Thursday, October 25, 2012

Selamat Jalan Si Keras Kepala …

Saya kehilangan kata-kata. Hanya airmata yang keluar ketika menerima telepon bertubi-tubi. Tak sepatah kata pun mampu keluar dari bibir ketika kabar sedih menyengat telinga. Seorang sahabat, guru, dan tauladan yang keras kepala menjaga keyakinannya, berpulang Senin sore, 23 Oktober. Selamat jalan Hapsoro…

Awicaksono

Pada email terakhirnya, tertanggal 18 Oktober 2012, Hapsoro mengutarakan kebingungannya tentang sebuah survai penggajian (salary survey) yang dilakukan satu lembaga internasional. “Kenapa FWI [Forest Watch Indonesia] ya? Wong FWI kita kembang kempis menggaji staf kita….” Itu ciri khasnya. Begitu jujur dengan ketidakcanggihannya.

Satu email satu hari sebelumnya, Hapsoro menjawab ajakan beberapa kawan untuk melakukan rapat perencanaan lokakarya penulisan di kantor FWI, di daerah Sempur, Bogor, dengan penuh guyon.

Djika didaoelat djahadi toewan roemah ... jaa temtoe sadja saija maoe.
OKE sepokat dengan tanggal dan waktunya (10 pagi - 2 siang).
Salam,
Hapsoro

Ketika kawan lain bertanya apa FWI akan menyediakan makan siang, Hapsoro menjawabnya dengan jenaka,

Makan siyang itoe soedah soewatoe chal jang loemprah boewat FWI.
Djangan koewatir oentoek oeroesan itoe poen. Jang djelas menoenja pasti sederhana sahadja ... tjontonja ikan asin atao djengkol djaja ... hehehe
Salam,
Hapsoro

Hal-hal kecil seperti itulah yang senantiasa membuat diri rindu pada sosok sederhana bertubuh gempal dengan rambut ikal sebahu yang sehari-hari ngontel (bersepeda) dari rumahnya di daerah Tegal Gundil ke kantor FWI di Sempur.

Saya kehilangan kata-kata ketika menerima kabar kepergian Hapsoro menghadap sang pencipta. Saya terguncang. Rencananya kami duduk bersama membahas rencana penyelenggaraan lokakarya penulisan untuk kawan-kawan dari Sumatera di kantornya hari ini. Dari rapat itu kami pun sudah berencana melanjutkan dengan pekerjaan lain, menuntaskan satu rencana FWI yang menurut Hapsoro akan jadi pekerjaan tak terlupakan. “Kembali ke Riau…!” Itu yang ia katakan ketika pertama kali membicarakan gagasan ini di Bandar Lampung, Juni lalu. Sejak Sabtu saya ingin meneleponnya, membicarakan persiapan pertemuan itu. Tetapi terus saya tunda. HIngga saya berencana meneleponnya Senin malam, ketika pekerjaan sudah selesai. Tetapi Hapsoro telah berangkat lebih dulu menghadap Sang Khalik.

Sandra Moniaga, pada pesan kedukaannya di Facebook, mengucapkan kata-kata yang begitu bijak dan sangat menggambarkan sosok Hapsoro yang penuh pengabdian.

masih kaget mendengar kabar berpulangnya hapsoro. nampaknya tugas di dunia sudah dianggap cukup olehNya. selamat jalan ya hapsoro, beristirahatlah dengan tenang. terima kasih untuk kecintaan dan karyamu untuk bumi ini. semoga istri dan anak-anak dikuatkanNya. amin...

Kekeraskepalaan Hapsoro yang begitu melegenda untuk mengabdi pada kehidupan adalah kegiatan memulung sampah di Sungai Ciliwung. Memulung sampah setiap Sabtu, hari yang biasanya digunakan orang menghabiskan waktu bersama keluarga, tekun ia lakukan sejak 2009. Memulung ia lakukan sama religiusnya dengan kegiatan kampanye ketika ia masih pengkampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, yang memimpin satu tim aksi, Pembela Hutan (Forest Defenders), di hutan gambut yang panas menyengat di Riau, tahun 2007. Juga sama religiusnya dengan monitoring perdagangan elang jawa pada pertengahan 90an. Ia begitu meyakini bahwa dengan tauladan yang ngotot masyarakat pasti akan tersentuh, untuk kemudian tergerak.

Terlalu banyak ketauladanan Hapsoro. Ia bukan orang yang suka berkotbah dengan kata-kata. Ia berkotbah dengan laku dan tindakan. Dan itu dilakukannya dengan penuh keyakinan. Baik sebagai ayah dari Galuh, Elang dan Arum, suami tercinta dari Niken, maupun sahabat bagi semua pegiat gerakan lingkungan di Indonesia. Selamat jalan sahabat….

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: