Wednesday, February 20, 2008

Barisan Penikmat Suharto vs. Barisan Korban Suharto

Awicaks

Tidak ada hal yang basi (dan bahkan tidak boleh basi) jika bicara tentang Suharto, atau yang biasa saya pendekkan dengan sebutan EKS, Eyang Kakung Suharto. Kehebohan dan hiruk-pikuk senantiasa terjadi apabila terjadi hal-hal kecil terhadap EKS. Ironiknya, ia tidak membahas tentang sosok bersangkutan, tetapi selalu menyangkut soal bagaimana menghapus jejak kaki berdarah orang kuat Indonesia itu. Juga terkait soal pila-pipa pengalir uang dari sumber anggaran Negara atau sumber swasta lainnya ke pundi-pundi dan kantung-kantung penyimpan, baik yang dikuasai orang per orang maupun badan-badan hukum di dalam negeri maupun di negara lain.

Sebuah opini di Kompas memaparkan secara cerdik dan cerdas, bahwa EKS bukan seorang pengecut. Ia tak takut diseret ke pengadilan. Yang pada begidik dan merasa duduk di atas tungku adalah orang-orang yang selama lebih dari tiga dekade telah mengeruk keuntungan dan manfaat dalam jumlah yang tak masuk akal, yang agak sulit tidur siang ketika Suharto sekarat dan publik ramai membicarakan kasus-kasus hukum yang menggantung. Orang-orang itu sangat percaya kepada efek domino, sebuah reaksi berantai yang bergerak dengan sendirinya akibat satu dorongan kecil. Kematian Suharto dipandang sebagai runtuhnya satu kartu utama. (Meskipun, penjelasan menggunakan akal sehat itu bisa bubar jalan jika diterapkan di negeri amburadul Indonesia ini). Maka pengerahan pun dilakukan untuk suatu pemaafan publik kepada EKS. Orang-orang itu sudah mahfum bahwa kematian bagi EKS cuma perkara waktu. Dan itu artinya, kartu utama akan runtuh...

Di sisi lain, barisan orang-orang yang memendam dan meredam sakit (fisikal, mental dan material) selama bertahun-tahun akibat tindakan brutal dan semena-mena kakitangan EKS di masa lalu, justru sibuk berdoa untuk kesembuhan dan kesehatan EKS. EKS harus sembuh agar bisa diadili. Jika pun tidak bisa, EKS harus hidup sepanjang-panjangnya agar dapat menjalani hidupnya yang tak putus dirundung tekanan publik. Sekeras apa pun usaha keluarga intinya untuk menghindarkan EKS dari warta-warta media, ia pasti dapat merasakan tekanan-tekanan itu. Semakin panjang usianya, semakin menderita EKS. Karena kematian dianggap sebagai upaya melepaskan diri dari tanggung jawab.

Indonesia di masa EKS adalah kehidupan penuh teror. Orang takut salah bicara. Orang takut salah bertindak. Semua sibuk menerka, mana yang diperkenan dan mana yang dilarang. Karena hukum Indonesia adalah EKS, dan sebaliknya. Namun, itu tak sepenuhnya benar. Karena yang membangun benteng-benteng pelindung kemegahan, keangkeran dan keperkasaan kuasa tunduk EKS justru orang-orang yang sibuk memenuhi pundi-pundi dan kantung-kantung uang serta membangun jejaring pengaman kehidupan masing-masing. Jika boleh merujuk ucapan Sarwono Kusumaatmadja, seperti yang ia tulis di Koran Sindo tak lama setelah kematian EKS, bekas orang kuat Indonesia itu pernah berniat mengundurkan diri pada pertengahan tahun 80an. Orang-orang yang belum puas mengeruk keuntungan pun sibuk membisiki, merayu dan mempengaruhi anak-anak EKS agar orangtua mereka mengurungkan niatnya. Seberapa benar keterangan itu, saya tak ambil pusing. Tetapi sebagai sebuah thesis, informasi tersebut layak diletakkan di atas meja.

Jalinan tali temali utang budi antara EKS dengan gerombolan orang-orang di sekitarnya, serta tali temali antara pengamanan singgasana antara orang-orang kemaruk harta dan kuasa dengan EKS, tidak serumit yang kita bayangkan. Itu tak lebih dari hukum permintaan - penawaran, seperti yang diajarkan pada matakuliah Ekonomi Mikro. Yang tidak boleh dilupakan adalah ongkos dari transaksi kedua jalinan hubungan di atas. Kita harus tetap mengingat kepada orang-orang yang nyawanya dihilangkan, kehilangan orang-orang tercinta, kehilangan ingatan, kehilangan sumber nafkah, kehilangan lahan produksinya, yang baik secara langsung maupun tak langsung adalah korban kebengisan tata-hubungan kekuasaan di atas. Pola sederhana inilah yang akan tetap lestari di bumi Indonesia, sepanjang tidak ada pemimpin yang memiliki martabat dan harga diri yang jelas untuk memotong garis generasi oportunis dengan generasi pemimpin bangsa di masa depan. Tak perlu berdebat tentang penaikan bendera setengah tiang selama seminggu, karena kebijakan itu secara gamblang menunjukkan tali temali utang budi di masa lalu antara pemimpin Indonesia yang sekarang ini dengan EKS.

20 Pebruari 2008


Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: