Awicaks
Seekor keledai duduk di kursi roda, keempat kakinya dibalut gips. Kursi rodanya pun sudah tak keruan bentuknya. Bannya bertambal dan velg rodanya miring tak teratur. Rupanya ia jatuh ribuan kali di lubang yang sama. Potret Indonesia?
Undang-undang lebih diarahkan untuk melindungi kepentingan semua hal yang terkait dengan tiga misi "kepentingan nasional": (a) pertumbuhan ekonomi, (b) keutuhan NKRI, dan (c) membayar utang negara. Mentalitas elit birokrasi dan politik berikut kantung-kantung inkubator embryo keduanya memang bertujuan: (a) memperkaya diri, (b) mengamankan keselamatan kelompok/golongan, dan baru (c) menjalankan ketiga misi "kepentingan nasional" di atas. Dimana letak pertimbangan "keselamatan rakyat" pada kedua kerangka tersebut?
Simpul-simpul pikiran di atas memang intuitif. Namun tafsir dan permenungan atas kebijakan-kebijakan negara tak pelak mengarah kepada ketiga "kepentingan nasional" tersebut. Demikian halnya dengan pemaknaan atas data yang digali dari koleksi berita-berita media massa tentang mentalitas dan perilaku elit birokrasi dan politik secara relatif mengarah kepada ketiga tujuan menjadi elit di negeri kepulauan ini.
Kemakmuran rakyat adalah kerangka acuan (terms of reference), bukan alamat yang harus dituju (terms of address). Ia sekedar menjadi alasan untuk berbagai prakarsa negara yang diselenggarakan pengurusnya (elit birokrasi dan politik) yang menjadi instrumen bagi pelaksanaan misi "kepentingan nasional." Tafsir dan pemaknaan kata "kemakmuran" menjadi pondasi argumen untuk memilih menjadi pengikut "aliran kepercayaan kemakmuran dan pertumbuhan." Dapatkah kemakmuran terwujud tanpa dilandasi kerangka pikir dan sikap yang mendahulukan keselamatan?
Apa yang dikorbankan dari struktur dan mentalitas korup penyelenggaraan negara? Keselamatan rakyat! Eufemisme kata "keselamatan rakyat" menjadi "kepentingan publik" dengan mudah dapat ditekuk, dilipat dan direkayasa-ulang sehingga pas dan sesuai dengan segala upaya dan prakarsa menjalankan ketiga misi "kepentingan nasional" dengan kerangka pikir dan sikap elit birokrasi dan politik di atas. Atas nama kepentingan publik dikorbankan keselamatan rakyat. Investasi pengerukan minyak-gas, yang notebene adalah industri beresiko tinggi terhadap keselamatan manusia dan lingkungan, yang dilakukan di kawasan padat penduduk merupakan contoh paling gamblang betapa kebijakan dan tindakan pengurus negara sangat menghina akal sehat rakyat yang hanya mendambakan "keselamatan."
Jika kita mengamati bagaimana rancangan jalan-jalan di perkotaan, pinggir-kota dan perdesaan, terlihat bahwa sarana dan prasarana tersebut memang tidak ditujukan untuk menjamin keselamatan rakyat. Rakyat yang tak berkendaraan (motor maupun mekanikal seperti sepeda) tentu membutuhkan ruang khusus untuk berjalan kaki dengan selamat. Terlepas apakah itu menyangkut rancangan bakunya yang (sengaja) tidak memperhitungkan pentingnya menjamin keselamatan rakyat pejalan kaki, atau mungkin rancangannya ada tetapi ditilep sehingga spesifikasinya untuk ruang pejalan kaki dikurangi, potret tersebut merupakan contoh kecil yang gamblang.
Perlakuan biadab para majikan terhadap buruh-buruh pembantu rumah tangga migran tak pernah ditanggapi secara manusiawi dan serius. Tak ada "rasa kehilangan" atau "rasa marah" pengurus negara ketika media massa marak memberitakan perlakuan biadab tersebut, meski sudah pula ditayangkan foto-foto korban dalam keadaan yang mengenaskan. Respon terhadap krisis yang paling kongkret senantiasa dialirkan melalui jalur-jalur "jalan tikus" yang panjang dan rumit, yang sesungguhnya menggambarkan ketidakpedulian pengurus negara terhadap nasib dan keselamatan mereka yang senantiasa diunggulkan sebagai pahlawan devisa. Bagi pengurus negara yang terpenting adalah sumbangan mereka, bukan sumbangan negara bagi keselamatan mereka.
Busung lapar anak-anak bawah lima tahun (balita) adalah contoh ketidakmampuan rakyat yang terseok-seok bertahan hidup sebagai warga pasar global. Ketidakberdaulatan pengurus negara menghadapi tekanan-tekanan negara-negara dan lembaga-lembaga pemberi utang menyebabkan ketidakbecusan diplomasi ekonomi-politik regional dan global sehingga negeri ini harus patuh tanpa syarat terhadap berbagai kerangka-kerangaka "kerjasama ekonomi dan perdagangan" yang sudah bisa diduga tidak memiliki satu unsur pembentuknya yang bernama "keselamatan rakyat" selain keselamatan atas aliran uang, barang dan jasa. Harga untuk membeli kebutuhan dasar sudah pasti melonjak mengikuti irama titik-titik puntir mematikan, salah satunya bernama BBM (bahan bakar minyak). Busung lapar balita adalah potret ketidakselamatan negeri ini di masa mendatang. Kerusakan permanen otak anak-anak balita penderita busung lapar merupakan hal tak terhindarkan.
Kerangka kebijakan penyelenggaraan negara semata-mata dibuat dan dijalankan untuk mengamankan dan menjamin keselamatan investasi-investasi besar yang konon ujung-ujungnya adalah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Kemakmuran tak akan pernah ada batasnya. Manusia adalah mahluk yang tak kenal puas. Kemakmuran merupakan ruang berpintu banyak, yang cara-baca serta sudut tafsirnya begitu banyak. Tetapi keselamatan tidak membutuhkan target-target yang tak-berbatas. Keselamatan hanya membutuhkan syarat-syarat pemenuhan yang paling minimal. Batas minimal pemenuhan rakyat itulah yang mestinya menjadi kerangka pikir dan tindak kebijakan-kebiakan negara.
Namun syarat minimum keselamatan rakyat yang harus dipenuhi pun ternyata tidak terbebas dari tindakan-tindakan yang justru membuat rakyat tidak selamat. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) seyogyanya dirancang untuk menjamin keselamatan rakyat. Ia adalah syarat minimum pemenuhan keselamatan rakyat, karena membangun rumah sakit membutuhkan biaya sangat besar dan rumit prosesnya. Bukan rahasaia lagi, bahkan proses untuk membangun Puskesmas pun tidak bebas dari jarahan tangan-tangan pengutil. Bisa Anda bayangkan bagaimana spesifikasi minimum sarana tersebut dikorbankan akibat korupsi yang sudah begitu mendarah-daging di negeri ini. Belum lagi begitu ia dioperasikan. Korupsi pengadaan obat-obatan serta alokasi penempatan dan penugasan jasa kerja pelayan kesehatan ujung-ujungnya mengorbankan keselamatan rakyat.
Jangan dulu kita bicara soal kemiskinan, yang justru lebih bermakna di kalangan akademisi, konsultan pembangunan dan para pekerja di lembaga-lembaga donor daripada di kalangan rakyat jelata yang mereka "amati", yang sesungguhnya memiliki pilihan sangat terbatas untuk mempertahankan kehidupannya. Jangan juga langsung bicara soal bencana, yang alokasi anggaran daruratnya (contingency offline budget) jauh jauh di bawah alokasi anggaran untuk pemilihan umum serta pertahanan dan keamanan. Jangan juga terjebak di dalam labirin prosedur hukum dan kebijakan anggaran yang memakan waktu rata-rata tujuh hingga delapan bulan untuk ditetapkan sehingga menyisakan hanya empat hingga lima bulan untuk dibelanjajakan membiayai kegiatan-kegiatan yang seharusnya membutuhkan waktu 10-12 bulan kalender. Terlalu jauh. Mari bicara soal yang sangat sederhana: Masukan secara gamblang kata "keselamatan rakyat" di seluruh produk hukum, peraturan dan perundang-undangan, di plakat-plakat dan konstitusi partai-partai politik serta organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Jangan lupa untuk menjadikan "keselamatan rakyat" nyawa bagi kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Pers pun harus menjadikan "keselamatan rakyat" sebagai salah satu frasa kunci pada tagline-nya.
Hal sederhana untuk menjadikan "keselamatan rakyat" begitu fasih diucapkan oleh rakyat jelata merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Situasi ketidakberdayaan pengurus negara menghadapi raksasa-raksasa investasi harus ditekan menggunakan tagihan rakyat untuk menjamin keselamatan mereka. Korupsi harus dilawan dengan argumen mengorbankan keselamatan rakyat. Ketidakpedulian pejabat publik harus ditegur menggunakan keselamatan rakyat. Kita pun dipaksa untuk senantiasa mendahulukan keselamatan rakyat dalam setiap kegiatan produksi dan sosial kita.
Masihkah terbayang di benak kita seekor keledai dengan keempat kaki berbalut gips duduk di kursi roda yang reyot tadi?
No comments:
Post a Comment