Monday, May 21, 2007

Pembunuhan Munir - Potret Bangsa Pengecut

Awicaks

Pembunuhan Munir, atau mungkin juga termasuk kematian-kematian misterius Agus Wirahadikusumah, Baharuddin Lopa dan entah ada berapa lagi tokoh-tokoh pelawan arus lain, merupakan potret kongkret Indonesia sebagai bangsa pengecut. Potret Indonesia sebagai bangsa yang lebih suka mengandalkan otot, dengkul dan semua perkakas kekerasan daripada akal sehat dan nurani. Dan itu dipertontonkan di depan publik sementara terdengar para politikus, pengurus Negara tak henti-hentinya berkata, "Kita ini bangsa Timur yang lebih mengedepankan adab dan kesopanan."

Mengapa harus membunuh tokoh-tokoh pelawan itu?

Pertama, karena memang hakekatnya orang-orang yang memerintahkan dan menjalankan perintah itu tidak memiliki kemampuan berpikir nalar. Akal sehat absen dari sel-sel kelabu di dalam batok kepala orang-orang itu. Jangan dulu bicara tentang nurani. Fokus dulu kepada kemampuan berpikir. Dan fenomena tersebut kongkret, tersebar dimana-mana, dari elit di lapis kuasa teratas yang wangi, gagah, rapih serta lezat, hingga elit di lapis-lapis comberan di pojok-pojok terminal, pasar dan simpangan jalan raya. Di tingkat pemberi perintah, kemampuan berpikirnya jauh lebih dangkal dibandingkan mereka yang melaksanakan perintah. Perbedaan mendasar diantara keduanya, mereka yang duduk di lapis atas memiliki uang dan kedudukan kekuasaan yang dilindungi peraturan dan perundang-undangan.

Jika mereka memang memiliki kemampuan nalar yang lumayan, tentu mereka tidak takut untuk memilih debat terbuka dengan para tokoh pelawan yang nyawanya mereka habisi itu. Namun, sebelum arena perdebatan terpikirkan, orang-orang pemberi perintah sudah takut kalah. Dan jika mereka kalah, harganya adalah kedudukan dan sekaligus citra baik di hadapan warga. Dan di sini faktor absennya kemampuan berpikir berkombinasi dengan faktor kedua di bawah ini.

Kedua, karena mereka itu hakekatnya adalah orang-orang pengecut, bernyali cacing dan lebih mementingkan citra baik di hadapan khalayak. Tidak ada sejarah di negeri ini dimana seorang pemimpin secara ksatria maju ke hadapan khalayak dan mengaku salah atas suatu kesalahan pengurusan Negara yang menyebabkan penderitaan warga. Tanpa malu-malu orang-orang di lapis atas akan "mengorbankan" para bawahannya. Iming-iming uang dan keselamatan keluarga untuk pengorbanan orang-orang di lapis jongos lebih tepat dilihat sebagai tekanan berbasis kekuasaan. Siapa yang dapat menjamin bahwa keluarga orang-orang yang dikorbankan tersebut memang mendapatkan iming-iming tersebut? Siapa pula yang dapat menjamin bahwa orang-orang yang dikorbankan itu nantinya akan dikorbankan lagi nyawa mereka agar tutup mulut selama-lamanya? Tidak seorang pun bisa. Karena mentalitas pengecut begitu merasuk begitu dalam. Karena citra baik di hadapan publik adalah komoditas paling mahal yang harus dipertahankan apa pun biayanya.

Yang mengherankan, orang-orang itu pun mestinya tahu bahwa keluarga mereka pasti mahfum kebusukan-kebusukan yang menjadi sumber penopang kehidupan mewah serba terlindungi yang mereka nikmati turun temurun. Mengapa masih harus berusah payah menjaga citra baik, karena di era yang serba tanpa batas sekarang ini cucu-cucu mereka pun bisa mengakses internet dan membaca bagaimana pendapat khalayak luas tentang keluarga mereka? Pada situasi ini, muncul karakter ketiga, yakni kemampuan luarbiasa menikmati kepalsuan.

Meskipun karakter ini terkait dengan kebutuhan yang tinggi terhadap citra baik di hadapan khalayak, namun menurut saya ia adalah karakter yang mesti dikuliti secara terpisah. Orang-orang yang begitu ketagihan terhadap situasi serba palsu (delusion). Orang-orang seperti ini lebih menyukai lari dari masalah daripada menghadapinya. Mereka begitu menikmati keyakinan tentang kenyataan yang sesungguhnya hanya ilusi, yang dibangun oleh mereka sendiri dan memaksa semua orang untuk meyakini gambaran tersebut.

Mohon maaf kepada para pembela hak-hak asasi manusia, juga Suciwati, istri Munir, bahwa pembunuh Munir tidak akan pernah bisa ditangkap. Pembunuhan itu sendiri tidak akan pernah dapat diungkapkan kepada khalayak luas secara tuntas dan benar. Karena yang kalian hadapi adalah segerombolan orang-orang pengecut yang begitu menikmati ilusi tentang citra baik mereka. Baik mereka yang terlibat langsung maupun mereka yang begitu ketakutan terhadap tindakan-tindakan pembalasan oleh sesama anggota persekutuan pengecut tersebut. Upaya untuk melibatkan kalangan internasional bisajadi ampuh. Namun Anda berhadapan dengan satu komoditas paradigma politik-ekonomik neo-klasik yang bernama harmoni. Harmoni sebagai komoditas transaksi-transaksi kuasa ekonomik dan politik begitu kuatnya. Jika pun akan ada pengungkapan, ia tak akan bisa selugas yang diharapkan. Ia akan melalui serangkaian proses penapisan yang begitu rumit, yang hakekatnya hanyalah soal kalkulasi nilai citra....

Jakarta, 21 Mei 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: