Tuesday, June 12, 2007

Negeri Kepulauan Indonesia Sebagai Paradoks

Awicaks

Indonesia negeri kepulauan tetapi diperlakukan layaknya ruang luas tak-berbatas, yang bisa dikeruk semampu kita bisa. Maka perairan laut sebagai batas lahan-lahan produktif yang tersebar di rangkaian pulau-pulau besar dan kecil pun tidak dimasukkan ke dalam neraca perhitungan untung-rugi, resiko-manfaat pilihan-pilihan cara keruk tanah dan kekayaan alam di bawah dan di atasnya. Perairan laut yang semestinya menjadi perekat rangkaian pulau-pulau didudukkan secara tragik sebagai tempat sampah bagi kotoran dan buangan operasi industri serta tempat membuang akumulasi sisa-sisa pola konsumsi rumah tangga yang tak kenal lelah mengejar standar-standar baru kehidupan moderen. Standar kehidupan moderen yang hakekatnya tak lebih dari sekedar cangkokan secara gelondongan contoh-contoh fisikal standar kehidupan di negeri lain.

Rejim ekonomi-politik yang merupakan karya cangkokan kultur-intelektual benua Amerika utara yang dibawa para teknokrat selepas keruntuhan Orde Lama merupakan paket gelondongan yang dibangun-paksa dalam waktu relatif singkat di atas jejaring sosial-budaya yang rumit di negeri ini. Jejaring sosial-budaya yang sangat tinggi keragamannya yang sesungguhnya dibangun begitu rapih secara organik dari generasi-ke-generasi sebagai respon terhadap kekhasan karakter wilayah yang kaya ragam tipologi lapisan kerak bumi, jenis-jenis hidupan alami, tipologi bentang alam, tipologi bentang perairan laut, danau dan sungai. Rejim ekonomi-politik "moderen" tak merasa perlu memasukkan keragaman karakter wilayah sebagai peubah (variabel atau parameter) strategi mendorong pertumbuhan ekonomi-makro yang merujuk standar-standar lembaga keuangan multinasional. Keragaman terebut justru didudukkan dan diperlakukan sebagai penghambat yang mesti diberantas lewat penyeragaman struktur kuasa politik dan kuasa ekonomi.

Maka Indonesia sebagai negeri kepulauan pun direkatkan menggunakan pendekatan menindas dengan perancangan rentang-kendali kuasa politik dan kuasa ekonomi skala gigantik dan terpusat. Harga dari pilihan ini adalah cara-baca terhadap komposisi organik modal yang bersifat reduktif, cenderung menyerderhanakan dan menyeragamkan, serta miskin perspektif distribusi manfaat. Maka berjalinlah struktur perangkat militer dengan perangkat ekonomi-politik untuk memastikan rentang-kendali kuasa (politik dan modal) beroperasi tanpa penghalang. Harga dari jalinan mesra kedua perangkat tersebut adalah rontoknya kemampuan sejati warga menjamin keselamatan dan kesejahteraannya, kacaunya batasan hidup berkualitas bagi warga, serta menyusut dan merosotnya jasa alam sebagai prasyarat keberlanjutan ruang hidup bagi warga negeri. Warga dikepung berbagai krisis. Kebijakan dan tindakan pengurus Negara memecahkan krisis warga yang tidak bersumber pada keberpihakan kepada keselamatan justru menciptakan krisis-krisis baru yang selama ini tak pernah dibayangkan.

Indonesia yang tampak lebih moderen dan terus berupaya untuk menyerupai gambaran-gambaran fisikal ideal negeri-negeri maju sesungguhnya tengah menanam ranjau-ranjau berupa bom waktu yang siap meledak tanpa dapat dikendalikan. Karena ongkos modernitas tersebut seluruhnya berada di pundak warga kebanyakan. Bukan tidak mungkin ledakan tak-terkendali bisa lebih mengerikan dan lebih horror dibanding apa yang kita lihat di Sudan, Rwanda atau negeri-negeri berlimpah kekayaan alam tetapi tak pernah sepi dari konflik dan pertikaian domestik berdarah. Satu per satu sudah mulai muncul di permukaan. Bahkan krisis-krisis serupa diciptakan sebagai argumen pentingnya rentang-kendali yang represif. Tak pelak, ledakan yang lebih besar menjadi suatu keniscayaan.

12 Juni 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: