Awicaks
Ketika harga cengkeh meroket di pertengahan tahun 80an hampir seluruh daratan wilayah Minahasa di ujung utara Pulau Sulawesi berubah menjadi kebun cengkeh. Minahasa yang subur, baik tanah maupun perairannya, digenjot dengan satu jenis tanaman. Ledakan ekonomik lewat cengkeh menjadi sumber berangke cerita ketika saya sempat bermukim di perbatasan antara Kabupaten Minahasa dengan Kota Manado, sekitar awal hingga pertengahan 90an. Begitu banyak cerita tersebut hingga sulit dibedakan mana yang memang sungguh-sungguh terjadi dan mana yang sekedar mitos atau cerita yang dilebih-lebihkan. Namun yang ingin saya sampaikan di sini bukan tentang hal itu, tetapi respon sosial berupa latah dan meniru, yang sudah menjadi "epidemik" di sekujur Nusantara, tak hanya Minahasa dan Manado.
Orang menyebutnya tren (dari bahasa Inggris, trend atau pola kecenderungan), yang konteks penggunaan kata itu sinonim dengan latah dan meniru. Jika kita deretkan sejak awal tahun 80an hingga sekarang bisa dibilang negeri ini adalah pembelanja terbaik barang-barang industrial paling mutakhir yang diproduksi di negeri lain. Saking besarnya volume perdagangan barang-barang industrial mutakhir, ia mendorong munculnya ekonomi bawah-tanah, dari mulai penyelundupan, pemalsuan, hingga transaksi perdagangan barang bekas atau tangan kedua yang diperbaiki (refurbished). Antena parabola, telepon genggam, mesin pemutar permainan video (merek: Playstation, GameBoy), VCD, DVD, pemutar MP3, hingga sepeda motor buatan China. Yang mencengangkan adalah laju perluasan penggunaan, yang dalam waktu relatif singkat bisa menjangkau ke wilayah-wilayah perdesaan di pulau-pulau di Indonesia.
Sungguh naif jika kemudian kita menganggap bahwa tingkat kesejahteraan dan produktifitas warga Indonesia sangat tinggi, dengan hanya menghitung laju perluasan pengguna barang-barang industrial tersebut. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan tingginya perombakan alokasi belanja rumah-tangga akibat gempuran gaya hidup "moderen", yang tak henti-hentinya dipamerkan lewat siaran-siaran televisi komersial yang memiliki daya jangkau mencengangkan. Jika perlu alokasi belanja untuk sedikit protein dikurangi demi kuatnya keinginan mengikuti tren. Di beberapa wilayah di Pulau Flores, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri tingginya laju penjualan tanah untuk membeli sepeda motor. Di Manggarai Timur, wilayah yang sepi yang dianugerahi pemandangan alam indah itu tiba-tiba disemuti sepeda motor aneka warna dan aneka merek.
Potret ironik tetapi tragik terlihat ketika pengurus Negara menaikkan harga BBM pada akhir 2005 lalu. Tiba-tiba jumlah warga yang membutuhkan dana tunai langsung sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga eceran BBM membludak. Meski tidak tepat dikatakan sebagai latah, tetapi keinginan untuk memperoleh dana tunai langsung di berbagai wilayah di Indonesia sangat tinggi di kalangan warga kebanyakan. Hal sama juga berlaku untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tanpa pemantauan ketat, ternyata designasi penggunaan dana BOS yang seharusnya untuk keperluan pendidikan toh dibelanjakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Meski bolehjadi tidak ada kaitannya, di awal 2006 kita terhenyak oleh pemberitaan tentang kejadian bunuh diri pelajar sekolah dasar dan menengah karena ketiadaan dana. Kejadian mutakhir adalah warta tentang upacara bunuh diri sekeluarga akibat tak tahan menanggung beban kehidupan.
Saya punya pertanyaan sederhana. Apakah masyarakat yang konsumtif terhadap barang-barang industrial adalah gambaran masyarakat moderen yang didambakan orang-orang pintar dan cendekia yang duduk di jabatan-jabatan penting jawatan-jawatan Negara? Jika 220 juta jiwa warga negeri ini memang ditargetkan menjadi pembelanja barang-barang industrial, yang bahan mentahnya sebenarnya berasal dari kampung halaman sendiri tetapi diolah dan dikemas di negeri lain, "Sebenarnya tata-produksi seperti apa yang ingin dibangun di Indonesia?"
15 Juni 2007
No comments:
Post a Comment