Darwinisme Global dan Ekonomi Nasional Tak-berkelanjutan
Revoluasi teknologi kontemporer yang dikendalikan oleh kompetisi global, memicu suatu proses seleksi alam, menyingkirkan jutaan orang yang tak memiliki kecakapan dan mengeruk jutaan ton bahan mentah, dimana pada saat yang sama terjadi ledakan jumlah penduduk di negara-negara miskin. Sebagai tambahan, proses penapisan atau seleksi ditentukan oleh pasar dan teknologi. Penapisan tersebut mulai menunjukkan karakter bengisnya, ketika mekanisme diberlakukan lewat penetapan harga bahan mentah yang terus menurun, industri manufaktur dengan asupan teknologi yang rendah dan mengandalkan buruh yang jumlahnya melimpah juga dengan harga yang murah. Proses penapisan tersebut sesungguhnya baru menggambarkan langkah pertama dari proses industrialisasi negara-negara miskin di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Pada akhir abad ini, jumlah bahan mentah per satuan produksi hanyalah dua-perlima dari apa yang digaunakan pada tahun 1930an. Empat puluh tahun yang lalu satu dari empat orang yang bekerja adalah buruh. Sekarang perbandingannya menjadi satu banding tujuh. Selama proses tersebut, jumlah penduduk perkotaan di negara-negara miskin bertumbuh drastik, dan diramalkan akan mencapai dua kali lipat saat ini pada tahun 2020. Pada awal abad berikutnya dibutuhkan satu milyar pekerjaan. Namun hal itu sangat muskil dari persepektif revoluasi teknologi, yang semakin sedikit membutuhkan tenaga tak cakap. Saat ini revoluasi teknologi tengah bertumbukan dengan ledakan jumlah penduduk dunia.
Liberalisasi secara cepat dan tak kenal ampun diberlakukan di negara-negara miksin, sejalan dengan kebijakan World Bank (WB) dan Lembaga Moneter Internasional (IMF) justru memperkeruh situasi. Kedua lembaga transnasional itu berhasil mengaitkan negara-negara miskin dengan ekonomi global, yang berakibat pada peningkatan drastik pengerukan bahan mentah yang sebelumnya merupakan keunggulan komparatif negara-negara selatan tersebut di pasar dunia. Sehingga negara-negara miskin akan terus mengeruk bahan mentah semaksimal mungkin karena harganya yang rendah di pasar dunia, sekedar untuk mempertahankan pendapatan yang sudah ada. Karena bahan mentah tersebut adalah subyek ekspor terhadap tingkat permintaan yang rendah, akibatnya ia hanya menjadi alat-tukar bagi gelombang investasi dari casino keuangan global, yang tidak dirancang untuk memodernkan produksi. Model ekonomi tak-berkelanjutan seperti itulah yang oleh para ahli pembangunan disebut sebagai "berkembang dan bertumbuh."
Kenyataannya, kebijakan-kebijakan WB dan IMF, selain berbiaya sosial tinggi, tidak membuat segala sesuatunya terbangun dan tumbuh, melainkan hanya melayani pola eksportasi komoditas tertentu yang terkonsolidasi, yang sesungguhnya merupakan bagian pasar yang paling tidak kompetitif pada ekonomi global saat ini. Negara-negara miskin tersebut dipaksa untuk mengekspor bahan-bahan mentah menggunakan metoda keruk dengan asupan teknologi yang rendah, upah buruh rendah, dan pada saat yang sama diwajibkan mengimpor barang dan jasa industrial yang dihasilkan dari proses berteknologi tinggi dengan harga yang terus melonjak. Yang terjadi kemudian adalah proses terperangkapnya negara-negara kaya sumber alam tetapi berpenduduk miskin ke dalam skema-skema utang. Konsekuensinya, sebagian besar negara-negara selatan hanya sedikit yang berhasil menjadi negara industrial baru atau Newly Industrialized Countries (NICs), sisanya menjadi negara dengan ekonomi yang tak-berkelanjutan NVNEs (Non-Viable National Economies).
(selesai bagian dua)
Sunday, October 22, 2006
Oswaldo de Rivero: Pergulatan dan Permenungan Seorang Bekas Diplomat (dua)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment