Awicaks
Begitu selesai membaca laporan Panel Antarpengurus Negara tentang Perubahan Iklim (IPCC), darah saya mendidih luarbiasa. Ada banyak masalah pada laporan itu. Pertama tentang cara-baca atau perspektif terhadap krisis yang kemudian ditanggapi lewat Kerangka Kerja dan Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang sangat menyederhanakan mengandalkan pemodelan yang tidak jelas skala dan lingkup cakupannya. Kedua, seluruh gambaran 'dampak' yang akan terjadi jika tidak dilakukan tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim melulu tentang negara-negara miskin. Ia berkesan seperti intimidasi. Ketiga, secara sistematik dan cantik perangkat kerja serta wilayah-wilayah pengaturan perubahan iklim sengaja dipisahkan dari Perjanjian-perjanjian Perdagangan Multilateral (multilateral trade agreements, MTAs). Laporan IPCC bisa disebut sebagai siasat menyembunyikan fakta-fakta laju pertumbuhan ekonomi negara-negara industri yang enggan dikorbankan sebagai prasyarat stabilisasi konsentrasi karbon di atmosfer.
Di sisi lain UNFCCC dan seluruh perangkat kerjanya tidak membicarakan, mengaitkan dan mengurus wilayah-wilayah kebijakan global yang bergerak bebas beriringan dengan program-program penyesuaian struktural yang berurusan dengan utang dan investasi asing langsung (FDI). Wilayah kebijakan global itu hingga kini berperan sangat nyata sebagai mesin pencipta krisis di tingkat warga, mulai dari pencabutan subsidi atas kebutuhan barang-barang pokok, proteksi usaha pertanian, mendorong daya saing komoditi bahan bakar minyak (BBM), dan sebagainya. Sehingga berbagai tolok-ukur global tentang tingkat tingkat keselamatan dan kesejahteraan manusia tidak bisa digunakan secara silang sebagai tolok ukur keberhasilan kerangka kerja UNFCCC. Jelas bahwa, meskipun krisis iklim diakui sebagai dampak rejim ekonomi-politik pertumbuhan dan kapitalistik, tetapi penanganannya tidak memasukan biaya-biaya serta eksternalitas rejim perdagangan global sebagai peubah (variabel) penting pada bacaan krisis yang resmi digunakan lewat UNFCCC.
Indonesia adalah negeri yang begitu terobsesi menjadi negara industrial besar sesuai gambaran-gambaran fisik "brosur-brosur kemakmuran negara", selama hampir lima dekade telah begitu patuh menuruti semua resep para teknokrat ekonomi, baik teknokrat domestik yang dilatih di negara-negara industrial besar maupun teknokrat kelas tiga yang diimpor dari negara asal modal. Sebagai negeri yang patuh Indonesia bagaikan museum yang memajang biaya-biaya dan eksternalitas rejim ekonomi-politik pertumbuhan. Ketimpangan pendapatan, wilayah pertumbuhan yang memusat yang dikelilingi kantung-kantung kemelaratan di pinggiran, serta kantung-kantung kemelaratan dan kriminalitas di wilayah-wilayah pusat pertumbuhan, kemerosotan mutu dan daya dukung serta penyusutan dan fragmentasi integritas lingkungan sebagai ruang hidup, yang dikendalikan menggunakan pendekatan menindas dan kekerasan yang bersandar pada cara-baca yang menyeragamkan dan mereduksi keragaman realitas.
Bacaan resmi krisis yang menjadi rujukan bagi UNFCCC (sengaja) hanya memotret penggalan kecil dari seluruh gambaran horror biaya dan eksternalitas rejim ekonomi-politik pertumbuhan yang kapitalistik. Laporan IPCC memaparkan krisis-krisis yang dijawab lewat UNFCCC meliputi masalah pangan, ketersediaan air tawar, kesehatan terutama wabah penyakit, kondisi iklim ekstrem seperti kekeringan dan banjir, perspektif jender dimana perempuan akan menerima beban lebih besar akibat perubahan iklim, serta keberlanjutan nafkah dan penghidupan. Ketika saya dan beberapa kawan dari WALHI dan JATAM mencoba melakukan pemodelan ulang menggunakan sumber data dan bacaan yang sama, kami menemukan bahwa krisis-krisis tersebut sebagai satu kesatuan merupakan sistem yang timpang. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, tidak ditunjukkan keterkaitan antara kondisi buruk yang ada saat ini, yang dijadikan sebagai kondisi awal (t0), dengan skenario krisis apabila perubahan iklim tidak ditangani (t1) dari perspektif biaya dan eksternalitas rejim ekonomi-politik pertumbuhan. Bacaan krisis resmi sangat (di)sesuai(kan) dengan paket solusi yang sudah ada, seperti campur-tangan teknologi dan campur-tangan pengendalian alokasi ruang lewat penetapan kawasan-kawasan konservasi (yang konon untuk menyerap karbon), enerji bersih dan terbarukan, serta transaksi perdagangan emisi karbon.
Perangkat tersebut harus ditantang dengan penggunaan tolok-ukur yang dibuat dan sudah dipublikasikan lewat jalur lain dari perjanjian-perjanjian multilateral, yakni MTA. Indeks Pembangunan Manusia, HDI (UNDP), Indeks Kemiskinan dan Laporan Pembangunan Dunia (World Bank) adalah tolok-ukur yang harus digunakan untuk menakar keberhasilan campur-tangan penanganan krisis iklim lewat UNFCCC. Semua tolok-ukur yang sudah dirumuskan dan ditetapkan lewat Subsidiary Body for Scientific and Technical Advice (SBSTA) harus digugat menggunakan potret krisis yang spesifik wilayah, serta harus dapat dikaitkan dengan HDI, Indeks Kemiskinan serta peringkat negara berdasarkan Laporan Pembangunan Dunia. Hal ini penting untuk menunjukkan kepada para pemimpin negara miskin bahwa perangkat UNFCCC dibuat sedemikian rupa agar negara industri maju tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi mereka dalam penyelesaian krisis iklim. Perangkat UNFCCC memang berkesan menguntungkan karena masuknya proyek dan investasi baru, tetapi apakah hal itu ada kaitannya dengan upaya menurunkan tingkat derita rakyat? Pada banyak kasus yang sudah terjadi seperti di Brazil dan India, campur-tangan solusi justru telah menciptakan horror baru bagi warga setempat. Horror yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Karena tiba-tiba harga bahan pangan meroket karena bahan-bahan mentah nabati diekspor untuk memenuhi kebutuhan negara industri maju terhadap ethanol. UNFCCC harus didudukkan bersama dengan WTO, WEF, serta perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral (MTA) lainnya.
16 Juni 2007
No comments:
Post a Comment