Awicaks
Ada pendapat menarik. Pada masa Orde Baru, Indonesia dikendalikan oleh pengusaha, pemilik modal dan tentara. Tidak ada politikus, kecuali segerombolan orang yang ditunjuk untuk menjadi (seakan-akan) politikus yang duduk di Senayan. Rutinitas politik sungguh-sungguh merupakan rutinitas. Berlalu secara statik dan stabil. Kalau toh ada gangguan-gangguan kecil, orang-orang di seputar Eyang Kakung Suharto (EKS) akan segera memadamkannya dalam hitungan detik. Luar biasa.
Politik massa mengambang menjadi andalan rejim Orde Baru. Swa-sensor di kepala warga Indonesia selama Orde Baru berkuasa merupakan fenomena luar biasa. Saya teringat ketika salah seorang paman yang bekerja di sebuah kantor negara mengatakan, "Sulit bagi seorang pegawai negeri untuk memilih selain Golkar. Biarpun pemilihan umum disebut Luber (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia), dan dilakukan di sebuah bilik tertutup, penguasa punya cara untuk mendeteksi mereka yang melanggar." Tentu saja saya tidak percaya omong kosong itu.
"Bagaimana cara penguasa mendeteksi para pegawai negeri yang tidak mencoblos Golkar?" Paman saya tidak bisa memberi jawaban sederhana. Jawabannya rumit dan berputar-putar. Namun pada intinya ia mengatakan, bahwa di setiap kertas untuk memilih (ballot paper) ada tanda-tanda rahasia. Hebat nian pengelolaan rasa takut yang diterapkan Orde Baru. Tanpa perlu ditegakkan, warga sudah menegakkannya sendiri, bahkan terhadap dirinya sendiri. Gila memang.
Gus Dur adalah salah seorang tauladan yang ingin menunjukkan bahwa kekuasaan (atau bahkan sering dimitoskan sebagai kesaktian) EKS tidaklah seperti yang digembar-gemborkan. Dia melawan. Persis seperti yang dilakukan segelintir orang-orang yang juga secara kreatif membangun argumen-argumen tanding. Sebagian dari mereka ada yang ditindak keras, sebagian kecil memilih kabur ke negara lain, dan yang lain memilih membangun jejaring perlawanan di dalam negeri sebagai strategi mengurangi resiko penindakan.
Ketika EKS lengser, bandul yang sebelumnya berada di posisi tunduk yang ekstrem, tiba-tiba berayun ke posisi bebas dan melawan yang juga ekstrem. Mahasiswa berani melakukan demonstrasi di seputaran tempat tinggal EKS, meskipun selalu berhasil dihalau oleh Pasukan Anti Huru-Hara yang sebagian besar dari mereka seumuran dengan para mahasiswa yang melakukan aksi. Mereka adalah pasukan yang ketiban sial. "Setorannya mahal mas kalau nggak mau jaga demonstrasi," kata salah seorang dari mereka yang berhasil saya wawancarai di Taman Suropati. "Kalau saya punya limaratus ribu, saya mungkin bisa santai di markas, nggak harus berhadap-hadapan dengan mahasiswa." Luar biasa. Bahkan tentara dan polisi pun sudah punya keberanian untuk menolak tugas yang tidak disukai, meskipun kemudian harus berhadapan dengan mekanisme pasar yang merasuk ke urusan penugasan di markas mereka.
Tiba-tiba Indonesia kebanjiran politikus. Semua orang bicara politik begitu fasih. Seperti anak kecil yang baru terbebas dari masa cadel, sehingga mengumbar huruf 'R' di setiap kata yang digunakan. Interupsi di Senayan menjadi pemandangan yang umum, ketika orang-orang yang duduk di sana merasa harus mempraktekkan kecakapan yang selama ini dipendam dalam di dalam perut mereka. Beberapa kali saya hadir di rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada begitu banyak orang yang bicara, tapi kemampuan bertuturnya sangat rendah. Pemilihan katanya amburadul. Hingga orang itu selesai bicara setelah mengumbar begitu banyak kata-kata selama lebih dari tigapuluh menit, saya masih tak jelas apa yang ingin disampaikan. Pernah saya iseng bertanya, dan meminta seorang anggota DPR menjelaskan lebih sederhana. Ketika diulangi, ia menyampaikan gagasan yang sama sekali berbeda. Luar biasa. Ini bukan perkara kemampuan berbicara, tetapi juga menyangkut daya pikir.
Setelah lengsernya EKS negeri ini begitu amburadul dan kebanjiran kata-kata. Semua masalah yang coba dipecahkan senantiasa berujung pada polemik dan perdebatan yang tidak kemana-mana. Masih bagus jika perdebatan itu tajam dan solutif. Kenyataannya, perdebatan dan polemik lebih sarat unsur pemenangan ego saja. Sekedar tak mau kalah dan tak mau dipermalukan di depan publik. Maka bersilat lidah menjadi semacam kecakapan yang wajib menjadi kelengkapan ketrampilan berbicara para politikus.
Salah satu prakarsa DPR untuk menuntaskan derita warga, seperti Interpelasi Lumpur Lapindo, yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada awal 2006, seperti seorang laki-laki yang mengalami ejakulasi dini. Berhenti di tengah jalan. Saya tak mau berspekulasi bahwa hal itu terjadi karena ada suap atau semacamnya. Namun saya menangkap, perang kata-kata seperti menjadi pertanda yang digunakan politikus, baik secara sendiri-sendiri maupun secara rombongan, untuk menarik perhatian. Mungkin sasaran awalnya adalah menarik perhatian publik, yang pada gilirannya akan menarik perhatian orang-orang yang terganggu kenyamanannya. Fenomena serupa pernah saya dengar dari seorang pemuka agama yang kebetulan duduk di sebuah majelis kegamaan di negeri ini.
"Saya malas bicara dengan koran. Karena setiap bicara kritis, rekening bank saya tiba-tiba bertambah jumlahnya. Entah siapa yang mengirim. Saya tidak mungkin melacak pengirimnya. Tetapi si pengirim tahu benar transaksinya. Bisa saja suatu saat itu digunakan orang itu untuk menghantam saya. Saya kemudian memutuskan untuk tidak membuat pernyataan publik, yang artinya tidak bicara dengan koran." Kata orang yang saya hormati itu.
Meskipun mungkin ini adalah satu simpul pikiran yang terburu-buru, saya pikir menarik sekali bahwa kekritisan seorang politikus, terutama terkait dengan situasi-situasi tertentu yang terkait dengan dinamika modal dan kekuasaan, menjadi nilai jual untuk memperkaya diri. Semakin keras kritiknya, serta semakin langsung sasaran kritiknya, semakin besar nilai kompensasi untuk menutup kasus, atau paling tidak untuk menutup mulut.
Warga sekalian, yang tengah dirundung masalah. Agaknya derita akan menjadi santapan wajib, yang tak bisa ditolak, yang akan mengisi hari-hari penuh kata-kata di Indonesia ini. Hari-hari dimana politikus begitu merajalela di halaman-halaman publik (baca: halaman-halaman koran, baik halaman muka maupun halaman dalam).
21 Januari 2008
1 comment:
PESAN DARI SURGA BUAT PARA KORUPTOR
Engkau menuliskan senandung nyanyianmu di atas wajah suci kaummu; lalu engkau membiusku dan perlahan-lahan merampas hartaku… seperti itulah yang dilakukan para koruptor…
Demikianlah, negara ku kini menduduki peringakat 3 negara terkorup se-Asia Tenggara, dan aku lemas, lunglai tak berdaya di tengah melimpahnya kekayaan kita. Kalbuku mengerang kesakitan, ku meraung kepedihan menahan luka gores sayatan yang menggores batin ini oleh perselingkuhan orang kepercayaan.
Dulu dalam fahamku, kau ku pilih karena kau orang yang tepat di posisimu, kau pengelola managemen dasyat dari segala kehebatan negeriku. Maka itu ku serahkan tanpa syarat semua kepadamu. Dengan maksud kita bersama-sama menyeberangi tepian bahagia menjadi bangsa bermartabat.
Tapi kini, rencana janjimu adalah angin lalu, semua ucapan manis mu kau buang di ngarai hampa. Ketahuilah semua kepalsuan yang kau ucapkan, aku tak percaya lagi!! Aku tidak ingin bersama mu di pemilu 2009 mendatang.
Semalam dua sebelum anggota KPK datang menjemput, aku mempersiapkan sepatah dua patah untuk kusampaikan kepadamu, namun engakau persiapan hanyalah persiapan, aku tak bisa melepas siratan hati karena penjagaan ketat garda polisi.
Sekarang di antara persidangan hati sekalian, aku katakan kepadamu ” aku akan boikot pemilu tgl 5 april 2009, kami akan golput!!!” agar kau merasakan seperti apa luka yang kau berikan.
sumber : www.asyiknyaduniakita.blogspot.com
Post a Comment