Monday, January 07, 2008

The Extremely Die Hardest - Bener-bener Nggada Matinye

Awicaks

Negeri bongsor nan amburadul tengah dirundung badai siklon tropik, curah hajin meninggibanjir, tanah longsorgelombang pasang, gempa sedikit sedikit di sana sini tapi skalanya cukup bikin jantung terpompa, plus bonus bencana mahakarya Bakrie, luapan lumpur Lapindo yang terus meluas. Dan warga Indonesia tak mau kalah dengan EKS, mereka pun sangat tangguh dan punya daya lenting luar biasa, lebih hebat dibandingkan John McLane dari sequel Die Hard.

Warga Indonesia memang tahan banting. Ditindas, diinjak, diludahi, diperkosa, dibantai, dihina-hina, dibodohi, dan ditipu berkali-kali sepanjang lebih dari beberapa dekade, tetapi tetap tersenyum. Tetap menjaga citra sebagai masyarakat yang ramah. Bahkan hal tersebut termaktub dalam kebijakan penyelenggaraan negara, yang cenderung mengalah dalam politik luar negeri, tetapi beringas dan buas dalam politik dalam negeri. 

"Biarlah apa yang terjadi dalam rumah tangga kita menjadi urusan internal. Negara lain tak perlu ikut campur," Itu adalah tanggapan baku para petinggi kantor-kantor negara dari masa Orde Baru hingga sekarang ketika menghadapi kritik keras negara lain, atau opini miring tentang Indonesia oleh aktivis atau ahli dari negara lain. Paling banter diberlakukan pelarangan kunjungan orang-orang tertentu karena komentarnya yang bikin telinga politikus dan petinggi kantor negara panas dan merah. Tapi di dalam negeri? Kalau perlu orang-orang macam itu dipenjara dengan pasal-pasal karet lewat drama pengadilan yang naskahnya paling bodoh sekali pun. Toh warga akan berdiam saja.

Pernah di pertengahan tahun 90an saya iseng melakukan survai sederhana sekedar memuaskan penasaran. Pertanyaannya singkat. "Bagaimana Anda menjelaskan tentang 'selamat'?" Pertanyaan itu saya edarkan di kalangan sopir-sopir taksi di Jakarta, dan sebagian saya ajukan kepada sopir-sopir angkutan kota di beberapa wilayah Ibukota. Jawaban mereka nyaris aklamatis dan mengejutkan. Saya rangkum sedemikian rupa menjadi:

  1. Tidak berurusan dengan polisi. Kita benar bisa jadi salah. Jika kecurian, cari dukun saja. Atau kalau kebetulan tertangkap tangan, hakimi saja langsung di tempat.
  2. Tidak berurusan dengan tentara. Mereka itu warga istimewa. Jika punya soal tanah dengan mereka, menyingkir saja, daripada berabe dan babak-belur.
  3. Tidak berurusan dengan pengadilan. Pengadilan itu hanya untuk orang kaya. Kita yang miskin dan hidup pas-pasan lebih baik menghindar dari kasus-kasus hukum.

Mungkin itulah siasat bertahan hidup warga Indonesia, terutama mereka yang hidup di Jakarta serta kota-kota besar lain. Meskipun tidak ada jaminan warga akan terbebas dari masalah yang tidak pernah diimpikan. Menjadi warga Indonesia itu ibarat dipaksa bermain lotere. Sudah berusaha jadi warga baik-baik, bahkan mengantungi Surat Keterangan Kelakuan Baik, Surat Bebas Narkoba dan sebagainya, jika memang nasib sedang sial, masalah dengan aparat negara atau dengan kalangan elit kaya yang didukung aparat negara bisa datang kapan saja.

"Mana mereka menderita? Wong mereka masih tertawa-tawa," Begitu Aburizal Bakrie, orang terkaya di Indonesia versi Forbes, ketika ditekan wartawan tentang korban banjir, saat baru menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Mungkin begitu pula cara dia berpikir saat menghadapi luapan lumpur Lapindo yang hingga saat ini terus berlangsung. Mungkin ukuran penderitaan minimal bagi seorang Aburizal Bakrie, atau bisajadi elit kuasa dan elit kaya lain, adalah lenyapnya nyawa dari tubuh warga alias meninggal. Tak percaya? Coba tengok ke belakang pernyataan Aburizal Bakrie menanggapi kelaparan di Yakuhimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Kisah warga yang terpaksa mengungsi seperti berada di ruangan lain yang dipisahkan tembok tebal dari ruang utama tempat terjadinya gonjang-ganjing politik EKS yang tengah sakit. Theo Sambuaga, salah seorang petinggi Partai Golkar, melempar pendapat untuk menutup tuntutan hukum Suharto yang memicu gonjang-ganjing tersebut. Lagi lagi EKS nggada matinye. Maka ramailah halaman-halaman depan media cetak menyajikan hiruk-pikuk tersebut dari berbagai sudut. Narasumber-narasumber yang dianggap kompeten dikejar, dimintai pendapat. Yang mengungsi ya tetap mengungsi. Yang bertengkar, ya tetap bertengkar. Tidak ada keterkaitan diantara keduanya.

Seluruh pencak silat dan akrobat politik di negeri bongsor nan amburadul ini memang membuat dada sesak. Kemarahan seperti tertahan di tenggorokan. Tetapi tekanan untuk tidak membuat masalah dengan aparat negara sangat kuat. Saluran lain pun dicari. Ada yang menyalurkannya dengan mencari-cari kesalahan bawahan di kantor. Ada yang menonton infotainment di layar televisi. Ada yang bergosip, bahkan hingga ke tingkatan fitnah. Ada yang menyalurkannya dengan tindakan kekerasan di rumah tangga masing-masing. Ada yang ke lokalisasi. Macam-macam cara untuk menyalurkan kemarahan yang tersangkut di tenggorokan. Warga Indonesia cukup kreatif mencari saluran itu.

7 Januari 2008


Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: