Awicaks
Secara terserak di berbagai dokumen lembaga-lembaga keuangan multinasional serta badan-badan bilateral pembangunan internasional, kita bisa temukan sedikitnya ada tujuh syarat yang diminta kuasa modal asing untuk menanamkan uang mereka di negeri ini. Ketujuh syarat tersebut yang sekarang sudah diangkat menjadi anak (adopsi) oleh elit kuasa negeri Indonesia, dan didudukkan sebagai misi-misi kebijakan pembangunan. Ketujuh syarat tersebut tidak hanya diadopsi oleh elit kuasa dan struktur kuasa saja, tetapi begitu rapih diasuh oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil lewat kanal-kanal keuangan dan keahlian lewat kontrak hibah dan bantuan.Kepastian hukum
Negeri mana di dunia ini yang tidak butuh kepastian hukum? Kuasa modal sangat membutuhkan kepastian hukum. Tentu saja untuk melindungi uang mereka. Kalau toh kepastian hukum juga mencakup keselamatan warga, mereka pun tak berkeberatan sepanjang, minimal, kepentingan dan laju pertumbuhan modal mereka tidak terganggu. Ini menjadi penting karena di kalangan orang-orang yang bekerja di sektor modal Indonesia memiliki stereotip sebagai negara yang hukumnya bisa dibeli. Hal ini sangat tidak menguntungkan, karena di kalangan mereka tidak ingin ada penambahan alokasi biaya untuk bersaing membeli hukum....
Pada konteks hukum itu sendiri tidak ada upaya untuk mengupas paling tidak dari dua wilayah diskusi. Wilayah diskusi pertama berangkat dari pertanyaan, "Hukum untuk mengatur apa/siapa?" Dan wilayah diskusi kedua berangkat dari pertanyaan kritis, "Hukum untuk melindungi apa/siapa?" Kenyataannya hukum di Indonesia lebih banyak digunakan untuk mengatur publik dan sumberdaya publik, tetapi tidak dirancang untuk melindungi keselamatan dan keberadaan kedua hal itu. Hukum yang melindungi publik dan sumberdaya publik pada akhirnya hanyalah bonus, kado tambahan dari perangkat yang lebih mendahulukan perlindungan terhadap laju pertumbuhan modal. Itu pun tak lebih dari peluang-peluang recehan seperti kesempatan kerja sebagai buruh atau terlibat pada pengerjaan tahap persiapan dan pembangunan investasi. Begitu beroperasi, bonus recehan itu pun lenyap.
Transparansi dan good and clean governance
Setali tiga uang. Masyarakat yang sehat menurut saya adalah yang tumbuh dalam ruang hidup yang diatur bersama secara transparan. Kuasa modal dari mana pun mereka datang melihat Indonesia sebagai negeri kaca-balau, yang perputaran tata-kelolanya digerakkan oleh korupsi dan manipulasi orang-orang yang duduk di kekuasaan dan mereka yang punya akses ke kekuasaan. Oleh karena itu transparansi dan good and clean governance (TGCG) mesti dikupas dulu.
Yang pertama tentu saja TGCG itu untuk mengatur apa/siapa dan melindungi apa/siapa? Dari kacamata kuasa modal TGCG sangat penting untuk kepastian alokasi biaya dalam usaha mendorong laju pertumbuhan modal mereka. Ketidakpastian biaya transaksi dalam berinvestasi menjadi momok, karena mereka harus saling bersaing memperoleh akses ke simpul-simpul kuasa politik-ekonomik di kantor-kantor negara maupun partai-partai politik serta aparat keamanan.
Dengan bungkusan yang rapih, seperti pakta integritas karyawan serta perangkat kebijakan lunak (soft policy) perdagangan dan industri internasional lain, TGCG didorong masuk ke ruang kebijakan publik. Tidak tanggung-tanggung, rejim SBY-JK pun dengan bangga mempertontonkan serial drama publik tentang pemberantasan korupsi lewat penampilan beberapa aktor seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tipikor serta Peradilan Korupsi. Drama publik yang lezat bagi mesin industri propaganda pers dan media, tetapi tidak pernah mampu menyembuhkan penderitaan warga.
Tertib administrasi pertanahan
Dengan bangga Joyo Winoto, Badan Pertanahan Nasional (BPN), mempersembahkan Reforma Agraria (agrarian reform) kepada publik. Menurutnya, inilah solusi untuk kepastian hak penguasaan dan kepemilikan atas tanah oleh warga, dan saat yang sama merupakan solusi bagi kuasa modal (asing dan domestik) menyangkut kepastian penggunaan sumberdaya publik berupa lahan-lahan murah untuk berinvestasi. Benarkah demikian?
Indonesia adalah negeri kepulauan yang luas, yang terkendala oleh hamparan perairan laut dengan kedalaman yang bervariasi, serta terkendala oleh dinamika iklim dan musim yang menjadi faktor penentu kelancaran tata-bernegara. Belum lagi dengan tingginya keberagaman entitas sosial dan budaya yang terdapat di sekujur pulau-pulau, dengan tata-kuasa atas tanah sebagai sumber produksi yang juga tinggi keragamannya. Apa yang disebut sebagai konflik agraria seperti yang kerap dilontarkan para aktivis organisasi masyarakat sipil pada hakekatnya lebih berupa pemaksaan struktur tunggal tata-kuasa terhadap struktur tata-kuasa yang beragam yang hidup di masyarakat Indonesia, mengatasnamakan kepentingan khalayak yang lebih luas di bawah umbul-umbul gagah pembangunan.
Bagi kantor negara seperti BPN, menjawab tuntutan organisasi masyarakat sipil untuk kepastian kuasa atas tanah bagi warga menjadi satu syarat pelengkap bagi tuntutan kuasa modal terhadap tertib administrasi pertanahan. Bagi anggota kabinet dapur SBY-JK kelancaran "reforma agraria" a la BPN akan memastikan komposisi organik modal atas wilayah negeri kepulauan ini. Sri Mulyani akan lebih mudah mempresentasikan peluang investasi menggunakan peta Nusantara, dengan angka-angka nilai investasi di atasnya, yang merupakan turunan kesekian penjumlahan sederhana tanah-tanah yang sudah di-"reforma agraria"-kan, alias sudah memperoleh sertifikat, dan alias sudah mendapatkan nilai jual obyek pajak (NJOP).
Sarana/prasarana (infrastruktur)
Menarik sekali ketika orang bicara tentang infrastruktur. Dengan gagah dan berani (malu) birokrat akan sesumbar bahwa infrastruktur yang dibangun di suatu wilayah adalah untuk membuka keterpencilan warga di sana yang belum tersentuh pembangunan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan tersentuh pembangunan? Belum merasakan kerasnya sepatu lars atau popor senapan aparat negara saat ditugaskan menyerobot lahan produktif milik warga? Sentuhan yang luarbiasa. Kenyataannya, infrastruktur dibangun sebagai prasyarat penting masuknya investasi.
Ketika orang tidak mempermasalahkan dan mengkritisi pilihan-pilihan paradigma ekonomi-politik yang sekarang berlaku di negeri ini akibat pergaulan internasionalnya maka kebutuhan infrastruktur menjadi dilematik. Di satu sisi (konon) warga membutuhkan infrastruktur agar dapat mengejar ketertinggalan mereka (tentu pada konteks percepatan modernitas menurut standar yang diberlakukan secara seragam lewat tata-konsumsi dan tata-produksi yang patuh kepada pasar), dan di sisi lain infrastruktur adalah pembuka jalan bagi ancaman-ancaman baru terhadap kehidupan dan ruang hidup warga setempat.
Desentralisasi dan demokratisasi
Sekali lagi kita berhadapan dengan peristilahan yang ternyata memiliki tafsir banyak, tentu saja berdasarkan poisi dan kepentingan berbagai pihak yang menggunakan dan menerapkannya. Secara naif kita bisa saja begitu mudah mendukung prakarsa desentralisasi, karena wilayah diskusinya dibuat sedemikian rupa agar merujuk kepada pengalaman masa Orde Baru yang serba terpusat dan otoriter. Maka tanpa mengkritisi tentang kesahihan integritas wilayah pulau-pulau sebagai sebuah negara desentralisasi dan demokratisasi menjadi kebutuhan mendesak. Pada perspektif pelaku politik demokratik yang pro-pasar, plus bobroknya mentalitas dan struktur hukum dan peradilan, desentralisasi dan demokratisasi sungguh menjadi horror baru bagi warga.
Bagi kuasa modal dua prasyarat tersebut akan lebih memudahkan operasional mereka, tanpa harus pusing berurusan dengan Jakarta. Dengan skema pendapatan publik yang miskin perspektif distribusi, maka pelaku-pelaku politik wilayah berlomba-lomba merias dan mempercantik wilayah mereka agar dapat menarik perhatian kuasa modal. Apakah kuasa modal akan lebih mudah berurusan dengan para pelaku politik setempat? Tentu saja, karena pemain-pemain baru itu miskin pengalaman dalam diplomasi dagang internasional. Diancam dengan arbritase internasional saja akan membuat mengkerut nyali mereka. Atau diancam ditinggalkan, para pelaku politik setempat akan mengemis-ngemis meminta agar para juragan tidak meninggalkan mereka.
Oligopoli suplai buruh murah
Coba perhatikan pernyataan publik Jusuf Kalla tentang dukungannya untuk mengalihkan fungsi lahan-lahan produktif menjadi ruang-ruang investasi industri manufaktur. Di bawah asuhan paradigma ekonomi-politik yang sekarang berlaku petani-petani kecil, petani-petani di pinggir hutan hanya menjadi beban bagi Negara. Pertama, skala produksi mereka tidak pernah mampu memenuhi skala ekonomi pasar. Kedua, sumbangan pajak mereka kecil dan tidak berarti apa-apa dibandingkan yang disumbang juragan rokok Gudang Garam. Maka, dengan alasan membuat para petani itu naik kelas, menjadi bagian dari insan industrial, pengalihan fungsi lahan-lahan produktif menjadi satu siasat jitu. Industri manufaktur tidak perlu khawatir dengan gejolak buruh, karena suplai buruh yang antri pekerjaan lebih dari cukup...
Keamanan dan ketertiban c.q. perdamaian
Biaya untuk memindahkan warga dari suatu wilayah yang diinginkan kuasa modal bisa dibuat murah menggunakan pendekatan "kemanan dan ketertiban." Tentu saja aman dan tertib dalam ruang kepentingan modal, bukan untuk menjamin kebutuhan warga. Salah satu siasat paling primitif adalah dengan membuat wilayah tersebut tidak nyaman untuk ditinggali. Menciptakan konflik bukan perkara sulit bagi aparat terlatih, baik di bidang tempur maupun intelijen. Cara primitif ini memang ampuh, tetapi apakah kuasa modal menyukainya?
Atas nama memaksimalkan batas-laba (profit margin), memulai suatu usaha tanpa diganggu oleh urusan-urusan menyangkut kehidupan sosial warga setempat merupakan kemewahan yang didambakan kuasa modal. Toh mereka tidak akan selama-lamanya menongkrongi wilayah tersebut. Begitu kelimpahan kekayaan alam mulai menipis, mereka bisa hengkang kapan saja. Dan hal itu pun dilindungi oleh hukum dan perundang-undangan negeri kepulauan ini.
* * * * *
Pikiran-pikiran liar di atas sudah lama saya renungkan. Saya pun sadar bahwa saya juga berada di dalam pusaran tersebut. Tak perlu menyangkal, bahwa kenyataan ini adalah anak dari proses panjang penguasaan pola-pikir dan pola-sikap yang begitu terawat dan rapih direproduksi dari generasi ke generasi lewat pendidikan, baik formal maupun di lingkungan keluarga. Berdiri gagah diantara negara-negara lain pada akhirnya hanya diwakili oleh sosok kepala negara pada pertemuan-pertemuan tingkat tinggi, atau muhibah dua-pihak, seperti yang dipertontonkan mesin industri propaganda pers dan media.
Saya tidak memiliki jawaban, karena renungan saya masih sebatas menjelajahi ruang-ruang gagasan tentang negeri yang terlampau luas ini. Saya pun belum memiliki kemewahan untuk memulai satu ujicoba menerobos arus-arus besar tersebut. Minimal saya merenung....
Jakarta, 16 Mei 2007
Tuesday, May 15, 2007
Mengejar Investor, Mengemis dan Melacurkan Diri
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment