Arief Wicaksono
"Siapa tidak mau kaya?" Hmm, saya yakin tak seorang pun diantara pembaca akan mengacungkan tangannya. "Siapa tidak mau berkuasa?" Hehehehe, meski sebagian mengacungkan tangan, tetapi terlihat keraguan mengambil keputusan tentang perlu tidaknya kekuasaan kita miliki. Karena ada pemeo, politik itu kotor! "Nah sekarang, siapa tidak mau kaya sekaligus berkuasa?" Pada titik ini saya enggan berspekulasi. Saya kira diantara pembaca akan "mempertanyakan" pertanyaan saya itu. Kaya sekaligus berkuasa? Bukankah orang kaya pasti berkuasa? Setidaknya berkuasa atas apa yang mereka miliki. Secara normatif, sanggahan tersebut sangat benar. Tapi jangan lupa, semua yang normatif di Indonesia hanya berlaku di atas kertas atau berlaku pada proyek-proyek percontohan yang dibantu asing (baik bilateral maupun multilateral). Kaya dan berkuasa adalah dua sisi mata uang buat sebagian orang di Indonesia (dan mungkin di negara lain). Jika tidak ia sendiri yang terjun pada arena politik kekuasaan, ia bisa saja "membeli" dan melakukan patgulipat dengan politikus-politikus dan birokrat... Sebuah prolog yang pahit tentang lumpur Lapindo laknat (L3) dan potret dunia usaha di Indonesia.Saya kira saya tidak akan membahas kenapa semburan lumpur panas dari sumur Banjar Panji milik Lapindo Brantas terjadi. Dan saya kira adalah di luar kompetensi saya untuk membahas bagaimana semburan lumpur laknat itu dapat dihentikan. Saya hanya akan memaparkan paradoks-paradoks yang begitu jelas, jernih dan nyata pada kasus L3 yang penting dicermati saudara-saudara pembaca sekalian.
Situasi sekarang sudah bergeser jauh dari pertanyaan dasar kasus L3: "Bagaimana pihak Lapindo Brantas akan bertanggungjawab atas semburan lumpur panas yang menenggelamkan ruang hidup warga di Porong?" Atas nama kebutuhan mendesak pertanyaan tersebut "dibuat" tidak relevan. Karena pertanyaannya sekarang adalah, "Bagaimana menyalurkan lumpur panas yang terus disemburkan dari perut bumi di wilayah Porong itu?" Pertanyaan kunci ini pun muncul setelah 120 hari dari mulai terjadinya ledakan dan semburan pertama. Tanpa berniat berpikir negatif, akal sehat saya bertanya, "Apa yang telah dicoba dilakukan oleh pihak Lapindo Brantas (dan pengurus negara sebagai mitra usahanya, menurut Undang-undang Minyak dan Gas yang baru) selama 120 hari hingga pertanyaan dasar berikut pertanyaan-pertanyaan turunannya jadi tidak berlaku lagi?" Pertanyaan-pertanyaan yang begitu ramai dilontarkan sangat menghina akal sehat. Beberapa diantaranya:
- Pilih mana, memperluas "kolam" untuk memperbesar daya tampung lumpur panas atau membuangnya ke laut?
- Pilih mana, mengorbankan keselamatan rakyat atau keselamatan ikan dan biota laut?
- Pilih mana, menuntut hukum Lapindo Brantas (berikut para penguasa modal di belakangnya) atau menuntut mereka bertanggungjawab menangani krisis L3?
- Pilih mana, negara mengambil-alih tanggungjawab Lapindo Brantas untuk mengatasi L3 atau membebankan semua tanggungjawab penanganan L3 di atas pundak Lapindo Brantas?
Rakyat senantiasa menjadi penghias halaman pembenar (justifikasi) kebijakan negara alias terms of reference atau kerangka acuan belaka. Rakyat tidak pernah menjadi alamat yang dituju (terms of address) dari seluruh kebijakan di Indonesia ini. Karena seluruh cerita tentang pengurusan dan penyelenggaraan negara di Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yang entah atas nama apa dan demi kepentingan siapa. Karena kenyataannya pertumbuhan ekonomi yang dikejar justru menjerat rakyat kebanyakan untuk pontang-panting mengubah tata-konsumsi dan tata-produksinya agar "mampu mengikuti" irama dan gaya hidup global yang sangat boros dan mahal.
Kasus L3 adalah potret persekutuan antara politik kekuasaan dan kuasa modal yang hanya melibatkan dan dinikmati segelintir orang saja atas biaya keselamatan rakyat banyak. Ini pun luput dibongkar media massa secara terbuka. Konflik kepentingan (conflict of interest) seorang pejabat publik yang sekaligus salah seorang tokoh terkaya di Indonesia, Aburizal Bakrie atau Ichal (atau mungkin lebih tepat Chakil ya?) masih malu-malu diungkapkan oleh pers dan media massa. Apakah sang Chakil saat ini gelisah dengan situasi yang ada? Tentu saja ia gelisah. Tetapi mungkin bukan gelisah karena telah menyengsarakan rakyat di desa-desa di wilayah Porong, tetapi gelisah terhadap masa depan kerajaan bisnisnya. Ini yang secara malu-malu diungkapkan lewat laporan Majalah Tempo terbaru.
Jangan Anda heran bahwa politikus Golkar di DPR mulai kasak-kusuk agar negara mengambil-alih penanganan L3.Orang-orang yang mengaku sebagai tokoh Jawa Timur berbondong-bondong mendatangi Wakil Presiden, H. M. Jusuf Kalla, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Golkar, karena orang-orang tersebut ternyata mewakili Golkar. Tuntutan mereka jelas dan jernih: Beban biaya penanganan L3 akan berada di pundak negara, karena sang Chakil sanggup membiayai sekitar Rp 1,5 trilyun (saja). Itu artinya pajak yang saya bayar dan juga Anda bayar yang akan menjadi sumber pembiayaan penanganan L3 ini. "Jer basuki(ku) mawa bea(mu)," begitu plesetan kecil dari slogan yang kerap dilontarkan. Yang artinya, kesejahteraan(ku) atas biaya(mu).
Lalu, apa pulak yang terjadi di balik penghinaan akal sehat lainnya, pembelian Energi Mega Persada (EMP) oleh Lyte Ltd (yang ternyata dimiliki oleh keluarga Bakrie) seharga dua (baca: DUA) bungkus nasi padang? Operasi tambah-kurangnya sangat sederhana. Bank-bank (kecuali mungkin bank yang dimiliki oleh keluarga Bakrie) sudah tidak mau memberikan penjaminan kredit untuk EMP karena proyek lainnya, seperti yang ada di Kangean, mulai terbatuk-batuk. Itu sebabnya dua perusahaan di bawah EMP sesegera mungkin dialihkan kepemilikannya. Yang mengherankan, kenapa saham Bakrie Brothers belum anjlok di pasaran? Apakah karena semua sudah mahfum bahwa di ujung hari negara juga yang akan mengambil-alih beban Bakrie menangani L3? Terlepas dari bacaan bisnis di atas, penting pula membaca manfaat lain yang bersifat politis. Nama harum sang Chakil, politikus sekaligus konglomerat, karena berani maju bertanggungjawab atas penanganan L3, meski dengan situasi kantung cekak.
Seorang kawan dekat yang sekarang menetap dan bekerja di Amerika Serikat pernah berkomentar tajam, "Yang disebut usahawan di Indonesia adalah orang-orang pengecut dan manja, yang pingin cepat kaya atau mempertahankan kekayaan yang dimilikinya tanpa keringat, tapi justru memeras darah, airmata dan keringat orang-orang yang tak berdaya...." Kemudian ia menambahkan, "Dan yang disebut politikus di Indonesia adalah orang-orang yang memilih jalan bebas hambatan untuk meraih kekuasaan dan kekayaan..." Lebih jauh, kawan itu juga mengatakan, "Jadi tidak perlu susah-susah jadi pahlawan untuk berantas korupsi, karena simbiosa antara orang kaya manja dan rakus privillege (hak istimewa) dengan priyayi-priyayi yang lebih sibuk berdandan sudah sedemikian mengguritanya... Percuma...."
Apa yang saya peroleh dari pendapat kawan itu adalah, kebobrokan birokrasi, joroknya praktik politik, dan atmosfer dunia usaha Indonesia adalah satu kesatuan utuh. Kalau mau ditarik lebih ke belakang, terlihat nyata mentalitas maling yang sudah ditumbuhsuburkan sejak proses belajar orang Indonesia pada garda paling dasar Keluarga. Bagi orang Indonesia yang namanya "jadi orang" artinya punya kedudukan (sosial) dan kekayaan. Sehingga makna proses jadi tidak penting lagi. Semua berorientasi kepada tujuan, apa pun caranya, at all costs. Parahnya lagi, struktur dari sistem pendidikan nasional dibuat sedemikian rupa sehingga apa yang dipelajari di persekolahan, dari (bahkan) Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi tidak ada urusannya dengan situasi dunia nyata. Karena persekolahan di Indonesia lebih dari 90% prosesnya tak lebih dari sekedar pemenuhan syarat-syarat administrasi belaka Nilai rapor, naik kelas, absen, SPP, uang gedung, sekolah favorit (yang tarifnya pasti mahal sesuai, kabarnya, mutu keluarannya), hingga skripsi pun terang-terangan diartikulasikan sebagai syarat pemenuhan kelulusan kesarjanaan... Orang Indonesia baru belajar dengan sesungguhnya justru setelah ia keluar dari persekolahan, masuk ke kehidupan nyata. Belajar sambil bekerja. Belajar ngutil. Belajar korupsi. Belajar nyatut, dan sebagainya.
Kejadian Lapindo Brantas adalah potret kecil yang sangat mewakili dari sebuah gambaran besar bangsa yang namanya memiliki sinonim korupsi Indonesia. Saya cenderung melihat semburan lumpur panas sebagai tercapainya titik jenuh alam pulau Jawa terhadap ketamakan orang-orang yang tak pernah ambil pusing terhadap semakin terbatasnya ketersediaan dan kemampuan pulau ini untuk terus dikeruk. Sama halnya dengan kejadian banjir dan longsor di berbagai pelosok pulau Jawa, yang menurut penyelidikan bersumber dari gundulnya hutan di kawasan-kawasan tangkapan air (catchment areas) serta penurunan fungsi daerah aliran sungai akibat gempuran kebutuhan orang di Jawa terhadap tanah dan lahan baik untuk keperluan bermukim maupun produksi.
Negara yang semestinya merupakan suatu tata-kelola, yang bercirikan keteraturan, tak dapat kita lihat pada Republik Indonesia ini. Seperti halnya dengan semua yang bersifat normatif, segala hal yang menyangkut keteraturan dan ketertiban di Indonesia hanya dapat dibaca pada lembaran-lembaran negara berjudul undang-undang, keputusan-keputusan dan sebagainya. Semua keteraturan dan ketertiban hanya dapat dilihat pada proyek-proyek percontohan yang dibiayai oleh sumber-sumber asing, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Di luar keduanya adalah rimba belantara birokrasi dengan hukum rimbanya sendiri, yang sarat patgulipat dan koruptif. Dan kejadian L3 adalah anak kandung dari rimba belantara birokrasi tersebut. Belum diperhitungkan rimba belantara yang tak kalah menyeramkannya: Dunia bisnis energi! Bisnis yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang menurut Pasal 33 UUD 45, "...dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Jadi, "Siapa yang tertarik menjadi kaya dan berkuasa lewat jalan bebas hambatan?"
Bogor, 3 Oktober 2006
No comments:
Post a Comment