekanisme umpan-balik (feedback) ini umum terjadi di Indonesia.

Saya ambil satu contoh sederhana, penerapan ketentuan tiga penumpang dalam satu mobil (3 in 1) di jalan-jalan protokol di Jakarta Pusat melahirkan profesi baru bagi sekelompok masyarakat untuk menjadi joki bagi mobil yang dikendarai oleh satu orang. Di ujung-ujung jalan protokol berderet orang, laki-laki dan perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak, melambai-lambaikan tangan mereka menawarkan jasa menjadi joki.

Yang menyebalkan, upaya melonggarkan beberapa peraturan dan perundang-undangan atas nama percepatan pembangunan ekonomi bukannya mengurangi perilaku buruk tersebut tetapi justru merangsang pihak yang diatur untuk terus mencari celah-celah untuk memaksimalkan keuntungan. Celah yang saya maksud bukan hanya tentang tekstual dari peraturan tersebut tetapi juga tentang kelembagaan berikut orang-orang berkewanangan di belakang lembaga bersangkutan. Meritokrasi serta sistem insentif yang diterapkan agaknya belum mampu memenuhi nafsu mengeruk uang Negara.

Mengapa begitu besar nafsu untuk menumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara? Apa sesungguhnya yang dipikirkan orang-orang itu?

Saya senantiasa gagal menggali gagasan di balik usaha tak kenal lelah tersebut. Beberapa orang yang saya kenal dan saya duga berpengalaman terlibat dalam operasi korupsi yang telah membuat mereka berlimpah kemewahan sangat piawai menghindari pertanyaan menjebak yang saya lontarkan.

“Wah, mobil baru nih….” Saya coba memancing seorang pejabat menengah di sebuah lembaga Negara di Jakarta yang datang ke kantor dengan sebuah mobil merek terkanal yang harganya mencapai 400 juta rupiah. Gaji dan tunjangannya jelas tidak mungkin diandalkan untuk dapat membeli mobil tersebut.

“Ah, cuma tukar-tambah kok dengan mobil lama ditambah hasil menjual tanah warisan di kampung,” Tukasnya tangkas. Entah saya yang kurang piawai membuat pertanyaan, atau memang mereka sudah memiliki seperangkat jawaban standar untuk menghadapi pertanyaan serupa.

Diskusi dengan beberapa aktivis anti-korupsi sangat menarik. Mereka tidak hanya tekun meneliti kelemahan sistem tetapi juga tak lelah menelaah dan mengkaji pola-pola koruptif yang terus berubah-ubah. Benang merah yang saya bisa tarik terutama menyangkut kelonggaran yang memang tersedia untuk perilaku koruptif, entah itu merupakan sesuatu yang memang sengaja dirancang (by design) atau sekedar cacat rancangan sistem (system flaw). Peluang yang diakibatkan kelonggaran tersebut juga dapat berupa tauladan yang mereka lihat dari kalangan atas di lembaga-lembaga penyelenggara Negara, termasuk mereka yang pernah berkuasa di masa lalu.

Saya menduga keterbatasan peluang juga menjadi faktor penting. Peluang yang saya maksud terkait dengan siklus politik lima tahunan yang melahirkan transaksi jual-beli antara kandidat pejabat Negara, baik legislatif maupun eksekutif, dengan kelompok yang mendukung mereka memenangkan pemilihan. Kelompok pendukung itu tentu saja ada urusan dengan menangnya si kandidat yang diharapkan dapat membantu mereka memaksimalkan keuntungan.

Yang parah, penyiaran orang-orang yang terlibat korupsi secara luas lewat media massa, baik yang masih dalam tahap dugaan maupun yang sudah menjadi tersangka, juga gagal menimbulkan efek jera. Saya banyak dengar dari kawan-kawan di media massa bahwa mereka yang sudah dipenjara, yang umumnya tidak lebih dari lima tahun masa hukuman, masih tetap berjaya secara finansial ketika mereka keluar dari penjara. Coba lihat, bagaimana Gayus mampu menyuap petugas penjara sehingga dia leluasa bisa pesiar ke Bali untuk menonton pertandingan tenis di sana. Luar biasa.

Saya sama sekali tidak punya harapan apa pun terhadap segala upaya untuk memberantas korupsi di negeri ini. Dengan segala hormat terhadap integritas para komisioner di KPK, saya sangat skeptik bahwa korupsi bisa dikurangi secara drastik dan berarti di Indonesia. Realita politik di Indonesia, baik di Jakarta mapun di daerah sangat koruptif. Kebijakan Negara untuk melakukan tindakan pemberantasan korupsi bagi saya masih sekedar sebagai tontonan untuk menghibur khalayak luas. Bahkan kebijakan itu sangat mungkin ditujukan sebagai etalase bagi negara-negara donor, lembaga keuangan internasional serta investor internasional, untuk menunjukkan bahwa Indonesia sudah berusaha keras memberantas korupsi. Mungkin itu juga merupakan salah satu faktor kelonggaran yang menyebabkan beberapa orang tidak kenal lelah terus berusaha menjajaki celah hukum dan sistem untuk melakukan korupsi.

Wong memang nggak kuat kok niatnya…. Siapa takut?”

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: