Negara-negara Tak-berkelanjutan di Abad 21
Kalangan akademik yang mempromosikan teori kemakmuran bangsa beserta para teknokrat yang mengkhususkan diri pada perumusan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan standar hidup seharusnya berani mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan fatal dalam merancang model-model pembangunan ekonomik. Kenyataannya kalangan tersebut justru tak pernah meragukan sedikit pun mukjizat pembangunan sebagai obat ajaib yang mampu mendongkrak taraf hidup kawasan-kawasan berdaulat miskin yang memiliki kelimpahan kekayaan alam serta melimpah jumlah penduduk miskinnya. Bagi mereka gagasan mendasar pembangunan sebagai hal secara mutlak tak perlu dipertanyakan, dikritis apalagi dipikirkan-ulang.
Pembangunan ekonomik merupakan satu mitos akbar abad 21. Berakar pada "evolusi" gagasan pemajuan peradaban Barat, konsep ini secara konstan dicekoki oleh optimisme epistomogik terhadap keyakinan bahwa semua hambatan terhadap pemajuan materi dapat dipecahkan oleh ilmu ekonomi.
Kalangan ekonom, teknokrat dan politikus begitu percaya bahwa yang dibutuhkan hanyalah mengaplikasikan (baca: mencangkokkan) teori yang tepat dan model ekonomi yang sesuai pada negara-negara miskin untuk mulai menciptakan kemakmuran bangsanya serta kemudian menjadi masyarakat dengan taraf hidup yang tinggi, seperti yang telah dinikmati oleh 24 negara industrial kapitalistik. Merujuk kepada resep tersebut, lebih dari 100 negara telah mencoba menerapkan (baca: mencangkokkan) teori-teori dan berbagai model sepanjang lebih dari separuh abad, tetapi apa yang disebut dengan cita-cita pembangunan sosoknya semakin hari semakin imajiner, seperti halnya petualangan obsesif tanpa akhir untuk menemukan El Dorado.
Sepanjang kurun 40 tahun terakhir pembangunan nasional telah diujicobakan di banyak tempat. Pada kurun tahun 70an disimpulkan bahwa Brazil akan mampu melenyapkan kemiskinan dan segera bergabung dalam lingkar negara-negara adikuasa di masa depan. Hal sama disimpulkan pula untuk India, Mexico serta beberapa negara yang "terus bertumbuh" di Asia. Sebagai kelanjutan dari serangkaian krisis keuangan yang dialami oleh "negara-negara bertumbuh" tersebut, hanya China, dengan populasi 1,2 milyar jiwa, yang mampu bertahan, tetapi dengan menanggung beban masalah-masalah ekologik serius. Pada akhirnya hanya sekitar 300 juta jiwa penduduk China yang mampu memiliki pendapatan agar dapat menjadi pelanggan dari barang dan jasa dari rantai ekonomi global.
Kenyataannya, di ambang abad 21 terdapat lebih dari 100 negara yang belum juga mampu mewujudkan mimpi pembangunan nasionalnya, dan hanya tiga negara industrial baru atau Newly Industrialized Countries (NICs yang mampu lulus: Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Dua dari ketiga NICs adalah negara-kota, yang total jumlah penduduknya keduanya kurang dari 2% populasi negara-negara "berkembang.".
NICs tersebut adalah satu-satunya kasus tentang kemampuan negara di luar sumbu utama yang berhasil meraih kuasa industrial, meskipun mereka tak lepas dari dampak serta imbas krisis keuangan tahun 1997. Hal tersebut dapat dimakna bahwa mereka berhasil mengubah masyarakatnya bergeser dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industrial, dengan kemajuan di sektor jasa, menuntaskan kemiskinan secara luas, meningkatkan taraf hidup warga, serta menciptakan mayoritas kelas menengah. Terlepas dari keberhasilan tersebut NICs tersebut tetap tidak bisa menikmati pendapatan serta perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan atmosfer politik yang lebih demokratik, seperti yang dinikmati oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Eropa.
Terpisah dari pengecualian di atas, mayoritas terbesar dari negara-negara (yang secara keliru disebut) berkembang sama sekali tidak mampu menggulirkan, bahkan, proses pembangunan itu sendiri. Alat produksi mereka tak pernah mengalami pemajuan, sehingga negara-negara tersebut semata-mata bergantung kepada pengerukan bahan-bahan mentah dengan asupan teknologi yang sangat rendah. Sekitar 4,8 milyar jiwa penduduk negara-negara miskin tersebut berjarak sangat jauh untuk dapat bergabung ke dalam kelas menengah dunia. Hampir 1,3 milyar jiwa orang hidup hanya dengan belanja 1 US$ per hari, serta tak mampu membeli makanan yang cukup. Sementara 3 milyar jiwa lainnya hidup dengan 2 US$ per hari tanpa mampu memenuhi kebutuhan dasar di bidang kesehatan, pendidikan serta perumahan. Di lebih dari 100 negara, pendapatan per kepala negara tersebut tak pernah mengalami kenaikan atau bahkan penurunan dibandingkan duapuluh tahun lalu.
(selesai bagian tiga)
Sunday, October 22, 2006
Oswaldo de Rivero: Pergulatan dan Permenungan Seorang Bekas Diplomat (tiga)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment