Awicaks
Entah, apakah ada teori tentang tolok-ukur kemampuan suatu bangsa? Atau, dapatkah kita patuh dan tunduk pada Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP? Namun saya tak ingin terlalu jauh mengurusinya. Yang ingin saya permasalahkan di sini adalah soal suasana-batin, cara-baca dan cara-pikir orang-orang bertitel berderet-deret yang berada di belakang penyusunan undang-undang pendidikan nasional, serta orang-orang yang memiliki kuasa untuk menentukan hijau birunya kebijakan pendidikan di sekujur negeri pulau-pulau ini. Pusat perhatian saya lebih kepada pendidikan di Indonesia terutama dikaitkan dengan tolok-ukur kemajuan yang begitu pontang-panting dirancang untuk "mengejar ketertinggalan" dari bangsa lain.
Satu soal tersendiri menyangkut "mengejar ketertinggalan" dari bangsa lain. Imaji apa sesungguhnya yang ada di kepala orang-orang yang saya sebutkan di atas ketika menggunakan konteks itu? Bangsa lain itu apa dan siapa? Menjadi jelas ketika urusan wawasan dan standar internasional dikaitkan dengan kemampuan manusia-manusia didik menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menggunakan bahasa Inggris. Dan ini pun soal tersendiri, apa gerangan yang dibayangkan oleh orang-orang yang telah saya sebutkan di atas tentang ilmu pengetahuan dan teknologi? Robot-robot, mesin-mesin pabrik, komputer dengan segala pernak-perniknya, roket ke luar angkasa dan satelitnya, nuklir? Bagaimana dengan ilmu-ilmu sosial, humaniora, kebudayaan, hidupan sekitar (lingkungan hidup), kekayaan alam? Tidak dibutuhkan kecerdasan khusus untuk menduga imaji orang-orang itu. Orang, tanah dan kekayaan alam ditempatkan sekedar sebagai obyek. Bangsa Indonesia harus menguasai teknik-teknik canggih bagaimana mengeruk dan menghisap (atau bahasa samarannya: mendayagunakan) obyek (bahasa samaran: sumberdaya dan asset bangsa) tersebut.
Anda pun tak perlu heran ketika orang-orang itu dengan cara-pikir cupet dan dangkal menetapkan manusia-manusia didik Indonesia agar menguasai teknik-teknik keruk dan teknik-teknik hisap dalam bahasa aslinya, bahasa dimana teknik-teknik itu diciptakan dan dipropagasikan: Bahasa Inggris. Tolok-ukur paling mudah dan goblok-goblokan dalam hal ini adalah daya serap perguruan-perguruan tinggi di negara-negara benua Eropa dan Amerika Utara (juga Jepang dan Australia) terhadap manusia-manusia didik Indonesia. Alih-alih mendorong agar perguruan tinggi di dalam negeri berdiri tegak sejajar dengan perguruan-perguruan tinggi rujukan di negara lain, orang-orang bertitel dan berkuasa dalam pengurusan pendidikan di Indonesia justru memilih penyerahan kedaulatan secara penuh kepada nilai dan tolok-ukur baku bangsa lain, yang proses kreatif penyusunannya tentu saja merujuk kepada konteks dan latar setempat, serta semangat penaklukan ruang-ruang baru di planet bumi. Saya ragu apakah orang-orang bertitel dan berkuasa itu memahami latarbelakang perumusan nilai dan tolok-ukur pendidikan bangsa lain. Dugaan kuat saya, daya pikir mereka terbatas kepada produksi manusia-manusia Indonesia yang memiliki kemampuan mengoperasikan teknik-teknik keruk dan hisap, agar negeri ini mampu memenuhi tingkat permintaan pasar dunia (baca: Negara-negara boros enerji) atas bahan-bahan mentah yang bersumber dari kerak bumi dan kekayaan alam hayati.
Negeri pulau-pulau yang memiliki keragaman sangat tinggi dalam hal budaya, kekayaan alam hayati, kekayaan alam bebatuan dan mineral, serta kekayaan sumber-sumber enerji ini memang tidak pernah lepas dari incaran kuasa-kuasa modal raksasa yang berasal dari negeri-negeri penakluk sepanjang lebih dari lima abad. Sebagai peminat sejarah Nusantara yang sangat kecewa dengan bahan-bahan bacaan yang tersedia dalam bahasa Indonesia, saya seringkali merenung tentang absennya cara-baca kritis menyangkut perjalanan bangsa ini. Hikmah yang senantiasa disodorkan kepada manusia-manusia didik sejak usia dini tak lebih dari semangat militeristik bagaimana bagnsa ini mengusir "penjajah." Maka keris, bambu runcing, rencong, mandau, celurit dan beragam senjata khas wilayah-wilayah Nusantara pun dijadikan simbol (maskulin) kemampuan menghentikan senjata-senjata berteknologi tinggi. Dan "penjajahan" pun berhasil ditelikung, dikerangkeng dan dikemas sebatas penaklukan wilayah fisik negara menggunakan pendekatan militeristik. Bagaimana halnya dengan ekonomi dan politik, juga penyusupan dan penaklukan budaya? Kekritisan terhadap hal yang saya sebut terakhir justru lahir dan tumbuh subur di jalanan, dan hingga kini tidak pernah diakui secara resmi sebagai hikmah yang dituturkan bahan-bahan bacaan sejarah perjalanan bangsa ini.
Oleh karena itu, tidak perlu heran apabila manusia-manusia Indonesia memang tidak akan pernah belajar dari kesalahan di masa lalu. Simbol-simbol maskulin dirasakan sudah cukup sebagai alas penumbuh rasa kebangsaan atau imaji tentang keindonesiaan. Karena bagi orang-orang bertitel dan berkuasa dalam pengurusan pendidikan di negeri ini, rasa dan imaji tersebut tak lebih dari syarat cukup bagi suatu bangsa dalam pergaulan dunia secara umum. Karena syarat butuh yang lebih penting adalah karakter ramah-tamah dan berorientasi melayani agar negeri ini bisa diterimma dalam pergaulan politik dan ekonomi dunia. Maka saat tanggal 20 Mei terlewati, dengan banjir makalah di koran-koran utama tentang keindonesiaan, dan tentang kebangkitan semu, yang terlintas di kepala saya justru kebangkitan nasion itu memang sungguh terjadi di negeri ini. Kebangkitan nasion jongos, yang pontang-panting mengejar bangsa lain yang tak pernah berhenti mencari standar-standar baru kualitas hidup terbaik mereka. "Better late than never-laah...." Ketika dengan bangga para pejabat negeri dan politikus meresmikan satu kemajuan negeri yang sebenarnya sudah ketinggalan jaman.
Jakarta, 22 Mei 2007
Wednesday, May 23, 2007
Kebangkitan Nasion Jongos - Better Late Than Never
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment