Monday, October 15, 2012

Oplos, Khaos in the Big Village - Jokowi dan Ahok?

Dimensi Jakarta sangat rumit. Apa yang ditampilkan di ruang publik lewat media massa, resmi maupun koran kuning, masih jauh dari kenyataan yang sesungguhnya sangat kacau (khaos), bengis dengan gincu gemerlap metropolitan. Bagaimana Jokowi dan Ahok, simbol perlawanan terhadap status-quo bekerja memenuhi janji mereka di bawah naungan kenyataan potret gelap kehidupan warga kebanyakan dengan bau anyir darah dan air mata pergulatan warga mempertahankan hidup yang menyengat?

Awicaksono

Harus diakui premanisme[1][2][3] merupakan salah satu tata-pengurusan (governance) yang hadir dan punya peran sangat penting dalam kehidupan Jakarta. Terlepas bahwa itu berjalan di luar jalur hukum (extra-legal) atau bahkan melawan hukum (illegal), selama ini sistem itulah yang melayani dinamika kehidupan warga Jakarta. Pengaturan distribusi sampah domestik dan tempat penampungan sampah (TPA), jasa keamanan lingkungan, perparkiran, pengaturan aliran lalu-lintas di simpang-simpang jalan, lapak-lapak pedagang kaki lima, beragam moda angkutan publik, perjudian, prostitusi, dan bahkan masuk ke ruang keagamaan, terutama menjelang Idul Adha, untuk pengadaan hewan kurban. Semua itu adalah alter-ego dari buruknya pelayanan publik. Bahkan sebagian dari semua layanan itu didukung, meski tidak secara terbuka, oleh aparatus pengurus kota Jakarta. Pada beberapa kasus aparatus pengurus Jakarta bahkan memainkan peran penting.

Premanisme bukan sekedar kriminalitas terorganisir (organized crime), seperti mafioso di Amerika Serikat atau bentuk lain di berbagai negara. Premanisme mestinya dibaca sebagai sebuah tata-kuasa, seperti model organisasi lainnya. Ia punya hierrarkhi. Seperti halnya model organisasi lain, sumber kekuasaan yang menjadikan seseorang pemimpin adalah kekuatan yang melekat pada dirinya, baik berupa kepemilikan material maupun pengaruh, yang dimanifestasikan dalam bentuk bentang ruang kekuasaan atau teritori serta jumlah massa pengikut. Menurut saya premanisme adalah bentuk korupsi dari tata-pengurusan yang resmi dan legal. Tata-pengurusan preman memiliki kejujuran pada ekspresi kekuasaannya. Ia diekspresikan secara langsung (tidak berputar-putar atas nama kelaziman dan norma), terbuka, dan terang-terangan, yang menurut penilaian pihak-pihak yang mengutamakan harmoni, kelaziman, dan norma dianggap tidak pantas, kasar bahkan bengis. Meskipun kenyataannya, praktik-praktik pelaksanaan kekuasaan yang bersifat resmi, meskipun dilakukan secara tertutup dan berputar-putar serta mengkuti adab keteraturan dan ketertiban, bahkan bisa jauh lebih bengis dalam konteks daya-rusak dan dampak kerusakannya.

Jakarta terkenal dengan sebutan the big village. Sebutan tersebut berasal dari sebuah film, Big Village[4], film Indonesia tahun 1969 yang disutradarai oleh Usmar Ismail dan dibintangi oleh Rachmat Hidayat dan Alice Iskak, yang menyajikan sketsa tentang Jakarta yang meski wujud fisiknya kota besar, tapi perilaku orang-orangnya masih dusun. Dalam hal ini dusun bukan dalam konteks tata-produksi dan tata-konsumsi yang justru lebih berdaulat ketimbang model perkotaan yang sangat bergantung kepada ekonomi uang kontan dan konsumsi barang dan jasa industrial, tetapi lebih kepada sindiran ketidakmampuan orang menyesuaikan diri dengan gaya hidup kota. Jeff Dreyfuss[5], peneliti perkotaan, lebih menyorot kepada benturan nilai dan kultur masyarakat yang mencoba mengejar ukuran-ukuran modernitas kehidupan kota. Benturan-benturan yang tak berkesudahan merupakan media yang subur bagi tumbuhnya premanisme dalam pengurusan Jakarta.

Kita sudah mahfum bahwa tata-pengurusan yang tertib dan teratur hanya dirayakan ketika diluncurkan untuk pertama kali, yang kemudian pelan-pelan bergerak ke pinggir, memberi ruang kepada tata-pengurusan a la preman, jika tidak ingin muncul kekacauan yang lebih parah. Kita dapat bercermin kepada langkah-langkah dekonstruksi oleh Gus Dur, yang memang sangat dibutuhkan untuk merontokkan siasat-siasat para elit masa lalu yang bergulat mencari selamat, harus takluk kepada tindakan premanisme di MPR. Inilah yang menjadi kekhawatiran dan keprihatinan saya. Apakah orang baik seperti Jokowi dan Ahok mampu bertahan menghadapi oligopoli premanisme yang harus diakui merupakan tata-kuasa de facto Jakarta, ibukota republik amburadul ini?

Bercermin dari apa yang telah dilalui Jokowi dan Ahok pada Pemilukada DKI, menurut hemat saya satu-satunya cara adalah dengan memelihara api perlawanan terhadap status-quo! Jika perlu api perlawanan itu terus disuburkan lewat berbagai cara kreatif yang sebaiknya tidak konfrontatif, yang dapat diartikulasikan dalam bentuk keterlibatan aktif warga mengawasi jalannya tata-pengurusan kota Jakarta dan saat yang sama juga menyumbang dalam menegakkan ketertiban atas nama kepentingan khalayak luas. Kita tidak perlu lagi memusingkan sosok partai politik atau tokoh-tokoh terkemuka di belakangnya. Saat ini hal-hal seperti itu sudah tidak lagi relevan. Kepercayaan diri kita sebagai warga untuk bekerja bersama-sama merupakan landasan yang paling kuat dibandingkan simbol-simbol resmi kekuasaan dan segala pengaturannya….

Catatan

[1] Sekilas Premanisme di Indonesia. Maklumat Independen: http://tinyurl.com/96qhw4n. Dikunjungi: 15 Oktober 2012, pk 10:11.

[2] Premanisme Masih Diperlukan (?) oleh Arba. Kompasiana: http://tinyurl.com/96o6fg9. Dikunjungi: 15 Oktober 2012, pk 10:11.

[3] Inilah Penyebab Suburnya Premanisme di Indonesia. Republika Online: http://tinyurl.com/9tfsocx. Dikunjungi: 15 Oktober 2012 pk 10:12.

[4] Big Village. Wikipedia. URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Big_Village. Dikunjungi: 15 Oktober 2012, pk. 10:38.

[5] Jakarta: Two Personae "The Big Village" and "Rock City" A city Caught Between Worlds oleh Jeff Dreyfuss. Journal of South Asian Literature, Vol. XXV-No.1. URL: http://www.jstor.org/stable/10.2307/i40039197. Dikunjungi: 15 Oktober 2012, pk 10:36.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Penyebab Kloset Mampet said...

terimakasih atas info nya