Wednesday, October 18, 2006

Saya Tidak Ikhlas Anak Saya Dididik Indonesia!

awicaks

Beberapa kali anak sulung saya mengalami kesulitan menyelesaikan soal-soal matematika dari kumpulan bahan Ujian Akhir Nasional (UAN). Saya pun ikut repot mencoba memahami soal-soal itu. Yang jadi masalah buat anak sulung saya adalah tentang pohon faktor. Satu cara memecahkan operasi pembagian yang tak bulat, yang menurut saya terlalu rumit dan membingungkan. Saya coba tanya ke beberapa orangtua lain yang memiliki anak-anak kelas enam, apakah mereka menghadapi masalah yang sama. Luar biasa! Bukan hanya tentang masalah soal matematika yang saya temukan. Dari, katakan, 10 orang yang saya tanya, hanya dua dari mereka yang memang mengikuti perkembangan anak-anaknya di sekolah. Delapan dari mereka lebih pusing tentang ekstrakurikuler, tentang kursus ini kursus itu, serta prospek untuk pindah ke sekolah lain yang lebih bergengsi!

Pada salah seorang dari kedelapan orangtua, saya sempat menumpahkan kekesalan saya.

"Pak, saya tidak akan pernah kagum apakah anak Anda itu ikut kursus vokalnya siapa kek, atau akan ikut try-out di sekolah internasional lain. Saya hanya ingin tahu, apakah anak Anda menghadapi hambatan dalam belajar matematika, terutama untuk persiapan menghadapi UAN?"

Apa yang terjadi? Si bapak keren dan wangi itu justru berkisah tentang asistennya yang tengah mencari guru yang bisa melatih anaknya lolos UAN. "Yah, semacam Bimbingan Tes semasa kita dulu SMA bersiap menghadapi ujian masuk perguruan tinggi lah...."

Maksud hati menyelidiki tentang hambatan anak saya mengerjakan soal-soal matematika UAN, malahan memperoleh gambar horror bagaimana orangtua muda memandang pendidikan anak mereka. Sebenarnya bukan hanya mengenai matematika. Kegelisahan saya tentang kurikulum pendidikan dasar sudah dimulai sejak pertama kali anak sulung saya memasuki sekolah dasar (SD). Meskipun SD dimana anak sulung saya bersekolah dapat dikatakan sekolah yang cukup progresif, pengurus sekolah tetap tak dapat menghindar dari semua ketentuan administratif Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Beberapa guru senior bahkan pernah mengungkapkan kepada saya bahwa sekolah anak saya itu digolongkan sebagai sekolah pemberontak.

"Sekolah kita masuk black list sekolah pembangkang oleh Depdiknas," ujar guru kelas anak sulung saya, waktu berkonsultasi tentang kemajuan belajar anak. Ya, saya mengikuti bagaimana sekolah anak saya itu menggalang suara dengan sekolah swasta lain untuk menolak kebijakan Depdiknas tentang penyelenggaraan UAN.

"Masalahnya adalah, begitu kebijakan UAN digulirkan ke publik, ia sudah jadi proyek yang siap dijalankan. Jadi tidak akan pernah bisa ditunda apalagi digagalkan. Karena uangnya sudah siap dibelanjakan...." Seorang guru sebuah SD negeri di bilangan Serpong membuat saya terkejut dengan pendapatnya.

Masalah pendidikan di Indonesia sungguh bukan semata-mata menyangkut pendidikan itu sendiri. Ia terkait dengan segala perubahan yang merombak tatanan dan bentang sosial-politik negeri kepulauan ini.

Bergesernya cara orangtua memaknai sekolah, dari lembaga tempat belajar menjadi komoditi gengsi itu baru satu soal. Belum lagi korupsi di tubuh Depdiknas, yang kabarnya nomor wahid di negeri ini bersama-sama dengan Departemen Agama dan Departemen Kesehatan. Plus paradigma penyelenggaraan kebijakan pendidikan yang lebih menekankan keluaran berupa tenaga terampil nan patuh majikan....

Sungguh saya tidak ikhlas mengirim anak saya ke pendidikan di Indonesia. Tapi, apa boleh buat, sekarang ini saya tak berdaya. Tak memiliki kemampuan untuk memberikan yang terbaik bagi kedua anak saya....

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: