Wednesday, June 13, 2007

MJK, China dan Bendungan Besar

Awicaks

Bukan hal yang mengejutkan ketika membaca pernyataan Wapres MJK yang dikutip beberapa suratkabar nasional terkemuka. Ringkasnya MJK mengatakan bahwa pembangunan bendungan besar adalah langkah strategis yang mampu menangani beberapa sektor pembangunan sekaligus: Pertanian, perikanan air tawar, pengairan, enerji (perlistrikan), dan pariwisata. Begitu terkagum-kagumnya beliau yang satu ini hingga melupakan keberadaan beberapa bendungan besar di pulau Jawa, mulai dari Saguling, Cirata, Gajah Mungkur, Selorejo, Karang Kates, Jatiluhur, Kedung Ombo, dan beberapa bendungan skala menengah lain. Apakah bendungan-bendungan skala menengah hingga raksasa itu berhasil membuktikan kemanfaatan teoritiknya sebagai solusi terintegrasi sektor-sektor pertanian, perikanan air tawar, pengairan, perlistrikan dan pariwisata?

Jika dirunut hati-hati perbandingan biaya dengan kemanfaatan bendungan-bendungan skala menengah hingga raksasa di pulau Jawa, mestinya kita mengurut dada. Menurut World Commission Dam (WCD), biaya finansial pembuatan dan operasi bendungan skala raksasa selalu 56% lebih besar daripada anggaran yang direncanakan. Jika melihat apa yang terjadi dengan Kedung Ombo mestinya MJK tidak sebegitu mudahnya silau dengan "kemanfaatan" pengelolaan bendungan skala raksasa di China, karena total biaya keseluruhan, baik finansial, sosial maupun politik,  pembangunan dan operasional Kedung Ombo jauh lebih besar dari yang tercantum di dokumen-dokumen resmi yang telah dipublikasikan World Bank (WB). Bahkan Kedung Ombo justru menciptakan kekeringan lahan-lahan produktif yang dialami oleh warga setempat karena akses airnya dipotong oleh kehadiran Kedung Ombo.

Dibutuhkan telaah dan kajian yang ditakar menggunakan ukuran tingkat keselamatan dan kesejahteraan warga, kemampuan warga memenuhi syarat-syarat minimum hidup yang berkualitas menurut ukuran setempat, serta kemampuan warga menjaga dan merawat keberlanjutan jasa alam dan lingkungan. Tidak dibutuhkan survai semacam Susenas, yang terbukti sangat tidak bermutu karena tidak bebas dari perkara korupsi lembaga yang bertanggungjawab menyelenggarakan serta pihak yang melaksanakan survai. Yang justru harus digunakan adalah takaran-takaran yang sudah ada yang telah dipublikasikan luas, seperti Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI). Artinya kita pun harus mengukur kemanfaatan prakarsa-prakarsa yang dilakukan UN Development Programme (UNDP) itu dengan cara menumbukkannya dengan prakarsa penanaman modal asing langsung.

Sepanjang negeri ini tidak beranjak dari perilaku kebijakan yang semata-mata menakar keberhasilan pembangunan pada ukuran-ukuran fisik, moneter, serta berorientasi keluaran akhir (final output), sulit bagi Indonesia untuk dapat membumikan rethorika-rethorika tata-kelola yang demokratik dan desentralistik. Begitu mudahnya orang nomor dua di negeri ini silau dengan capaian (fisik) negeri lain menunjukkan bahwa mentalitas kuasa politik Indonesia masih sebatas meniru-niru. Belum menjadi pergulatan tata-nilai yang lebih bersifat internal, yang dipecahkan lewat dialog-dialog berkualitas di berbagai lapis unsur Negara. Sayangnya MJK bukan orang yang menghormati tata-cara santun seperti itu, karena bagi dia yang terpenting adalah hasil akhirnya, yang harus dicapai lewat cara yang paling praktis dan paling murah (secara finansial dan politik). Dan sayangnya pula sosok kepemimpinan yang (dicitrakan lebih) santun yang dilekatkan pada SBY tidak memiliki stamina tinggi untuk bertanding lari cepat jarak pendek melawan MJK dan rombongannya.

13 Juni 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: